PROLOG

90 20 15
                                    

“PARA PENONTON, KAKAK-KAKAK ADEK-ADEK SEMUANYAA. JANGAN HERAN KALAU AA’ BUDI SEDANG GOYANG.”

Suasana kantin ramai oleh sorak sorai penuh riuh karena rombongan Budi yang sedang bernyanyi ria sambil berdiri di kursi panjang. Membuat tubuh tinggi cowok itu mau tidak mau tetap menjadi pusat perhatian.

“Akang gendang, kalo saya suruh muter, muter ya.”

Jaka selaku akang gendang mengangguk mantap sambil menaikkan jempol kanannya pertanda ia siap melakukan tugas sebagai penabuh.

“Oke, emajuuu, emunduurr, emuter, emuter.”

Beberapa orang tertawa riang mendapati tingkah gerombolan cowok edan di tengah kantin. Tangan Jaka memukul-mukul meja kantin dengan lincahnya—sudah biasa melakukan hal itu. Budi yang berdiri di kursi panjang berjalan mengikuti ucapan bibirnya sambil mengimbangi kursi agar tidak terjatuh.

“Emajuu, emundurr, woy anjir jangan digituin kursinya entar gue jatoh, monyet!”

Kaki Budi sengaja ia arahkan menginjak tangan teman-temannya yang jahil membuat bangku panjangnya bergerak-gerak tak stabil.

“Dah ah susah. Ganti lagu, ganti lagu!”

Beberapa orang menatap mereka sambil terkekeh geli melihat tingkah gerombolan laki-laki yang sudah tidak punya urat malu itu. Pasalnya, setiap hari ada saja tingkah mereka yang menggelitik. Mengundang beberapa orang untuk tertawa sambil menikmati makanan di kantin.

“Mas, opo aku ikiii, isih kurang ayu, isih kurang seksi, aww!”

Jaka tertawa ngakak mendapati kelakuan Budi. Cowok itu tak tanggung-tanggung. Selain dengan nada centilnya bak banci kaleng, Budi juga bergoyang dengan tingkat percaya diri yang tidak dimiliki manusia normal pada umumnya.

“Anjir. Jijik gue,” celetuk Ridho menanggapi, disusul anggukan penuh rasa gedik oleh Gio. Kantin yang dipenuhi siswa-siswi dengan perut keroncongan minta diisi mendadak menjadi tempat konser dadakan oleh rombongan mereka. Ada yang sampai tertawa terpingkal-pingkal, ada juga yang menatap geli ke arah Budi.

Sebenarnya perpaduan suara Budi dengan genjrengan kencrung bisa dibilang sangat amburadul. Nada kemana, irama kemana, yang penting nyanyi. Begitu kira-kira prinsip cowok itu. Tapi karena kelakuan mereka yang terbilang unik, tidak ada satu siswa pun yang protes. Toh lumayan juga sebagai bahan hiburan gratis.

“Ra, liat deh temen lo. Gila banget.”

Mendengar namanya dipanggil, Nadira langsung menoleh ke meja di mana gerombolan Jaka duduk. Mata cokelat hazelnya mendapati Jaka yang sibuk menabuh meja seolah-olah meja tersebut adalah kendang. Cewek itu hanya bisa geleng-geleng kepala takjub.

Jaka dan Nadira memang berteman sangat dekat. Bahkan satu antero sekolah juga tahu kalau keduanya bersahabat. Kemana-mana bareng. Dimana ada Nadira, di situ ada Jaka, selain di kamar mandi, sih. Berangkat dan pulang pun selalu bersamaan, membuat banyak gadis yang berharap bisa diantar pulang oleh Jaka harus patah hati.

“Gila banget emang tuh orang,” takjub Nadira. Detik kelima ia memandangi sahabatnya dari jauh, Jaka menoleh. Tatapan mereka bertemu. Ini bukan drama Korea yang ketika adu tatap bisa muncul bunga-bunga atau adegan slow motion. Nadira biasa saja. Tidak ada debaran nyeleneh di dadanya yang mungkin dirasakan cewek lain ketika bertemu tatap dengan cowok setampan Jaka.

Jaka yang menyadari sahabatnya tengah memperhatikannya, tersenyum miring sambil mengedipkan sebelah matanya genit.

Dasar Jaka.

“Mas Joko, aku hamil.”

“ANJRIT!”

Jaka melotot mendengar seruan sekeras toa masjid. Bola matanya hampir keluar mendapati Budi yang sudah berdiri di depannya sambil mengusap-usap perut. Membuatnya jijik setengah mati.

Sontak tawa seisi kantin pecah, membuat suasana makin riuh oleh siul-siulan teman-teman Jaka yang lain.

Ya. Nama Jaka mendadak heboh menjadi Joko sejak adanya sinetron baru yang tengah menjadi sorotan karena pemeran utama bernama Joko yang dikabarkan menghamili Wulan. Mungkin ini yang dimaksud Budi. Cowok itu tengah berperan menjadi Wulan dalam cerita yang dibuatnya sendiri. Tentu saja dengan cara bicara yang sangat lebay dibuat-buat.

“Nama gua, Jaka, bego! Main ganti aja lu!" Protes Jaka kesal. Tapi yang diprotes tak peduli, justru mengusap perutnya makin jadi.

“Gila, Ra. Ada gitu cogan tengilnya ampe begitu. Dih, geli gue," komentar Wulan. Salah satu siswi sekelas Jaka yang sering menjadi sasaran keisengan empat cowok yang kini menjadi pusat perhatian.

Nadira hanya terkekeh, menunjukkan gigi gingsulnya. Membuat gadis itu terlihat manis. Jaka memang selalu menjadi sorotan karena tingkahnya yang bisa dibilang luar biasa di luar logika. Ini bukan cerita novel di mana cowok ganteng itu dingin, keren, terkenal akan prestasinya atau bad boy. Buktinya, bisa dilihat sendiri di depan mata.

“Dahlah. Gua mau makan," celetuk Jaka meninggalkan gerombolannya. Cowok itu berjalan ke meja Nadira lalu duduk tanpa perlu meminta izin siapa pun. Tangannya meraih somay sahabatnya dengan gesit lantas menyuap ke mulutnya.

“Huu! Baperan lo, Jok!” seloroh yang lain.

Nadira mengerucutkan bibirnya. Jaka memang selalu begitu, bertingkah seenaknya sendiri. Apalagi ke Nadira, ke guru killer sekalipun cowok itu masih bisa bertingkah seenaknya.

“Enak ya somay Mang Udin," komentarnya dengan mulut penuh.

“Iyalah enak. Apalagi gratis,"” tukas Wulan sarkastik.

Jaka terkekeh sebelum menjawab pernyataan cewek itu, “apa sih, Wulan? Wulan ngidam? Sini, sini Mas Joko suapin.” Tangan cowok itu terulur mengarah ke mulut Wulan. Sedangkan yang hendak disuapi malah mendelik sebal.

“Diem, lo!”

Jaka tertawa geli mendapati wajah Wulan memerah. Kemudian tangannya kembali menyuap tahu yang dipenuhi sambal kacang.

“Jangan makan kacang banyak-banyak. Nanti alergi lo kumat.” Ujar Nadira mengingatkan. Bersahabat sejak kecil membuat keduanya sudah hafal kebiasaan satu sama lain. Seperti yang ini misalnya. Jaka punya alergi kacang, tetapi cowok itu tak pernah kapok makan makanan yang dibumbui dengan bumbu kacang. Bahkan makanan favorit cowok itu malah ketoprak. Jika diingatkan pasti ia selalu mengelak, ada saja alasan lapar lah, kepepet lah, lalu nanti setelah makanan sempurna dicerna oleh perutnya, Jaka akan mondar-mandir keluar masuk toilet, diare.

“Iya. Lagian cuma dikit. Laper banget gua.”

Tuh kan, baru saja diingatkan.

“Serah lo, deh. Terus kalo lo makan somay gue, gue makan apa?”

“Gak usah makan, Bos. Lo minum aje nih." Tangan Jaka terulur meletakkan minuman energi ke meja, dibalas kerucutan bibir lagi oleh Nadira.

“Mana ada cewek minum ginian, gendeng!” kesal Ayu. Yang diajak bicara sibuk menelan somay terakhirnya.

“Yodah sini gua minum.”

Wulan memutar bola matanya jengah. Cowok di hadapannya ini selalu bisa membuat darahnya naik. Setiap kata yang keluar dari mulut cowok itu selalu saja menyebalkan untuknya.

“Gua lupa cewek ‘kan minumnya kiranti ye ‘kan? Entar gua beliin di depan, Nad. Oh iya, ini udah ah gua gak abis. Kenyang, abisin aja. Jan lupa bayar,” selesai makan, Jaka langsung kembali ke gerombolannya. Membiarkan Nadira dan dua temannya melongo menatap mangkok bekas somay yang telah habis disikat cowok itu.

“INI APANYA YANG BELOM ABIS? MANGKOKNYA?!”

***

Ganteng-Ganteng SeringGilaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن