09|| you are the only one

910 142 9
                                    

Bahkan sebelum sampai gerbang sekolah, aku meminta Dino untuk berhenti. Dino yang kebingungan lantas menepikan motornya. Ketika motor sudah berhenti, aku langsung melepaskan helmku dan melompat turun. Setelah menyerahkan helmku kepada Dino, aku segera berlari meninggalkannya untuk memasuki gerbang sekolah. Aku tak ingin anak-anak melihatku membonceng Dino. Cukup Lissa dan Nola saja.

Sepanjang jalan menuju kelas, diam-diam aku mengamati para siswa dan siswi di sekitarku. Aku bertanya-tanya apakah ada yang meihatku membonceng Dino? Jika ada, apa yang kira-kira akan mereka gosipkan? Aku tak mau harga diriku turun hanya gara-gara berangkat bareng Dino.

"Lova!"

Aku terlonjak kaget mendengar namaku dipanggil. Sontak aku menoleh ke belakang, di mana suara itu berasal. Kini kulihat Icha dan Akbar tengah berjalan bersama menuju ke arahku. Diam-diam aku menghela napas lega karena Icha lah yang tadi memanggilku.

"Berangkat bareng siapa?" tanya Icha ketika sudah berada di sampingku. Akbar mengekori kami di belakang.

"Yang pasti bukan bareng pacar," jawbaku melirik ke arah Akbar.

"Ya nggak usah juga iri kalau nggak punya pacar," balasnya tertawa. Aku hanya bisa meliriknya sebal.

"Lo semalem bilang kalau Kak Bagas balik, ya?" tanya Icha yang kujawab dengan anggukan kepala. "Jadi diantar sama Kak Bagas tadi?"

Sontak aku kembali menganggukkan kepala. "Iya, diantar Kak Bagas." Sampai rumah Dino.

Aku mengembuskan napas lelah. Gengsiku memang ketinggian sampai tak mau mengakui bahwa tadi berangkat bareng Dino.

"Nggak bareng Dino?"

Mendengar pertanyaan itu seketika aku melirik ke arah belakangku. Kulihat Abel dengan rambut lurus indahnya melewatiku seraya menggelengkan kepala menjawab pertanyaan temannya yang berada di sampingnya.

"Kenapa?" tanya temannya lagi.

"Nggak tau. Tiba-tiba aja bilang nggak bisa jemput. Apa jangan-jangan dia bareng Sinta, ya?"

"Masak menelantarkan lo demi Sinta, sih?"

"Entah deh," balas Abel yang sekarang sudah berada di depanku.

Aku berdecak sebal. "Dasar playboy," gerutuku.

Icha yang menyenggol pundakku yang membuatku menoleh ke arahnya. "Kenapa?" tanyanya dengan dahi berkerut.

Aku menggelengkan kepala. "Nggak kok," jawabku tersenyum lebar. "Ayo ke kelas. Akbar tinggal!" lanjutku seraya mengapit lengan Icha dan menyeretnya agar berjalan lebih cepat. Akbar berseru protes, tapi tak kugubris.

Kelas sudah ramai ketika kami sampai. Aku menyisir keadaan sekitar, mencari keberadaan Lissa dan Nola. Tapi di sudut mana pun tak kutemukan mereka berdua. Sepertinya mereka belum sampai di sekolah.

"Udah ngerjain PR MTK?" tanya Icha yang sudah duduk di bangkunya.

"Udah," jawabku ikut duduk di sebelahnya. "Tapi kayaknya salah semua." Aku tersenyum lebar. Aku memang tidak pandai Matematika. Namun bukan berarti aku tidak belajar atau berusaha mengerjakan PR-ku sendiri. Gini-gini aku kan anak rajin.

"Nggak heran sih," balas Icha seraya membuka tasnya dan mengeluarkan buku tulis. "Ayo cocokin sama punya gue."

"Oke." Aku mengangguk semangat seraya cepat-cepat mengambil buku tulis Matematikaku dari dalam tas. Icha jauh lebih pandai daripada aku. Meskipun tergolong anak pintar, Icha tidak pelit seperti anak pintar lainnya—Dino maksudku. Iya, Dino pintar tapi pelit!

You Are The Only OneWhere stories live. Discover now