12 | Saran Lewat Telepon

9K 977 35
                                    

Membalik badan dan mengiringi langkah pendek Pak Dana, Hanum mendengar lelaki itu berujar sembari tersenyum. "Beliau orang yang ramah, ya?"

Hanum mengangguk. Tahu yang Pak Dana sebut 'beliau' adalah seorang pejabat negara yang baru saja mereka lobi agar mau menjadi narasumber di rubik politik Jayabaya edisi selanjutnya.

Pak Dana lantas berhenti di depan sebuah lukisan beraliran ekspresionis yang tertempel di dinding Artspace Artotel Surabaya. Dia mengamatinya sembari memasukkan kedua tangan ke saku celana bahannya. Hanum juga ikut mengamati lukisan yang diberi judul Perahu Layar dalam Nestapa itu.

Warna-warna yang ada di dalam lukisan tersebut terlihat menarik, dengan warna biru tua menjadi background-nya. Garis yang menari-nari liar membentuk gambar perahu layar yang diterpa ombak di lautan lepas.

"Pelukisnya menggunakan teknik yang sama dengan yang dipakai Almarhum Affandi saat melukis, tapi entah kenapa nggak bisa sampai sebagus lukisan beliau," ucap Pak Dana dengan pandangan tak terputus dari lukisan di depan.

"Saya rasa karena pelukisnya kurang meluapkan emosinya. Nggak seperti Almarhum Affandi, yang selalu menumpahkan rasa emosinya secara optimal ke pemaknaan objek di setiap lukisannya. Sapuan cat minyak dengan jari dan kuas besar di lukisan ini, kurang kuat."

Pak Dana menoleh. Dia menarik sudut-sudut bibirnya ke atas, membuat Hanum mendadak menahan napasnya di kerongkongan. "Saya sependapat sama kamu."

Lelaki itu lantas melangkah, mengamati lukisan-lukisan lain. Hanum meremas jemarinya di depan perut. Kenapa dia jadi merasa grogi begini?

"Saya suka sama semua karya Almarhum Affandi. Tapi, paling suka sama lukisannya yang berjudul Pengemis. Beliau berhasil menggambarkan penderitaan si pengemis dengan baik. Menunjukkan, bahwa dunia memang kejam."

Mendengar perkataan Pak Dana, Hanum membeku.

"Aku paling suka sama lukisannya Almarhum Affandi yang berjudul Pengemis. Si pengemis di lukisan itu kelihatan sekali mengalami penderitaan. Seolah pengemis itu ingin mengatakan bahwa dunia memang kejam." Ucapan Dana tatkala mereka berdua berada di sebuah pameran lukisan tempo dulu terngiang.

Hanum menggigit bibir bagian bawahnya. Dadanya terasa sesak bukan main. Tanpa sadar, dia melangkah mundur dan meremas blus bagian depannya.

Pak Dana menoleh padanya dan memandangnya cemas. "Kenapa, Num? Kamu sakit?"

Hanum menggeleng pelan. Dia tersenyum dengan terpaksa. "Saya nggak apa."

-oOo-

Hanum tersenyum begitu dua es krim rasa cokelat dan stroberi disodorkan si penjual padanya. Dia membayar dua es krim itu dan suara Aksa terdengar dari arah samping.

"Lihat ke kamera, Num."

Hanum menoleh. Aksa yang memakai kaos hitam dilapisi kemeja hijau tua kotak-kotak lengan panjang dengan semua kancing terbuka, membidik DSLR miliknya ke arahnya.

Memindahkan satu es krim ke tangan satunya, Hanum merapikan blazer dan menyelipkan rambut ke belakang telinga. Lalu, tersenyum menampakkan barisan gigi. Berdiri di sana, hingga Aksa menurunkan kamera dan menengok hasil jepretannya.

"Mana hasilnya? Aku lihat," ujar Hanum sudah berdiri di sebelah Aksa.

Aksa menunjukkan hasil jepretannya yang langsung membuat mata Hanum membeliak. Yang dijepret lelaki itu hanya dua es krim yang dipegang Hanum!

Hanum melotot tajam ke Aksa. "Kenapa es krimnya aja yang difoto? Kenapa aku enggak?"

"Aku emang mau ngefoto es krimnya aja," ujar Aksa dengan wajah sok polos.

Loveisble | ✔️ (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang