"Hari ini Gatra punya pacar."

"Sarap!"

"Love you too!" Lagi-lagi Gatra tersenyum lebar ke arahku.

Aku menarik napas kesal, "Kak Gatra dan aku gak pacaran. Titik."

"Karena Qia cantik dan Gatranya cakep, kita pacaran. Titik. Udah dulu, yah, Pacarnya Gatra. Gue mau ke kelas dulu. Sampai ketemu nanti! Dadah, Sayang!" Gatra membalikkan badannya menuju ke arah ruangan kelas dua belas.

Aku dan Elma saling berpandangan horor.

"Gue kayaknya lebih milih Kak Gatra daripada Si Kulkas tak berperasaan itu sih, Qia."

Ucapan Elma membuatku mendelik tajam. "Yang dingin-dingin kayak Pak Adnan tuh tipe gue, Ma. Bayangin aja nanti gue pasti jadi pelangi buat hidup dia yang monoton dan kaku kayak kanebo. Seru enggak, sih?"

"Ya. Bentar gue bayangin dulu," ujarnya menahan kesal.

"Ish! Dukunglah sahabat lu ini. Modelan Pak Adnan tuh langkah di dunia tau!"

"Sangking langkahnya pen gue karungin bawa ke Ragunan buat dipelihara." Ia berjalan pergi menuju kantin.

"Elmaaa, ish! Jan tinggalin gueee," rengekku sembari berlari ke arahnya.

=====

Setelah mengisi perut dikarenakan jam terakhir pelajaran, Pak Aren sebagai guru sejarah tidak bisa masuk karena istrinya melahirkan. Aku dan Elma benar-benar menghabiskan waktu dengan memakan dua porsi nasi goreng di kantin. Tak lupa dengan berbagai gorengan yang tersaji di meja yang ludes kita makan tak bersisa.

"Ini baru namanya syurgaaa," kata Elma sembari mengusap perutnya tanda kekenyangan.

"Benaaar. Untung aja semesta merestui kita karena Pak Aren enggak jadi masuk."

Mataku melirik kanan kiri melihat hanya ada beberapa murid yang sedang menikmati kantin tidak seperti saat istirahat tadi. Lalu tanpa sengaja kulihat kotak pancake yang diberikan tadi pagi kepada Pak Adnan yang kini isinya sedang dinikmati oleh Pak Rudi cleaning service di sekolah. Aku mengernyit bingung.

"Kenapa bisa ada di Pak Rudi kotaknya?"

"Apanya yang Pak Rudi, Qia?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Elma, aku segera beranjak menemui Pak Rudi yang sedang melahap pancake yang sudah kubuat tadi pagi. Rasa penasaran meliputi hatiku saat ini.

"Hai, Pak Rudi. Lahap banget makannya. Pancakenya dapet dari mana, Pak? Mau juga dong," kataku sembari duduk di depannya.

"Ih Neng Qia ngagetin saya saja. Ini, Neng, tadi mau dibuang Pak Adnan, katanya dia enggak suka kue ini ... jadi daripada mau dibuang, saya minta aja ke Pak Adnannya, Neng. Ternyata enak banget lho. Nih masih ada satu, cobain deh."

Ucapan Pak Rudi seperti ada hantaman keras di dadaku. Sesak dan rasanya sulit sekali untuk bernapas. Aku menggigit bibirku menahan air mata yang akan tumpah. Setidak suka itukah Pak Adnan kepadaku?

Padahal ini bukan pertama kali pemberian dariku yang selalu berujung di kotak sampah oleh Pak Adnan. Harusnya aku biasa saja, bukan? Namun, entah kenapa penolakan kali ini sedikit membuatku ingin menyerah saja dengan sikapnya. Ya, sedikit. Sisanya aku masih berharap untuk menaklukan lelaki dingin itu.

Aku tersenyum ke arah Pak Rudi. "Kalo bapak suka ... nanti tiap hari Qia bikin deh untuk bapak. Kayaknya lebih baik Qia jual kali ya? Supaya untungnya banyak," ucapku melucu untuk menghalau rasa sakit yang kurasa.

Pak Rudi terlihat kaget mendengar ucapanku. "Jadi? Ini dari, Neng Qia? Astagaaa! Maafin Bapak, Neng ... maksud Bapak ...  eh..."

"Santai aja kali, Pak. Dah biasa sama penolakan Si Kulkas."

P A K  A D N A N [Fast Update]Where stories live. Discover now