S a t u

148 22 12
                                    

Pukul lima lewat tiga puluh delapan.

Kupandangi jam dinding yang tergantung di sudut dapur. Tersenyum senang sembari melihat kembali hasil karyaku yang hampir satu jam berkutat dengan adonan kue untuk disajikan pagi ini. Tentu saja kue ini akan diberikan kepada pangeran dinginku di sekolah. Membayangkan wajahnya, aku tersenyum kembali.

Bapak Adnan Fahri Gustiar, lelaki tampan nan dingin yang benar-benar mencuri hatiku saat ia mengajar di kelas untuk pertama kali. Ia mungkin tidak sadar bahwa tatapan tajam dan irit berbicaranya sukses menjadi daya tarik tersediri untuk menggaet gadis-gadis belia terutama aku.

Hampir setahun ini aku benar-benar mencari perhatian Pak Adnan untuk bisa melihatku sebagai gadis yang mencintainya. Entah sengaja bolos saat ia piket, menaruh cokelat di meja kerjanya atau menggombal di hadapannya tanpa tahu malu. Dan kalian tahu apa respon yang diberikan?

Datar. 

Dingin.

Semakin menjauhiku.

Semakin tak bisa kugapai.

Hiks. Tetapi, jangan sebut aku sebagai Qiandra kalau menyerah. Tidak akan! Kapanpun itu aku akan berusaha sampai ... sampai ... sampai kapan? mmm, tidak tahu. Mencintai Pak Adnan seperti tidak ada ujungnya. Kalaupun ada, kupastikan itu ending bahagiaku bersamanya. Hehehe.

Kupandangi kembali pancake yang sudah kubuat daritadi. "Pak Adnankuuu, kamu harus lihat seberapa kacau dapurku hanya untuk pancake ini. Bahkan sampai rela bangun pagi padahal aku tidak terbiasa. Semoga bapak suka," harapku.

Segera kupersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah. Kupoles wajahku dengan makeup tipis agar tampil segar dan syukur-syukur bisa memikat Pak Adnan.

"Apa perlu kupelet Pak Adnannya, ya?"

Kugelengkan kepala memikirkan hal-hal buruk yang melintas di kepala. Sial. Sepagi ini dan pikiranku tidak bisa untuk tidak memikirkan Pak Adnan? Ada yang salah sepertinya.

"Kayaknya Pak Adnan deh yang pelet aku," ujarku dengan penuh keyakinan.

=====

Setelah setengah jam, akhirnya tiba di sekolah. Lalu lalang murid SMA Pelita Harapan berjalan menuju tujuan kelas masing-masing. Dengan penuh percaya diri aku turun dari mobil dan segera mencari keberadaan Pak Adnan. Mataku melirik kanan kiri lalu melebar fokus ke depan.

Gotcah!

Sepertinya Dewa Keberuntungan sedang bersamaku saat ini. Karena tepat di depan gerbang Pak Adnan sedang berdiri menertibkan anak-anak yang datang tanpa atribut yang lengkap. Segera berlari lalu menghampirinya dengan malu-malu

"Selamat pagi, Kesayangan! Eh maksud saya Pak Adnan," ceplosku sembari tersenyum centil.

Ia menatap datar kearahku sembari menghela napas pelan lalu tanpa memperdulikan sapaanku, ia kembali melakukan pekerjaannya sebagai guru piket. 

"Kok enggak dibales sih, Pak?" ujarku sembari cemberut.

"Ya. Pagi," ujarnya terdengar malas.

"Sehat, Pak?"

"Ya."

"Cuaca hari ini terik ya, Pak. Kayak kegantengan bapak yang selalu menyinari duniaku," gombalku.

P A K  A D N A N [Fast Update]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang