prolog

107K 5.9K 298
                                    

note: bagi pembaca lama, tolong hapus dulu cerita ini dari library, lalu add ulang supaya ke-refresh isinya. 🙏




Prolog | Wanita yang menangis di bandara



SETELAH berjalan ribuan langkah, Gusti akhirnya menemukan TOUS les JOURS di dekat check in counter terminal 3 Bandara Soetta, melangkah masuk, dan segera menemukan yang dicari.

Duduk sendirian di meja pojok, kayak anak ilang. Pakai bucket hat, kacamata hitam, dan masker yang dilengkapi dua exhalation valves, membuatnya sukses jadi pemandangan paling absurd di sekitar situ.

Literally kayak anak ilang, karena memang sekecil itulah ukuran tubuhnya. Dan jadi kelihatan makin kecil lagi kalau sedang duduk begitu. Nyaris ketutupan meja di hadapannya.

Ada makanan, tapi masker nggak diturunin? Malah bengong pula.

"Gus ...."

Iis, sang bocah yang menjadi tujuan utama kedatangan Gusti, langsung tegak di tempat duduknya begitu melihat sang teman menarik kursi di hadapannya tanpa menunggu dipersilakan.

"Gue nggak minta lo dateng," sambung sang wanita dengan nada membela diri, sama sekali tidak bersusah-payah mencopot kacamatanya, yang jujur sangat nggak cocok nangkring di hidungnya yang juga kecil.

Gusti mendesah. Mengeluarkan dompet, ponsel, dan remote kunci mobil yang mengganjal di saku celana jeans-nya, lalu meletakkan semuanya di atas meja. "Nggak minta, tapi ngode lewat close friend IG Story. Close friend lo siapa lagi emang, selain gue sama Zane? Nunggu disamper Zane? Kapan? Tahun depan?"

Nope. Ini bukan hubungan cinta segitiga antara tiga sahabat. Absolutely not.

Iis—biarpun cakep kayak bidadari, pintar, sopan, pekerja keras, sholehah, istriable—nggak pernah ada di list Gusti. Zane, sahabat mereka satu lagi, juga sama saja. Nggak pernah melirik dan menganggap wanita di hadapan Gusti ini sebagai calon potensial.

Persahabatan mereka bertiga itu murni. Nggak ada drama-drama percintaan.

Yeah, ada sih, tapi bukan dengan internal mereka.

Masing-masing urusan percintaannya dengan manusia lain di luar sana—kecuali Gusti yang memilih single dulu, sejak lahir, sampai suatu saat nanti nemu yang pas.

Dan salah satu drama itu jugalah yang membuatnya sekarang berada di posisinya saat ini. Jauh-jauh berkendara dari Setiabudi ke Soetta, di siang hari yang luar biasa terik dan macet, hanya untuk memastikan salah satu sahabat tersayang tidak mati bunuh diri ditinggal sang pacar entah ke belahan benua mana lagi. Biarpun perginya mengendarai Bentayga Zane, yang sudah jadi anak asuhnya sejak ditinggal sang pemilik ke luar negeri lima tahun silam, yang setiap kali duduk di balik setirnya membuat Gusti merasa lebih cakep berkali-kali lipat.

"That's not meant to be a code, Gus. I just tried out my new iPhone camera but don't feel good enough to post it." Iis ngeles, membuat Gusti ingin menjitaknya karena gemas.

Udah ketahuan ngenes, masih aja sombong!

"Caption-nya itu loh, Mbak Iis Jamilahku Sayang."

Gusti mengambil alih gelas es teh di hadapannya. Meneguknya sampai tinggal setengah. Nggak peduli izin pemiliknya.

Biarlah Iis pesan lagi. Nggak tahu panas apa?

"Elonya aja yang sotoy. Orang gue cuma copas lirik lagu." Iis masih saja mencari-cari alasan.

Tapi jelas nggak mempan bagi Gusti.

They have known each other for over ten years. Ibaratnya, ditatap tanpa ngomong sepatah kata pun, Gusti sudah bisa menebak apa maksudnya. Jadi kalau cuma sekedar nebak arti caption, atau nebak omongan lagi bohong atau jujur, kecil itu mah.

"Tell me, ada apa lagi sekarang?" Gusti menarik lepas topi dan kacamata Iis. Membuat sang wanita merengek sesaat, tapi nggak bisa berbuat apa-apa karena Gusti segera menjauhkan benda-benda itu dengan tangannya yang super panjang saat hendak ia raih.

"Nothing." Iis menjawab, rada kesal.

Tapi Gusti juga sama kesalnya.

Dia datang jauh-jauh bukan untuk balik dengan tangan hampa.

"Gue nggak minta lo buat buka aib orang, woman. Terserah Linggar-Linggar lo itu mau berbuat dosa apa, not my concern. Just tell me what you can tell—about you. You are not okay, are you? Is there anything I could do to help? Capek gue tuh, lihat lo galau tiap hari. Udah mau tujuh tahun lho ini."

"I'm okay, Gus. No need to worry."

"Gimana nggak worry kalau galau lo kelihatan jelas banget gini? Bahkan bukan cuma elo. Zane galau juga gue susulin ke Sydney, ke NYC—biarpun ongkosnya gue tagih setelahnya!"

Iis terdiam. Menunduk.

Gusti ikut terdiam sesaat, memperhatikan sang wanita, yang seperti biasa kalau sedang gugup, sibuk saling meremas kedua tangannya sendiri di pangkuan. Dan kemudian, saat menyadari ada yang tidak beres dengan wanita yang sedang duduk di hadapannya itu, sang pria kontan jadi panik. "Elo ... nangis? Oh God, please don't ... I didn't mean to—shit!"



... to be continued

WEDDING BRUNCH [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang