Jane Memang Nekat

24 3 0
                                    


"Wah, benarkah? Ini mukjizat! Ini bagus sekali!" Angela bertepuk tangan sakin senangnya. Wajahnya yang merah kelihatan semakin mirip udang rebus, sementara matanya yang biru gelap tampak bercahaya. "Tuan Williams memang pria yang sangat baik. Anda pastilah wanita yang sangat istimewa karena telah manjadi istrinya, walau tampaknya anda masih malu-malu. Yah, biasalah pengantin baru. Saya akan mendoakan semoga kalian berumur panjang dan dikaruniai banyak anak-anak yang sehat. Amin."

Jane tersenyum meringis. "Terima kasih. Itu ... sungguh doa yang sangat ... bagus, suster. Ohya, Justin ... suami saya juga tetap mentransfer dana untuk anak-anak di sini."

"Tak dapat kupercaya! Terima kasih, Tuhan! Nyonya Williams, kehadiran anda membawa kebahagiaan bagi kami. Hanya Tuhan yang dapat membalasnya."

"Iya. Tapi suami saya meminta agar anda tidak perlu berterima kasih berkali-kali, suster. Sebab itu akan membuatnya malu."

"Saya paham. Saya juga percaya sekali kalau kalian akan menjadi pasangan yang berbahagia," ucap wanita itu berkali-kali mengucap terima kasih dan akhirnya memeluk Jane.

"Baiklah suster. Saya permisi dahulu. Saya akan segera mempersiapkan keperluan untuk pesta besok. Sampai ketemu, besok pagi," ucap Jane yang segera melangkah pergi.

Ternyata telepon dari Justin amat mempengaruhinya. Terbukti Jane masih saja gemetar karena tadi takut ketahuan. Sementara, Noel yang hampir tertidur, buru-buru membukakan pintu mobil untuk Jane.

"Kita pulang nyonya?"

"Tidak. Ayo kita jalan-jalan dulu," jawab Jane berusaha menenangkan diri.

"Jalan-jalan? Asyik!" sorak Noel gembira.

'Kau tampak senang sekali, Noel."

"Benar Nyonya. Meski baru beberapa hari bekerja dengan Tuan Williams junior, tetapi rasanya seperti sudah puluhan tahun. Rumah itu sepi bagai kuburan," ucap Noel yang jelas merupakan keluhan. 

Ternyata benar. Rumah 'suami'nya memang sumber dari segala rasa sepi. Termasuk pemiliknya. Jane memikirkan, bagaimana kira-kira reaksi Justin bila sampai tahu kalau besok ia akan menyelenggarakan pesta yang sudah ditolaknya, di rumahnya. Pasti Justin akan marah besar, mencak-mencak, berteriak, mencekik lehernya dan akhirnya mengusirnya. Lalu ia akan kembali ke jalan!

Hahaha... Nothing to lose, pikir Jane geli. Ternyata menjadi miskin itu tidak selamanya buruk. Buktinya saat ini. Apapun yang akan terjadi, tidak akan merugikannya. Sebab memang tidak ada yang dipertaruhkannya.

"Pesta, Nyonya? Wow, hebat! Tapi bagaimana dengan ... Tuan?" tanya Noel cepat, saat Jane mengutarakan maksudnya. Tak mampu dibayangkan oleh Noel seperti apa majikannya akan marah jika ketahuan, kelak.

"Tentang itu, biar aku yang memikirkan. Lagi pula, kalau menurut prediksiku, Tuanmu tak akan pernah tahu soal pesta ini. Karena kita akan selesai sebelum dia pulang dari rumah sakit. Sekarang bawa aku ke mall. Aku ingin membeli banyak hadiah untuk tamu-tamu kita besok. Aku juga ingin beli pizza."

"Siap, laksanakan!" Noel segera memacu mobilnya menembus jalan raya dengan mulut menyeringai lebar.

"Oh, semoga Tuhan bersamaku, besok," gumam Jane optimis, lebih kepada dirinya sendiri. Saat bayangan Justin melintas, cepat-cepat disingkirkannya dari benaknya.

"Bu Douglas, Nyonya. Serahkan saja semuanya pada Ibu Doug. Dia ahli dalam menangani pesta," ujar Noel tersenyum lebar. Ia pasti mengira Jane sedang kebingungan dalam memikirkan pesta esok.

"Tentu saja, Noel," ucap Jane tersenyum.

Di rumah Justin, yang menurut Jane, besarnya bagai istana, ada beberapa pelayan yang bisa menjadi temannya selama ia menjalankan tugas negara sebagai Nyonya Williams. Mereka adalah; Mrs. Douglas, wanita bertubuh gemuk yang sangat pintar memasak. Wanita itu sudah bekerja di keluarga Williams hampir seumur hidupnya. Saat usia sepuluh tahun, kemiskinan membuatnya tidak melanjutkan sekolah dan terpaksa mengikuti ibunya menjadi pembantu di rumah Rodrick Williams, kakek Justin. Usia dua puluh lima tahun, ia dibawa oleh Henry Williams, ayah Justin, untuk bekerja di dapurnya. Dan selama tujuh tahun belakangan ini, Mrs. Dough ikut bersama Justin yang memutuskan keluar dari rumah orangtuanya dan tinggal di rumah yang dibangunnya sendiri.

Rumah Justin yang berlantai dua, dengan banyak ruangan yang dibangun besar-besar dan luas, serta kamar-kamar dengan fungsi yang berbeda-beda, tidak mungkin mampu diurus oleh satu orang saja. Itulah mengapa di sektor ini, Justin memperkerjakan Mrs. Bruno. Pada dasarnya, wanita ini berasal dari hotel, hingga tak diragukan lagi kecekatan tangannya dalam mengurus rumah sebesar itu. Lagi pula, jika tidak sedang mengurus Jane, pelayan-pelayan transferan dari rumah Isabel  Kerry, Conny dan Noel  akan turut membantunya.

Sementara untuk bagian luar dan taman, ada Mr. Brown yang sangat mencintai bunga. Halaman yang begitu luas, mampu dipeliharanya hingga menjadi taman yang asri dan menyenangkan. Hamparan rerumputan yang melingkari fountain, bagaikan karpet hijau yang jika saja Jane tidak ingat statusnya di rumah itu, rasanya dia ingin sekali berguling-guling di atasnya. Lalu di bagian depan sekali, sebagai ujung tombak keamanan, dibangun pos sekuirti yang modern di dalamnya selalu ada Mr. Roman dan Mr. Blair. Kedua orang ini sangat pendiam, dan hampir-hampir tidak pernah berbicara. Dan pria terakhir yang bekerja di rumah Justin adalah Mr. Alexandro, supir pribadinya.

Semua pelayan benar-benar menyambut gembira ketika Jane meminta mereka semua berkumpul di dapur untuk bersama-sama menikmati pizza dan coke yang dibelinya tadi. Bagi mereka, undangan semacam itu sangat jarang terjadi. Bahkan tidak pernah, semenjak mereka bekerja dengan Mr. Williams junior. Siapa sangka kini mereka malah duduk semeja dengan Nyonya rumah mereka yang ramah dan baik hati, yang memperlakukan mereka dengan penuh hormat.

Sikap Jane yang supel dan penuh canda membuat mereka tidak merasa canggung untuk berbaur bersama. Sebenarnya Jane yakin kalau para pelayan Justin pasti merasa heran dengan apa yang terjadi pada dirinya dan si tuan ruman. Baru menikah, namun hubungan mereka kering seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Tidak pernah terlihat bersama dan tidak ada canda mesra. Menikah tetapi tidak berbulan madu, tidur di kamar terpisah, makan sendiri-sendiri, dan tidak saling bertegur sapa. Mereka pasti berpikir macam-macam dan akhirnya sampai pada satu kesimpulan, bahwa Jane dan Justin mungkin menikah karena dijodohkan. Jadi bukan karena saling cinta. Namun tentu saja semua pikiran mereka itu menjadi rahasia diantara mereka sendiri. Siapa coba, yang berani mempertanyakan hal itu?

Demikian pula dengan Jane. Ia wajib merahasiakan jati dirinya terhadap siapapun, selagi statusnya adalah istri Justin Williams. Persetan jika di dalam rumah, mereka terlihat seperti orang yang tidak saling mengenal. Yang terpenting adalah, Jane tidak membuka mulutnya. Itu bahkan poin yang terletak paling atas dari banyaknya poin-poin di dalam perjanjian yang diserahkan Isabel Williams sebelum pernikahan terjadi.

Bagi Jane, tidak sulit untuk tetap merahasiakan siapa dirinya. Yang sulit itu adalah menjauh dan tidak berteman dengan para pelayan. Walau ada poin yang mengatur kalau Jane tidak boleh bergaul dengan para pelayan, tetapi Jane tidak dapat mematuhinya. Tanpa seorangpun teman bicara, ia bisa gila di rumah itu.

"Aku tahu kalian pasti suka pizza, sama seperti aku," Jane menggigit potongan besar pizzanya dan berusaha mengunyah dengan susah payah. Mrs. Douglas dan para wanita lainnya tertawa melihat betapa lugunya Nyonya rumah mereka yang baru itu.

"Anda gadis yang baik, Ms. Mattson," komentar Mr. Brown dengan suaranya yang berat. Ia lalu mengambil sekaleng coke untuk yang ketiga kalinya, dan langsung menenggaknya sampai habis. Pria bertubuh besar yang sangat mencintai pekerjaannya itu memang kuat minum. Kata Mrs. Douglas, setiap hari Mr. Brown mampu menghabiskan setengah galon air mineral. Namun yang paling sedikit bicara.

"Hey, guys! Nyonya memutuskan besok kita akan mengadakan pesta!" ujar Noel tiba-tiba membuat semua orang yang berada di dapur menoleh kaget. Bahkan Mrs. Bruno sampai menyemburkan coke yang sedang diminumnya.

Rekayasa PernikahanWhere stories live. Discover now