Kedua Puluh Delapan

11.7K 1.3K 57
                                    

Ucapan Regan rupanya tak hanya bualan semata. Pria itu membuktikannya. Sudah satu minggu ini, senyum tak lepas dari bibir lelaki itu. Perhatian-perhatian kecil seringkali ia tunjukkan. Seperti memastikan Isti tak lupa meminum obatnya, tak melupakan susu hamil yang harus ia konsumsi, juga ikut menyusul Isti ke kamar mandi di pagi hari. Meski tak melakukan apa-apa saat Isti memuntahkan isi perutnya, Isti tetap merasa bersyukur, Regan sudi menyusul dan menemaninya.

Perhatian-perhatian kecil tersebut, terkadang mampu membuat jantung Isti berdegup tak wajar. Sebelum bertemu dan menikah dengan Regan, Isti memang belum pernah menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis. Ia terlalu fokus dengan pekerjaannya. Jika bukan karena Lidya yang mengenalkannya dengan Regan, Isti mungkin belum menikah dan bahkan belum terpikir untuk hidup satu atap dengan pria yang mengubah statusnya menjadi istri. Oleh sebab itu, Isti tak terlalu ambil pusing dengan sikap Regan di awal-awal pernikahan mereka.

Lalu ketika perhatian-perhatian kecil ia dapatkan dari pria yang dulu seringkali mengabaikannya, wajar saja jika Isti mulai merasakan perasaan asing di dada. Perasaan asing yang harus Isti akui jika ia menyukainya, tetapi ada ketakutan jika Regan tak tulus memberi perhatian tersebut padanya. Atau bahkan, perhatian yang diberi Regan hanya bersifat sementara.

Tidak. Seharusnya Isti tak boleh berpikiran buruk terhadap suaminya sendiri. Isti tak mau ketakutan tersebut dapat mempengaruhi tumbuh kembang janin dalam kandungannya.

Suara pintu terbuka, membuat Isti menoleh. Regan keluar dari kamar mandi seraya mengusap rambut basahnya dengan handuk. "Kamu sudah bangun?" tanya lelaki itu melihat Isti duduk bersandar di kepala ranjang.

"Sudah, Mas." Isti berniat bangkit dari posisinya, tetapi pertanyaan Regan menahan gerak kakinya.

"Mau ke mana? Kamu butuh sesuatu?"

"Aku mau ke dapur, mau nyiapin sarapan buat Mas Regan." Karena selama satu minggu terakhir, Isti tak melakukan hal apa pun, selain berbaring di kasurnya.

"Nggak usah. Biar Ika yang melakukannya."

"Aku sudah merasa lebih baik, Mas."

"Aku tahu," ujar Regan menghampiri Isti. "Aku hanya mengikuti saran dokter." Meski sejujurnya, Regan juga sudah sangat merindukan masakan Isti. Namun, ia harus mengalah demi Isti dan calon anaknya. "Aku tahu kamu pasti bosan di kamar terus. Kamu boleh keluar kamar kalau memang bosan, tapi aku nggak mau kamu mengerjakan apa pun di dapur. Tolong, jangan membantahku, Isti. Aku hanya sedang berusaha menjadi suami yang baik untuk kamu."

Tak ingin merusak hubungannya dan Regan yang mulai menghangat, Isti terpaksa menurut. "Setidaknya biarkan aku menyiapkan pakaianmu, Mas. Aku hanya ingin menjalankan peranku sebagai istrimu."

Tersenyum kecil, Regan mengangguk kemudian membiarkan istrinya bangkit dari kasur.

***

Perubahan sikap Regan, bukan hanya dirasakan Isti saja. Viona Arabella juga merasakannya. Sejak mantan kekasihnya itu menikah, Viona tahu Regan semakin mencipta jarak dengannya. Namun, selama ini Viona selalu berhasil memaksa Regan untuk ada di dekatnya berkat kartu AS yang ia miliki. Regan selalu takluk, tiap kali Viona mengancam akan membongkar aib mantan kekasih yang kini menjadi adik iparnya itu. Namun, belakangan hari Regan tak mau menerima panggilan telepon darinya. Pesan yang dikirim Viona juga tak dibaca. Viona yakin, lelaki itu pasti menghapus pesan darinya tanpa membuka pesan tersebut terlebih dahulu.

"Isti belum kembali bekerja, jadi saya belum mendapat apa yang Mbak minta."

Satu lagi yang membuat Viona kian berang. Perempuan di hadapannya yang ia bayar dengan sejumlah uang untuk menemukan kelemahan terbesar Isti, tak juga mendapat hasil yang memuaskan. "Seharusnya kamu tahu, uang yang saya berikan itu tidak cuma-cuma. Perlu kamu ingat, jika bukan hal sulit bagi saya membuat ibu kamu kembali mendekam di penjara."

The Wedding (Selesai ✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang