18 | Gramofon

7.6K 969 38
                                    

Tidak rugi menerima tawaran Pak Dana pada malam itu, Hanum merasa puas dapat menikmati permainan piano Dipta yang berada tidak jauh di depannya sekarang.

Gaya permainan piano teman Pak Dana tersebut, tenang dan lembut. Hampir mirip seperti gaya permainan Yiruma. Hanum dibuat terhanyut.

Permainan terakhir usai. Hanum sempat bertepuk tangan sebelum tirai merah di depan ditutup. Begitu juga dengan tamu-tamu lain yang berada di aula tersebut.

Hanum lantas secara langsung diperkenalkan pada Dipta oleh Pak Dana. Dipta memiliki perwakan tinggi kurus. Hanya melihat dari wajahnya, seseorang pasti tahu lelaki itu mempunyai darah campuran Jepang.

Dipta melirik Pak Dana dengan senyum penuh arti. "Aku tunggu undangan pernikahan kalian."

Pak Dana hanya meresponsnya dengan senyum. Mengetahui bahwa pemred-nya itu tidak mencoba untuk membantah ucapan Dipta, Hanum mengerjap kaget.

Hanum mengambil ponsel di tasnya saat benda itu berdering. Aksa menelepon dan Hanum segera memisahkan diri dari Pak Dana dan juga Dipta. Menepi di dekat kursi-kursi, dia berbicara panjang lebar dengan Aksa di sana. Padahal, mereka hanya membicarakan tentang kucing tetangga yang telah mengerjai Aksa dengan mengencingi ban mobil lelaki itu, bahkan menghias taman depan rumah Aksa dengan tahinya. Hanum seseksli tertawa.

Menutup panggilan, Pak Dana sudah berada di sebelahnya. Lelaki itu bertanya pelan, "Siapa yang nelepon tadi?"

Hanum tersenyum kecil. "Aksa."

"Oh, Aksa yang waktu itu ngajak kamu makan siang di luar?"

Hanum mengangguk. Pak Dana mulai berjalan yang otomatis diikuti oleh Hanum. "Dia siapa kamu? Pacar?" tanya lelaki itu, menoleh sesaat.

Hanum sontak menggeleng. "Bukan. Aksa itu adik calon suami saya dulu. Walaupun calon suami saya sudah nggak ada, saya masih tetap dekat sama keluarganya. Termasuk Aksa. Dia sudah seperti adik saya sendiri."

Pak Dana berhenti melangkah. Hanum yang heran bercampur cemas kenapa lelaki itu mendadak diam, lalu tertanya. "Ada apa, Pak?"

Senyum Pak Dana tersimpul. "Nggak ada apa-apa. Ayo, pulang udah malem."

Lelaki itu melanjutkan langkah mendahului. Hanum hanya mengedikkan bahu.

-oOo-

Menumpahkan seluruh isi tas ke atas lantai halaman depan, Hanum tetap tidak menemukan kunci rumahnya. Dia mulai panik. Antara dua kemungkinan. Kunci rumahnya kalau tidak tertinggal di kantor, pasti jatuh di jalan saat dia tengah mengambil sesuatu tadi.

Ingin kembali ke kantor untuk memastikan kuncinya tertinggal di sana atau tidak, tapi sekarang waktu menunjukkan pukul sepuluh lewat. Kantornya pasti sudah sepi sekarang. Mungkin hanya disinggahi satpam. Kalau bertemu hantu bagaimana? Bisa kejang-kejang Hanum.

"Ngapain jongkok di situ? Nyari semut?"

Mendengar suara Aksa, Hanum tanpa sadar mengembuskan napas lega bercampur senang. Dia langsung berdiri dan menghampiri lelaki itu yang tengah bersidekap di depan rumahnya. Berniat meminta bantuan.

"Sa, kunci rumahku nggak ada. Kalo nggak jatuh, pasti ketinggalan di kantor. Terus gimana ini?"

"Yaudah, tidur di rumahku aja."

Hanum melotot. Bukan itu bantuan yang dia harapkan! "Yang bener aja, Sa! Nggak!" dikerucutkannya bibir ke samping. "Aku mau balik ke kantor. Anterin, ya?" bujuknya. Biasanya dengan menggunakan cara ini, Aksa akan luluh.

Aksa memasukkan tangan ke saku celana bahan hitamnya. Dia menggeleng. "Kerjaanku masih banyak. Model alternatif kolam renang apartemen yang aku buat belom jadi. Dan klien mintanya cepet," balasnya, mematahkan harapan Hanum seketika.

Loveisble | ✔️ (Sudah Terbit)Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum