Hampir Ketahuan

20 4 0
                                    

“Nyonya Williams! Selamat datang. Saya suster Angela Morgan, kepala panti rehabilitasi ini. Kami merasa sangat tersanjung dengan kedatangan anda,” sambut seorang wanita, seraya memegang tangan Jane erat. Wajahnya memerah  satu-satunya bagian tubuh, selain tangannya  yang tidak tertutupi oleh pakaian hitamnya, tampak tersenyum ramah. Dan itu memaku langkah Jane yang baru saja hendak kembali masuk ke dalam mobil. 

"Anda sungguh mengejutkan saya. Kalau sebelumnya anda menelepon, kan saya bisa mempersiapkan sesuatu untuk anda, Nyonya.”

Jane tersenyum lebar. Hal positif menjadi orang kaya adalah, kau akan disambut dengan tangan terbuka, kamana pun kakimu melangkah. "Tidak perlu repot-repot, suster. Aku hanya mampir sebentar,” ucap Jane akhirnya, seraya membuang perasaan sungkan yang menjalar di tubuhnya. Ini tidak benar. Ia tidak pernah dilatih untuk diperlakukan istimewa.

Persis seperti di rumah Justin. Salah satu poin ciptaan Isabel Williams adalah mengharuskannya bersikap layaknya Nyonya rumah. Sementara seluruh pelayan yang tidak mengetahui perihal perjanjian tersebut, seakan berlomba-lomba untuk mengurusnya. Menyiapkan makanan, pakaian, bahkan ia tidak dibenarkan untuk membuat tehnya sendiri. Bahkan Isabel sampai mengirim dua orang pelayannya untuk memastikan dirinya selalu tampil sempurna selama berada di rumah Justin. Tak pelak lagi dia pun harus melakukan serangkaian penyiksaan a-la salon kecantikan yang tak pernah dibayangkannya.

Saat ini juga. Sikap suster Angela Morgan yang begitu menaruh hormat, membuatnya gerah. Karena ia menyadari, kedatangan ke panti itu benar-benar bukan mewakili Justin. Ia merasa bersalah karena yang dilakukannya adalah kebohongan. Tapi syukurnya, perasaan itu sedikit demi sedikit menghilang saat suster Angela membawa Jane berkeliling gedung.

Ruang-ruang kelas tempat anak-anak belajar, begitu berbeda dari yang diingat Jane. Murid-muridnya tampak seperti anak-anak berusia empat sampai sepuluh tahun dan sangat lucu-lucu. Tetapi pada kenyataannya, mereka cacat.

Menurut Angela Morgan, anak-anak itu mengalami kelainan kromosom yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental yang lazim disebut Down Syndrome atau DS. Ciri-ciri fisiknya adalah bertubuh pendek, dengan bentuk kepala yang kecil, hidung datar, bentuk mata yang miring serta tidak memiliki kelopak, dan kulit yang tampak keriput. Sistem motorik juga terganggu, termasuk kemampuan melihat, mendengar dan berbicara. Itu sebabnya anak-anak DS sangat memerlukan bimbingan dan dukungan. Di kelas yang dilihat Jane saat ini, tampak seorang suster muda sedang mengajar dengan kesabaran yang luar biasa.

“Suster Emma masih baru di sini. Tetapi dia cepat belajar dan cakap dalam menangani berbagai masalah yang ditimbulkan oleh anak-anak itu,” jelas Angela. “Dan jangan heran, salah seorang dari anak-anak itu ada yang sudah berusia dua puluh tahun loh.”

Jane terperangah. Betapa sulit untuk menjawab, bila ada pertanyaan mengapa Tuhan menciptakan penyakit seperti itu. Disaat sebagian manusia diciptakan dengan bentuk fisik yang sempurna, dengan kekayaan yang berlimpah, mengapa Tuhan juga menciptakan umatnya dalam kondisi sebaliknya? Jane menghela sedih.

"Di sebelah sana, ruangan khusus bayi. Mungkin Nyonya ingin lihat? Silahkan."

Dengan langkah bagai diseret, Jane mengikuti Angela Morgan menuju kesebuah ruangan yang khusus menangani bayi-bayi yang lahir dengan kelainan kromosom tersebut. Jane tidak kuat. Ia menitikkan airmata. Sering ia melihat betapa miskin dan terlantarnya hidup para imigran yang datang dan menetap di sekitar tempat tinggalnya. 

Namun lahir dengan cacat mental dan fisik, adalah dua hal yang amat berbeda. Jane dapat membayangkan jika seseorang dikaruniai seorang anak bayi mungil dengan kecacatan mental yang parah. Anak itu akan tumbuh dan bergerak dengan sangat terbatas tak ubahnya bagaikan boneka yang hancur.

Rekayasa PernikahanWhere stories live. Discover now