0-7

2.9K 322 5
                                    

Saat aku masuk ke kamar Jennie, aku bertanya-tanya apakah kejadian yang aku alami itu menyedihkan atau lucu. Apakah aku melakukan hal yang benar dengan menerima tawarannya, aku masih tidak tahu itu, tetapi tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Mungkin aku memulainya kemarin, tetapi satu-satunya orang yang menyelesaikannya adalah dia.

Ketika aku masuk tanpa perlu mengetuk pintunya, aku tidak dapat membayangkan dia hampir melakukan pemanasan dengan seorang gadis di atas meja. Saat aku menatap mereka dengan kaget, aku menoleh saat mata kami bertemu langsung.

"Lalisa, selamat datang." Saat aku melirik mereka dari samping, Jennie langsung mendorong gadis itu dalam pelukannya. Tatapanku jatuh ke lantai saat gadis itu mengenakan bustier-nya, yang telah terlempar ke atas meja, dengan kaget. Dengan mata Jane masih tertuju padaku, gadis itu meninggalkan ruangan sambil menggumamkan beberapa hal, tapi kami berdua tidak mendengarkannya. Karena aku malu dan Jane sibuk memperhatikan ku.

"Mau sampai kapan kamu berdiri di sana seperti itu?" Ketika aku akhirnya mengangkat pandangan dari tanah dan menoleh ke wajahnya, aku melihatnya menatap ku dengan ekspresi mengejek. Ketika aku duduk di kursi tanpa menjawab, dia duduk di sebelah ku dengan seringai menyebalkan di wajahnya. aku gugup, akubmerasakan kegembiraan yang sembrono, dan dekat dengannya membuat situasi ku semakin sulit.

"Kenapa kamu tidak melihatku, Lalisa? Oh, apa kamu cemburu?" Saat aku terkikik mendengar kata-katanya, mata kami juling dan aku berbicara dengan ekspresi main-main. "Ya, Jane. Aku sangat cemburu hingga kupikir aku akan menangis sekarang." Jantung ku mulai berdegup kencang saat dia mendekati ku di sofa dengan gerakan tiba-tiba. Aku bergumam saat keintiman membuatku terengah-engah. "Apa yang sedang kamu lakukan?" Aku mendorongnya dari bahuku saat dia terus menatapku tanpa menjawab. "Menjauhlah."

Saat Jennie tertawa terbahak-bahak dan menarik kembali, aku melepaskan nafas penahan di antara bibirku. "Aku suka kamu sangat takut padaku."

Saat aku mengerutkan kening, aku menyibakkan rambutku yang jatuh di depanku. "Aku tidak takut padamu." Dia mengangguk lembut. "Tentu, itu pasti."

Suaraku secara tidak sengaja semakin keras saat godaannya membuatku semakin marah. "Kubilang aku tidak takut!" Ketika Jennie tertawa sekali lagi, kepalanya jatuh ke belakang kursi, memperlihatkan lehernya yang dipenuhi tato. Meskipun aku tidak mau mengakuinya, lehernya terlihat cantik.

Ketika dia memalingkan wajahnya kembali padaku, aku melihat tatapannya tertuju pada bibirku untuk beberapa saat, dan ini membuatku menggigil tidak nyaman.

"Apakah kamu punya pacar?" Sementara alis ku terangkat dengan pertanyaan yang tiba-tiba, aku berbohong dengan cara yang saya tidak tahu mengapa. "Iya."

Jennie terus mengawasiku dengan senyuman di bibirnya. "Untuk beberapa alasan, aku pikir Kamu berbohong." aku berbicara dengan suara yang aku harap akan meyakinkan. "Tidak, aku tidak berbohong."

"Jadi, siapa namanya?" Untuk beberapa detik aku terpana oleh jawaban cepat Jennie. "Kenapa aku harus memberitahumu itu?"

Jennie mengangkat bahu. "Aku hanya mencoba mengobrol." Sambil memutar mataku, aku memeriksa jam di ponselku. "aku masih tidak mengerti mengapa kamu ingin berbicara dengan ku."

Setelah hening sejenak, saat aku mengalihkan pandanganku kembali padanya, matanya masih tertuju padaku. Jennie tidak pernah mengalihkan pandangannya dariku, dia melihat setiap titik wajahku seolah ingin mengingat, dan ini membuatku gugup. Itu tidak nyaman tetapi juga perasaan yang berbeda. Karena tidak ada yang melihatku seperti ini sebelumnya.

"Aku sudah memberitahumu kemarin," katanya pelan. "Ada sesuatu yang harus akj pahami." Apa yang ingin Jane pahami? Mengapa dia menatapku seperti itu dan apa yang dia inginkan dariku? Ada lusinan pertanyaan di benak saya, tetapi jawabannya tidak ada di mana-mana.

Jane & Lalisa 🌠 EndWhere stories live. Discover now