15. Stranger

447 46 8
                                    

Wangi roti yang baru saja diangkat dari oven, memenuhi indra penciumannya. Nuansa mengedarkan pandangannya, mencari beberapa roti pesanan Bara. Sepulang dari rumah Selatan—yang berujung penolakan pemberian sebuah gelang warisan turun-temurun itu, Nuansa langsung bergegas pergi menggunakan Ojol karena Taruna sudah dia suruh pulang begitu sampai di sana. Persetan dengan tawaran Selatan yang ingin mengantarnya pulang.

Di perjalanan, Nuansa mendapat telepon dari Bara. Kakak sepupunya itu menginginkan beberapa roti dari kedai ternama langganan mereka, tapi rapatnya selesai masih beberapa menit lagi dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai di kedai roti itu. Bara meminta Nuansa untuk mampir ke sana, katanya sih Bara akan menjemput Nuansa di sana setelah rapatnya selesai.

Nuansa menghela napas pelan ketika melihat langit berubah mendung dari tempatnya berdiri, semoga saja Bara datang sebelum hujan turun. Setelah selesai, Nuansa berjalan menuju kasir. Dia menyelesaikan pembayarannya, lalu mengambil ponsel untuk menghubungi Bara.

Tepat sekali dia membuka pintu kedai roti, hujan turun dengan deras. Dalam hati, Nuansa mendengus keras-keras. Mau tak mau dia mengurungkan niat untuk menunggu Bara di luar kedai. Langkah kakinya membawa dia pada tempat duduk yang tersedia di sana, Nuansa meletakkan sekantong roti itu di meja.

Sembari menunggu hujan reda dan menunggu jemputan Bara, dia memainkan ponsel. Suara denting saat pintu terbuka memenuhi ruangan itu, namun Nuansa memilih mengabaikannya. Mungkin salah satu pelanggan yang ingin berteduh sembari memesan roti dan kopi atau cokelat panas. Oh iya, selain menjual roti, kedai ini menjual berbagai jenis minuman berbahan dasar kopi dan cokelat panas.

Nuansa duduk di salah satu kursi tinggi menghadap jendela besar, menampilkan rinai hujan yang turun membasahi bumi. Jarak dua kursi dari tempatnya duduk, terisi oleh pelanggan yang belum lama datang itu. Wangi kopi dan roti yang bercampur memenuhi indra penciumannya. Ah, caramel macchiato, salah satu kopi kesukaannya.

Getaran ponsel menyadarkannya dari lamunan. Nama Bara terpampang di layar ponsel.

"Apa?" tanyanya to the point. Dia terlihat enggan untuk sekedar basa-basi.

"Lo masih di kedai roti?"

Nuansa berdecak. "Menurut lo aja ya, Bang. Lo pikir gue rela hujan-hujanan di luar cuma buat nunggu lo ngejemput gue? Nope."

Terdengar dengusan berasal dari Bara, membuat bibir Nuansa membentuk sebuah senyuman.

"Iya, Tuan Putri. Nanti kita jajan sepuasnya ya, gue yang traktir." Tanpa bisa Nuansa lihat pun, pasti wajah Bara berubah masam.

Tawa pelan lolos dari bibir Nuansa. "Oke, diterima. Hati-hati bawa mobilnya," ujarnya sebelum memutuskan panggilan.

Nuansa memasukkan ponsel ke dalam saku hoodie yang dia pakai. Kacamata hitam masih bertengger di pangkal hidungnya, sesekali dia bersenandung mengikuti lagu yang diputar. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, menciptakan nada yang beraturan.

Dia masih menikmati hal tersebut sampai suara seseorang mengejutkannya. Refleks kepalanya memutar ke satu arah dan mendapati seorang cowok tengah menatapnya dari tempatnya berada. Mereka hanya terhalang dua kursi saja.

"Maaf, apa sebelumnya kita pernah ketemu?"

*

Aldebaran Pramoedya punya alasan kenapa dia tidak begitu menyukai hujan. Al tidak suka bagaimana cuaca bekerja sangat ekstrem saat musim penghujan tiba. Terlebih disertai dengan petir dan angin kencang. Apesnya lagi, dia tidak membawa jas hujan dan membuatnya dengan terpaksa menepi di kedai roti terdekat.

SELATANWhere stories live. Discover now