Datar. Dan tak ada lagi kata yang keluar dari bibirnya.

"Bapak udah sarapan belum? Ini saya bawa pancake spesial buat bapak. Tahu enggak, Pak? Pancake ini saya buat dari ja-"

"Saya sudah sarapan."

"Tapi ini saya buat untuk bapak," ujarku meyakinkannya.

"Kamu makan saja," ucapnya sembari melirik tak minat ke arah tanganku.

"Ish! Saya udah capek-capek buat ini lho, Pak! Hargain kek!" ujarku kesal ke arahnya.

"Saya tidak menyuruh kamu."

Kuraih tangannya lalu memindahkan kotak pancake yang berada di tanganku untuk segera digenggamnya. Ia terlihat terkejut sebentar lalu kembali mengarahkan tatapan datarnya kepadaku.

"Kelamaan kalo nunggu bapak peka. Udah ya, Pak. Pancake ini saya bikin untuk bapak. Jadi mau tidak mau bapak harus terima pancake ini, oke? Saya tau bapak tidak rela berpisah dengan saya ... tapi kali ini izinkan saya untuk balik ke kelas dulu," ujarku sembari cengengesan ke arahnya.

Sebelum ia memarahiku, dengan cepat ku langkahkan kaki menuju kelas.

"Qiandra!"

Suara dinginnya baru terdengar.

======

Memasuki jam kedua pelajaran, bosan melandaku. Penjelasan dari Bapak Upik -guru biologi- tidak ada satupun yang masuk dalam otakku. Pikiranku hanya terbayang-bayang wajah tampannya Pak Adnan. Dengan rahang yang tegas, bulu mata melentik, alis yang tebal juga hidungnya yang mancung membuatnya selalu terlihat sempurna sebagai ciptaan Tuhan.

"Woi, Qia!" Suara itu membuyarkan lamunan panjangku.

Kutolehkan kepala ke arah samping. Elma dengan wajah kesalnya melihat ke arahku. "Apaan? Jan keras-keras suara lu, Monyet! Nanti kedengaran Pak Upik baru tahu rasa,"bisikku.

Pletak!

Elma menjitakku dengan keras. "Pak Upik pala lu peyang! Udah lima belas menit lalu dia keluar, Monyet! Bener-bener lu ye! Sampe Pak Upik keluar pun lu enggak nyadar! Ngapain aja sih lu?"

Ucapan Elma membuatku dengan segera melihat ke depan. Dan benar saja Pak Upik sudah tidak berada di sana. Jadi, sudah selama itu mengkhayalkan Pak Adnan?  Aku meringis menatap Elma.

"Laper. Nyabut kantin, yuk!"

"Daritadi kek! Gue daritadi manggil-manggil lu malah bengong mulu," ucap Elma.

Kami berdua berjalan berdampingan untuk segera ke kantin. Kantin begitu dipadati oleh banyaknya murid-murid yang juga ingin makan seperti kami. Aku dan Elma saling berpandangan lalu menggeleng.

"Padet bangeeet! Mana lapar lagi,"ujarku lesu.

"Qia, gimana kalo kita makan di warung depan sekolah? Kayaknya masih ada waktu deh kalo kita ke sana."

"Lewat mana, njir? Lewat depan pos Pak Arif? Ogaaah! Itu namanya nyerahin diri ke kadang harimau."

"Bukan bege! Kita panjat aja tuh pagar belakang sekolah! Butuh effort sih memang, tapi ini demi perut kita!" seru Elma semangat.

Kupandangi wajahnya dengan berbinar. "Gue setujuuu, demi perut kita yang lebih baik!"

======

Dan di sini lah kita. Pagar belakang sekolah yang sudah tidak digunakan. Jarang ditemukan murid-murid sekolah yang nongkrong di sini, kecuali ia memang niat bolos atau pergi tanpa ketahuan seperti kita.

Dengan segera Elma memanjat pagar yang lumayan tinggi dan melompat ke sebelah jalan. "Ayo, Qia. Cepetan keburu jam istirahat abis."

Akupun perlahan mulai menaiki sembari mengawasi. Takut-takut ada orang yang memergoki. Agak kesusahan memang, karena rokku sedikit pendek dari rok umumnya. Beberapa kali Elma terus meneriakiku untuk cepat karena jam istirahat akan segera habis. Hampir saja aku bisa melompat ke jalan depan, tetapi terdengar suara seseorang yang kukenal meneriakkan namaku dengan kencang.

"Qiandra, ngapain kamu di situ?"

Deg.

Mampus! Suara Pak Adnan. Secepatnya kutoleh kepala ke arah bawah melihatnya yang kini melihatku dengan datar. Akupun yang bingung untuk berbuat apa, hanya memandang horror ke arahnya.

"Ngapain di situ, sih, Pak?"

Pak Adnan pun melihatku dengan datar. "Saya yang harusnya bertanya. Cepat turun."

"Saya tau Bapak selama ini gak pernah liat perjuangan saya dan cinta saya yang begitu besar sama, Bapak. Kali ini aja biarin saya sejam ini untuk merjuangin nasi di kompleks sebelah," curhatku dengan memberengut.

"Turun."

"Saya tau, Pak. Mungkin saya cuma tumpukan baju di lemari yang tidak setiap hari Bapak lihat," Aku melanjutkan sesi curhatku dari hati.

Mumpung ada orangnya langsung. Biar dia tau berjuang sendiri tuh gak enak! Peka dong Kulkas.

"Saya bilang turun, Qia." la mulai mengeraskan suaranya.

"Setidaknya beri say-"

"Turun atau nilai kamu tidak keluar semester ini," potong Pak Adnan dengan cepat.

Ancaman Pak Adnan berhasil membuatku turun dan berakhir dengan hormat bendera bersama Elma di siang hari yang panas ditambah perut yang berbunyi minta diisi.

Paket lengkap.

TBC.

P A K  A D N A N [Fast Update]Where stories live. Discover now