1. Selatan Akarsana

2.2K 87 2
                                    

Rumah sudah bukan disebut rumah, jika tidak adanya kehangatan keluarga lagi di dalamnya. Selatan Akarsana

"Selatan," panggil suara bernada berat itu. Membuat cowok berseragam putih abu-abu dengan kemeja yang sudah terlepas dari kancingnya itu menoleh ke sumber suara.

Orang itu berdiri di ruang tamu, tepat di posisi di mana foto keluarga dengan bingkai besar yang terpasang di sana. Selatan menatapnya dengan malas. Muak melihat kehadiran sosok di depannya ini.

"Loh, Papa tumben banget pulang?" tanyanya sekedar basa-basi saja.

"Dari mana saja kamu jam segini baru pulang? Main sama teman-teman kamu yang nggak benar itu? Lebih baik kamu tinggalkan mereka. Mereka pembawa masalah ke kamu. Papa capek nerima surat panggilan terus dari sekolahmu!" seru Narendra—papanya.

Selatan langsung menatap papanya. Tanpa dia sadari, senyum sinis terukir di bibirnya.

"Ninggalin? Jangan samain saya sama Papa yang nggak bisa balas budi sama orang yang nemenin Papa dari nol. Surat panggilan, ya? Seingat saya yang selalu datang itu asisten Papa. Jadi nggak perlu bersikap seolah-olah peduli kayak gini." Selatan mendengus.

Narendra menatap Selatan dengan tajam, merasa tertohok atas ucapannya. Putranya yang satu ini terkadang memang harus diberi pelajaran agar tidak kurang ajar pada orang tuanya.

Selatan melirik tangan Narendra yang sudah terkepal kuat. Dia lantas memandang papanya lagi. "Pukul saya kalau itu buat Papa puas. Toh, itu yang biasanya Papa lakukan ke saya, 'kan. Saya udah biasa," tantangnya.

Tatapan terkejut sesaat yang Narendra berikan sempat tertangkap oleh Selatan. Tangan Narendra yang tadinya terkepal kuat, perlahan-lahan mengendur. Sudahlah, niat awalnya pulang ke rumah bukan untuk bertengkar dengan putranya ini. Hubungan mereka memang tidak harmonis sedari dulu. Jangan sampai menambah kerenggangan lagi.

Narendra menghela napas. "Sudahlah. Papa ke sini hanya untuk kasih tahu kamu, akhir pekan ini kosongkan jadwalmu. Kakek mengadakan makan malam dengan rekan bisnisnya. Kamu harus datang, Selatan. Karena ini acara penting," ujar Narendra. Narendra tahu, kalau kakeknya adalah salah satu senjata untuk membuat Selatan menurut.

Selatan ingin sekali menolak, jika saja papanya tidak membawa nama kakeknya. Dia lebih baik bermain bersama teman-temannya—yang menurut papanya itu adalah pembawa masalah untuknya—daripada menghadiri acara membosankan itu. Dia benci harus mengakui kalau kakeknya bisa melakukan apa saja bila dia tidak datang ke acara yang katanya penting itu.

Selatan hanya mengangguk dan pergi begitu saja tanpa pamit pada papanya. Langkahnya membawa dia ke lantai dua, kamarnya. Rumah besar bergaya vintage itu terasa sepi baginya. Padahal ada belasan pelayan dan penjaga di rumah itu, namun tetap saja Selatan merasa sendirian.

Selatan membuka pintu kamarnya tak jauh dari tangga. Pintu kamar bercat putih, di depan pintu itu terdapat tulisan 'Ada Monster, dilarang masuk!' yang sudah mulai memudar. Terkadang tulisan itu membuat teman-temannya suka salah paham dan berakhir mengumpatinya. Kalau sudah begitu, cowok itu hanya bisa tertawa dengan puas. Biasanya sih Lingga yang sering menjadi korbannya.

Selatan menuju kasurnya dan menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Dia masih belum melepaskan seragamnya, tangannya mengambil ponsel di saku celana seragamnya. Mendial nama salah satu anak buahnya. Tepat didering ketiga sambungan itu terhubung.

"Ada apa, Bos?" tanya Lingga. Suara berisik di seberang sana sedikit membuat suaranya tidak terdengar. Terdengar suara Lingga yang sempat menyuruh teman-temannya untuk diam karena ada telepon dari Selatan.

"Kosongin jadwal gue di akhir pekan. Batalin semua jadwal balapan gue."

"LOH, KOK?! BOS, 'KAN KITA UDAH SEPAKAT, ATUH. GANTI RUGI DONG KITA?!"

"Ck, entar gue transfer ganti ruginya. Cuma sedikit doang itu rugi juga. Gue ada acara penting."

"Tan, tapi geng sebelah nantangin kita lagi. Kalau lo gak datang, pasti mereka bilang lo cupu."

Selatan terkekeh pelan. "Santai aja. Kalau gue bisa kabur dari acara itu, gue ke sana. Salamin sama anak-anak yang masih di markas. Dah, makasih." Selatan menutup sambungan secara sepihak. Masa bodo dengan umpatan Lingga di seberang sana.

*

"Kenapa?" tanya Jovan yang melihat raut kusut di wajah Lingga setelah cowok itu menerima telepon dari Selatan.

Lingga tidak langsung menjawab. Dia menyalakan sebatang rokok, kemudian menghisap dalam-dalam batangan tembakau itu. Lantas menghembuskannya perlahan-lahan ke udara.

"Anjirlah! Selatan minta batalin jadwal balapan di akhir pekan ini." Lingga mendengus.

"Kok bisa?"

"Ya mana gue tau. Dia cuma bilang ada urusan penting. Nggak bilang ada urusan apa sampe mau ngebatalin balapan yang udah disusun dari lama. Duh, kita banyak ganti rugi nih."

Jovan terkekeh. "Yailah, santai aja kali. Pasti Selatan juga bakal transfer ganti ruginya juga. Lo tau sendiri 'kan gimana keluarganya kalau ada acara yang katanya penting itu. Mau kabur juga percuma, pasti bakal ketemu juga. Mau diacak-acak nih markas?"

Lingga memutar bola matanya malas. Jelas saja, siapa yang tidak tahu Keluarga Akarsana itu? Yang rela melakukan apa pun hanya untuk kepentingannya sendiri. Jika saja Selatan bisa menghapus nama belakangnya itu, Lingga yakin sudah dari dulu cowok itu akan melakukannya. Namun karena sejauh ini hanya Selatan yang diketahui dan—sudah pasti—diakui akan menjadi pewaris Keluarga Akarsana, mau tak mau Ketuanya itu bertahan. Setidaknya bertahan untuk orang-orang yang cowok itu sayangi.

Ngomong-ngomong soal balapan, Lingga segera membuka layar kunci ponselnya lagi. Jarinya bergulir di kolom pesan untuk menemukan sebuah nama yang menjadi tujuannya. Setelah menemukannya, dia mengirim beberapa pesan pada si penerima.

Tak berapa lama, dia mendapatkan balasan yang membuatnya berdecak sebal. Kalau saja orang yang mengirim pesan balasan tersebut ada di depan Lingga, sudah dipastikan cowok itu akan memukulnya.

"Yeu, si anjir. Disamperin Selatan juga lo udah ciut. Pake ngata-ngatain lagi. Lihat aja di balapan selanjutnya, bakalan babak belur lo kalau Selatan benar-benar serius." Lingga langsung menutup kembali layar ponselnya tanpa membalas pesannya.

*

to be continued.

SELATAN

Copyright © Syakila Aisyaroh, 2020

SELATAN AKARSANA

⚠️Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚠️Disclaimer: Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan.

Jum'at, 07 Agustus 2020 | Depok

SELATANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang