4 | Deal!

14K 1.3K 57
                                    

"Romantis dong, kejar-kejaran di trotoar."

Bersandar pada dinding kubikel Ganita, Hanum memandang si biang keladi tengah cekikikan puas sampai memukul-mukul meja kerjanya. Bibir Hanum cemberut. Dia menahan diri agar tidak menenggelamkan Ganita ke selokan depan kantor.

"Lucu?"

Tawa Ganita semakin keras. Beberapa redaktur sampai memutar kepala ke mereka berdua yang pagi-pagi sudah memecahkan ketenangan.

"Lagian kamu, Num." Ganita menyeka air matanya di pelupuk mata. "Kenapa sih, sebegitu nggak sukanya dideketin sama brondong?"

"Mak, brondong itu nyebelin dan agresif. Mereka ini ya, pemikirannya masih kekanakan. Paling deketin wanita yang umurnya udah kepala tiga kayak aku ini cuma dibuat main-main aja. Terus, kalo udah bosen pasti ditinggal."

"Nggak semua brondong kayak gitu, Num. Setiap brondong jangan dipukul sama rata, dong."

Mendengar ucapan Ganita, Hanum menggeleng. "Tetep aja. Bagiku, semua brondong itu sama aja. Kekanakan! Bahkan ada penelitian yang bilang bahwa wanita yang nikahin brondong itu lebih cepet meninggal. Itu berarti saking ribetnya ngurusin brondong pas udah nikah."

Kepala Ganita mengeleng-geleng. "Itu nggak mesti, ya. Temenku yang namanya Dea itu, malah meninggal di usia muda setelah setahun nikah sama duda umur empat puluh tahun."

Hanum bersidekap. "Nggak. Aku tetep nggak suka sama brondong. Jadi please, Mak jangan jodoh-jodohin aku sama Kevin lagi." Dia menatap Ganita serius.

Ganita mengembuskan napas berat. "Aku cuma nggak mau kamu terus terkurung dalam kenangan, Num. Sebagai temen, aku pengin lihat kamu bahagia."

Hanum tertegun. Baru kali ini Ganita mengucapkan kata-kata yang mampu menyentuh hatinya.

"Hi you two. Selamat pagi." Suara Nikita, sekretaris redaksi Jayabaya, terdengar dari belakang, diikuti wangi kopi dan parfum dirinya.

Hanum langsung menoleh, begitu juga Ganita. Nikita yang seperti biasa---selalu terlihat seksi dengan atasan blus ketat dan rok span selutut---berdiri di sebelah Hanum sembari memegang dua gelas kopi.

Hanum tersenyum ramah. "Pagi juga."

"Lagi pada ngegosipin siapa nih, pagi-pagi begini?" tanya Nikita.

"Yang pasti bukan lagi ngegosipin kamu, Nik," sahut Ganita.

Nikita terkikik. Melihat Pak Brahma masuk ke dalam ruang redaksi, dia cepat-cepat merapikan rambut bergelombang dan rok spannya. Lalu, tersenyum manis madu dan menyapa, "Pagi, Pak Brahma."

"Pagi," Pak Brahma menyapa balik dengan tersenyum.

"Pak Brahma suka moccacino, kan? Ini saya belikan buat Bapak." Nikita menyodorkan segelas kopinya ke Pak Brahma.

Sementara Hanum dan Ganita, saling lempar pandang. Sudah dari lama firasat keduanya mengatakan bahwa Nikita menaruh perhatian khusus pada atasan mereka yang sudah tidak lagi single itu.

"Oh, kamu nggak perlu repot, Nik."

"Nggak kok, Pak. Saya memang pengin beliin Bapak kopi."

Kepala Pak Brahma mengangguk. Dia tersenyum kembali dan mengambil kopi dari tangan Nikita. "Kalau begitu, thanks, ya." Dia menoleh ke Hanum. "Num, ke ruangan yuk. Ada yang mau saya bahas sama kamu."

Hanum kontan menganggukkan kepala dan pamit pergi pada Ganita serta Nikita yang sama-sama tersenyum. Namun bedanya, senyum Nikita saat ini terlihat terpaksa.

-oOo-

"What?! Yang bener aja, Nis?" Kalimat Hanum meluncur bersamaan dengan matanya yang melotot ke arah Nismara.

Loveisble | ✔️ (Sudah Terbit)Where stories live. Discover now