Ke-sembilan belas

22.2K 2K 85
                                    

Regan berjalan sambil mengamati nama kamar yang ia lewati satu-persatu. Bagian informasi membenarkan bahwa mereka memang memiliki pasien dengan nama Isti Sofie Medina, yang baru saja memasuki kamar rawat satu jam lalu.

Seorang laki-laki menghubunginya beberapa saat lalu. Mengaku bernama Agra Pahlevi yang merupakan rekan bisnis Isti. Ia kabarkan jika Isti tak sadarkan diri saat mereka tengah meninjau pekerjaan.

Regan sudah berasumsi jika lelaki yang menghubunginya, adalah pria yang sama dengan yang mengantarkan istrinya pulang tempo hari. Namun, dugaan itu ia tepis karena ia tahu siapa Agra Pahlevi. Perawakan badan lelaki itu, dari foto yang ia dapatkan di internet, jauh berbeda dengan lelaki yang ia anggap sebagai selingkuhan istrinya.

Tiba di depan kamar yang ia cari, Regan langsung membuka pintu tersebut. Bisa ia lihat istrinya terbaring di ranjang, dengan selang infus terpasang melalui tangan kanan wanita itu.

Tak ada siapa pun di dalam kamar tersebut. Isti pun masih belum sadarkan diri di atas ranjangnya.

"Oh, Anda sudah di sini rupanya?"

Regan spontan menoleh ke arah pintu. Laki-laki bernama Agra Pahlevi itu berdiri di sana, membawa bungkusan yang kemungkinan berisi makanan. "Saya Agra, rekan Bu Isti," ujar Agra seraya mengulurkan tangan.

"Regan," jawab Regan singkat, membalas uluran tangan Agra.

"Saya dan Bu Isti tadi dalam perjalanan untuk meninjau bahan. Bu Isti pingsan saat kami berada di sana. Dan maaf karena saya lancang membuka ponsel Bu Isti."

Regan hanya mengangguk singkat, mengembalikan atensinya pada Isti yang sama sekali tak terganggu dengan suara Agra.

Agra bisa membuka ponsel Isti dengan mudah, Regan tak perlu sangsikan itu. Regan tahu jika Isti tak menggunakan kode atau pola untuk mengamankan ponselnya. Regan tak pernah meminta Isti melakukan hal demikian. Karena Regan sama sekali tak tertarik dengan isi ponsel istrinya. Regan pun memberlakukan hal serupa pada Isti. Agar wanita itu tak penasaran dengan isi ponselnya.

"Karena Pak Regan sudah ada di sini, saya izin pamit."

Regan mengangguk. "Terima kasih sudah membawa istri saya ke rumah sakit."

"Ah ... satu lagi yang mau saya tanyakan, Pak. Apakah Bu Isti memang hamil?"

"Ya."

"Pak Regan yakin?"

"Ya," jawabnya mantap. Mana mungkin Isti membohonginya dan pura-pura hamil. Mereka mengetahui kehamilan Isti bahkan karena Regan yang membawanya paksa ke rumah sakit. "Memangnya kenapa kalau dia hamil? Saya suaminya secara sah. Apakah Anda memiliki ketertarikan khusus terhadap istri saya?"

"Maksud saya bukan seperti itu," sanggah Agra cepat. "Saya cuma ... kaget karena Bu Isti tidak memberitahu sebelumnya."

"Sepenting apa hubungan kalian hingga Isti harus memberitahu kehamilannya pada Anda?"

Oke, Agra sadar jika Regan mulai terpancing emosi. Agra harus bisa menjaga sikap dan mulutnya agar tidak keceplosan mengatakan jika ia sudah mengenal Isti sejak lama. "Maksud saya begini, kalau saya sudah mengetahuinya sejak awal, saya bisa pergi sendiri tanpa mengajak Bu Isti."

Agra bersyukur dalam hati karena ia bisa mengarang alasan dengan baik. Semoga saja Regan percaya dengan alasannya yang tidak sepenuhnya dusta tersebut. Seperti yang ia katakan, jika sejak awal Agra tahu Isti tengah berbadan dua, tentu dia akan membatalkan janjinya dengan Isti. "Kalau begitu saya permisi, Pak."

Regan mengangguk sekali. Tanpa merasa perlu melihat Agra keluar dari kamar itu, ia arahkan pandangan sepenuhnya pada sang istri.

Satu jam menunggu, Isti menunjukkan tanda-tanda kesadarannya. Wanita itu menggerakkan kepala pelan, mengerjap seraya memegangi kepalanya yang masih terasa sedikit pusing.

The Wedding (Selesai ✔)Where stories live. Discover now