You 8

138 24 11
                                    

13 Mei 2020

Selamat membaca dan bahagia

Mita ^^,

“Apa-apaan itu tadi, Mbak?” tanya bunda yang masih mengikutiku hingga ke dalam kamar. Dalam hati aku sama sekali tidak tahu harus menjawab apa. Bahkan diri sendiri ini terlalu terkejut untuk menceritakan apa yang sebenarnya baru kualami? Apakah tadi benar-benar terjadi? Itu bukan hanya mimpi atau bayanganku saja, kan? Dodo benar-benar membawa keluarganya untuk melamarku?

“Re, nggak tahu, Bun.” jawabku disertai helaan napas yang mungkin terdengar sangat menyedihkan. Tapi aku memang tidak tahu. Yang aku tahu, Dodo berniat mengapel di malam minggu yang berujung dia justru melamarku. MELAMAR? Oh, Tuhan ....

“Kamu pacaran sama si Jojo tadi?” tanya bunda yang kini mulai terdengar mendesakku, dan aku benar-benar tidak suka. Aku bahkan malas untuk mengoreksi kesalahannya atas nama Dodo. Namanya Jo, bukan Jojo. Duh ....

“Nggak, Bun. Harus berapa kali lagi sih aku bilang?” Padahal saat kami sedang mengantar kepergian keluarga Dodo, aku sudah menjelaskan. Kami teman satu kantor dan hubungan kami belum sampai dalam tahap pacaran. Memang kami dekat, Dodo juga sudah beberapa kali mengantar dan menjemputku. Tapi kan belum ada pernyataan dari Dodo yang dapat melegalkan hubungan kami. Dodo menyatakan cinta yang akhirnya melegalkan hubungan kami dalam status pacaranlah yang aku harapkan malam ini. Bukannya begini.

Oh, Tuhan ... entah kenapa satu kata ‘melamar’ itu tiba-tiba saja mengusikku. Memang benar aku menyukai Dodo, atau bahkan mungkin sudah mulai tumbuh benih-benih cinta padanya, tapi dalam pikiranku kami akan menjalani pacaran paling tidak dua atau tiga tahun. Begitu kami sudah mengenal satu sama lain, saling mencintai, saling memahami, barulah kami akan merencanakan ke arah pernikahan. Bukannya dilamar seperti ini. Mendadak tanpa ada persiapan sama sekali.

Teringat lagi pertanyaan Dodo yang menanyakan, apakah boleh dia main malam minggu nanti, wajar kan, kalau pikiranku menuju pada kata mengapel, bukannya yang lain. Seperti melamar misalnya.
Duh ... aku sadar, memiliki hubungan dengan pria seperti Dodo memang akan banyak kejutan. Tetapi tidak semengejutkan ini juga, sih.

“Kalau nggak, kenapa dia bisa tiba-tiba melamar gitu?” tanya bunda yang mulai terlihat emosi. Sama sepertiku, bunda benar-benar terkejut dengan kedatangan Dodo sekeluarga tadi. Dan beliau benar-benar tidak menyangka anak gadisnya ini tiba-tiba saja dilamar seseorang.

Untung saja ayah yang memiliki temperamen paling tenang di antara semua anggota keluarga dapat menjawab pertanyaan dan pernyataan dari paman Dodo tadi dengan bijak. Berusaha meminta waktu untuk menjawab lamaran dari keluarga Dodo tadi.

“Ya mana Re tahu, Bun.” jawabku mulai frustasi. Jangankan bunda, aku sendiri yang dilamar tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Terus sekarang apa yang mau kamu lakuin?” tanya bunda lagi yang akhirnya membuatku mencapai puncak rasa frustasiku.

“AH ... RE, NGGAK TAHU!!!” teriakku benar-benar tidak tahu apa yang harus kulakukan. Kujambak rambut kesal, ingin rasanya menjambak rambut orang lain, tapi yang ada di hadapanku saat ini hanya bunda. Tidak mungkin aku berani menjambak beliau. Bisa dikutuk jadi batu nanti.

“Ck, terserah kamu deh, Mbak. Pikirin baik-baik. Dan jangan terlalu lama menjawab lamaran orang lain.” pesan bunda sebelum melesat keluar dari kamarku dengan kesal.

Argh, Dodo! Kenapa jadi begini, sih? Masih kujambak-jambak rambutku penuh frustasi.

Apa memang menyukaimu harus menjadi serumit ini?

Masih dengan perasaan kacau, kuraih ponsel, bermaksud menelepon satu-satunya orang yang bisa kumintai pendapat tentang hal ini.

“LINDAAA ....”

“Apa sih, Re? Harus ya teriak-teriak gitu?”

“Aku galau.”

“Kenapa? Dodo nembak? Ya udah, terima aja. Gitu aja galau.”

“Nggak sesimpel itu, Lin.”

“Lha terus?”

“Dia bukannya nembak. Tapi dia ....”

“Dia apa?”

“Dia ngelamar aku.”

“APA?!? Aku ke rumah sekarang!”

Nada sambung tanda telepon terputus berbunyi nyaring, yang menandakan Linda sudah menutup teleponnya dan kuyakin langsung melajukan motornya dengan kecepatan dahsyat.

Tidak perlu menunggu lama saat akhirnya batang hidung Linda terlihat di balik pintu kamar. Rumah kami memang tidak terlalu jauh, sekitar tiga puluh menit perjalanan motor dengan kecepatan normal. Melihat dari penampilan Linda, dia pasti melajukan sepeda motornya dengan kecepatan berlebih, karena hanya butuh kurang lebih lima belas menit untuk sampai ke sini. Apalagi mengamati penampilannya saat ini, aku yakin dia sudah bersiap-siap untuk tidur saat aku meneleponnya. Celana piyama bergambar beruangnya terlihat sangat menonjol. Walaupun atasannya tertutup oleh jaket, aku sangat yakin bajunya memiliki gambar beruang yang sama sebagai coraknya.

“Ceritain! Apa yang sebenernya terjadi?” tanya Linda yang terlihat berusaha mengatur napas di antara pertanyaannya tersebut.

“Ya, gitu. Dodo ngelamar aku.” jawabku singkat yang tentu saja tidak memuaskan bagi Linda. Tahu sendiri kekepoan tingkat tinggi miliknya. Hingga bahkan gosip-gosip para OB di kantor pun dia tahu.

“Ulangi dari awal. Kenapa dan bagaimana bisa si Dodo tiba-tiba ngelamar kamu?” tanyanya yang saat ini sudah duduk di sampingku di atas kasur.

“Jadi gini, kamu tahu kan Dodo mau ngapel hari ini. Aku udah cerita ke kamu kan, kalau dia tetiba minta izin buat main malam minggu. Ya itulah yang aku pikirin. Main alias ngapel. Sewajarnya cowok yang lagi pedekate ke cewek.” Linda hanya menjawabku dengan anggukan kepalanya yang membuatku khawatir jangan sampai lehernya keseleo akibat terlalu keras mengangguk.

“Nah jadi, buat temen dia ngapel, wajar dong ya kalau aku cari camilan. Siapa tahu kan Dodo pengen ngobrol-ngobrol di rumah, bukannya nongki-nongki di luaran sana. Pulang dari minimarket itulah, kulihat di depan rumah ada dua mobil terparkir, yang ternyata adalah Dodo dan keluarganya. Diwakili oleh pamannya, mereka menanyakan kesediaanku untuk menerima lamaran Dodo.” Jelasku yang hanya dijawab dengan Linda dengan kata, “Terus?”

“Ya terus sekarang aku bingung harus gimana, Lin? Aku galau. Masih nggak percaya dengan apa yang terjadi tadi. Dan jujur saja, aku belum berpikiran untuk menikah saat ini.” jelasku terdengar memelas. Ingin sekali aku menjawab iya untuk lamaran Dodo, tapi jujur saja aku takut. Aku belum terlalu mengenal Dodo, dan aku ingin mengenalnya lebih jauh lagi sebelum nantinya kami menikah. Meskipun aku sudah membayangkan menikah dengan Dodo, tapi kupikir aku masih butuh waktu beberapa tahun lagi sebelum itu terjadi.

Tapi bagaimana kalau lamaran ini hanya akan datang satu kali saja? Dan jika aku menolaknya sekarang, tidak akan ada lagi kesempatan lain untuk selama-lamanya?

“Ya udah, tolak aja.” jawab Linda tanpa ragu yang membuatku mengerang kesal. Sesungguhnya aku juga bingung dengan diriku sendiri. Aku sudah tahu kalau bercerita pada Linda tidak akan memberikan hasil seperti yang kuharapkan. Kami terlalu berbeda dan entah bagaimana perbedaan itu sangat nyata. Contohnya saja sewaktu aku pertama mendekati Dodo, dia sangat menentang akan hal itu. Dia bahkan menuduhku berkhianat karena dikira tidak menceritakan hubunganku dengan Dodo. Namun aku butuh seseorang untuk mendengarkan keluh kesahku tentang Dodo. Satu-satunya orang itu ya hanya Linda, yang tahu detail perjalanan kisahku dengan Dodo.

“Tapi gimana kalau lamaran itu hanya satu kali? Kalau aku tolak dia sekarang, nantinya dia mengira aku menolaknya untuk selamanya?” tanyaku kesal. Apakah Linda mengerti? Aku mau menikah dengan Dodo, tapi nanti, bukan sekarang.

“Lah memangnya kamu mau nikah sama Dodo?” tanyanya benar-benar menyiratkan ketidakmengertiannya yang jelas saja menambah rasa frustasiku. Kurasa bercerita dan bertanya tentang hal sepenting ini pada Linda tidak akan pernah kulakukan lagi. Cukup ... ini yang terakhir kalinya.

“Aku mau nikah sama Dodo. Tapi bukan sekarang. NANTI ... dua atau tiga tahun lagi.” Jelasku lagi dengan nada mulai meninggi bahkan hampir saja kuteriakkan kata nanti. Sepertinya pembicaraan kami lebih baik berhenti sampai di sini sebelum aku memiliki pikiran mencabik-cabik Linda dengan kejam.

“Lalu, apa bedanya dua atau tiga tahun lagi dengan sekarang? Kan intinya kamu tetap akan nikah sama Dodo.” jawabnya santai yang entah bagaimana berhasil membuatku terdiam. That’s the point. Kenapa? Kalau keinginanku menikah dengan Dodo, kenapa harus menunggu beberapa tahun lagi? Dan entah bagaimana aku tidak bisa menjawabnya.

DORENA (Dodo dan Renata)Where stories live. Discover now