Si Anak Mama

68 8 5
                                    

Justin Williams mencengkram erat gelasnya dengan perasaan kesal, sampai terdengar suara retakan. Gelas itu pasti akan pecah jika pria itu tetap mengepalnya dengan perasaan marah. Berkali-kali dia menarik napas lalu menghembuskan ya dengan kesal. "Aku tak percaya Ibu tetap melanjutkan rencana gila itu! Awalnya kupikir Ibu hanya bercanda. Sial!" gerutu Justin geram.

"Gadis itu sebatang kara, Sayang. Dia bodoh, lugu dan tidak akan menimbulkan masalah. Dia cocok sekali untuk posisi ini,” terdengar suara Isabel Williams menenangkan anaknya yang tampak berang.

“Cocok? Sebenarnya apa yang ada di dalam pikiran Ibu, sampai mengambil perempuan jalanan untuk kunikahi?” tanya Justin setengah berteriak.

Isabel menatap dengan wajah memelas. "Ini hanya formalitas, Justin. Bahwa pernikahan akan tetap ada meski apa pun yang terjadi. Persetan dengan banyak gosip beredar di luaran! Yang penting, Aku tak ingin orang lain bergunjing tentang dirimu. Aku bisa marah kalau sampai ada yang mengatakan bahwa kau membawa karma buruk bagi gadis-gadis yang berada di dekatmu."

Sebenarnya Justin tidak bisa menerima alasan apapun yang membuat rencana Ibunya menjadi pembenaran. Tetapi dia juga harus mempertimbangkan perasaan wanita yang sudah melahirkan serta membesarkannya dengan semua kemampuan. Tentu saja melihat anaknya mengalami gagal menikah sebanyak dua kali, sudah merupakan musibah yang mengerikan. Ditambah lingkungan yang langsung memberi hukuman sosial yang bahkan lebih seram dari kematian.

"Sebenarnya ... Kurasa, aku tak sanggup lagi menanggung malu. Sudah dua kali kita mengalami kejadian seperti ini. aku capek dan kupingku panas tiap mendengar orang-orang membicarakan kita. Kali ini, kau harus tetap menikah, Justin. Lakukanlah kalau kau menyayangiku. Karena hanya inilah satu-satunya jalan keluar dari kemelut ini," Isabel menyapu setitik air yang keluar dari bola matanya.

“Ibu benar-benar telah merobek habis harga diriku sebagai laki-laki. Setelah 2 gadis pilihan Ibu lari entah ke mana, lantas sekarang Ibu menyodorkan orang asing untuk menjadi istriku. Untuk berapa lama?"

"Hanya satu bulan, Sayang. Dan sepanjang masa itu, kau tak perlu melakukan apapun, seperti pergi berbulan madu atau hal lainnya. Yang perlu kau lakukan adalah memastikannya untuk tampil sempurna agar kau dapat membawanya ke pesta teman-temanmu. Setelah waktunya tiba, kau akan menceraikannya."

"Ibu bahkan tidak terlihat bersimpati dengan status duda yang akan kusandang bulan depan."

"Oh, Justin ...." Isabel memegang punggung tangan putranya. "Kau takkan pernah tahu bagaimana perasaanku saat ini."

Isabel memang pandai merangkai kata. Lebih dari pada itu, memang, Justin pun sudah mendengar betapa tidak sedapnya gosip-gosip yang menerpa keluarganya akibat batalnya pernikahannya yang pertama dahulu. Lalu saat musibah itu berulang kembali untuk yang kedua kalinya, tentu saja Isabel akan melakukan segala cara agar tidak menanggung malu lagi. 

Sementara, Justin Williams adalah produk sempurna dengan semua kelebihan yang ada. Keturunan keluarga terhormat, tampan, menempuh pendidikan dari sekolah-sekolah elit, cukup mendapat perhatian orang tua yang sangat menyayanginya dan ... menguasai hidupnya. Semua itu membuat Justin tumbuh menjadi anak yang sangat patuh. Apalagi, jika sudah menyinggung nama baik keluarga. Sulit baginya untuk menolak. Lagi pula, siapa yang mampu membantah Ibunya?

"Jangan paksa Justin untuk selalu melakukan semua keinginanmu!" tiba-tiba seorang pria bertubuh tinggi besar, berambut sebahu, dengan penampilan a-la koboy, muncul di depan pintu.

Justin dan Isabel sama-sama menoleh. Namun keduanya memperlihatkan reaksi yang berbeda. Isabel kaget dan mendesiskan sebuah nama yang tak pernah disukainya lalu membuang muka dan pergi. Sementara Justin langsung melompat bangun menyambut dengan gembira.

"Big brother!" serunya seraya memeluk pria yang lebih tua beberapa tahun di atasnya tersebut dengan erat sambil tertawa haru. "Kau datang juga!"

"Huh! Aku langsung menjadi kakakmu hanya pada saat kau mengalami kesulitan, kan?" gerutu Marcus Fox melotot.

Justin menyeringai senang. Tidak pernah disangkanya akhirnya Marcus mampu melembutkan hatinya untuk kembali, setelah puluhan tahun meninggalkan rumah. Dan itu terjadi pasti karena seorang perempuan yang telah masuk ke dalam kehidupan kakak satu-satunya tersebut. Cinta memang kata lain dari mukjizat. Yang mampu membengkokkan baja paling keras di dunia.

"Kau meneleponku tepat saat Sydney di sampingku," gerutu Marcus membuat Justin tertawa.

"Dan aku tahu bagaimana tanggapan kakak iparku itu terhadap nilai-nilai persaudaraan. Dia pasti langsung memberimu mata kuliah yang membuat telingamu sakit, kan? Di mana dia? Kau datang sendiri saja?" Justin mencari-cari di belakang Marcus. Pria itu menepiskan tangannya.

"Sydney ingin sekali ikut. Tetapi perutnya terlalu berat untuk dibawa jalan-jalan."

"Padahal aku rindu sekali padanya dan Zach."

"Itu yang kuherankan. Mereka juga merindukanmu. Terutama Zach. Padahal kalau menurutku, kau bukan Paman yang baik."

Justin terkekeh. "Aku mungkin bukan Paman yang baik. Tetapi aku Paman yang keren."

"Yang benar saja!" Marcus meringis. Zach sempat galau antara ikut atau menunggu adiknya keluar.

"Tak sampai sebulan lagi, kan? Kau hebat, Kak!"

"Dan kau selalu bermasalah dengan perempuan!"

Justin salah tingkah. Sementara Marcus tak ingin membuang waktunya lebih lama lagi di rumah itu, meninggalkan istrinya yang sedang hamil besar. Nanti kita bicara lagi, ucapnya. Dia segera melangkah menuju ruang kerja Isabel, di mana wanita itu akan menghabiskan waktunya jika sedang tidak ada kesibukan atau bersembunyi. Atau mengutuki kehadirannya.

Setelah Justin meneleponnya dua hari yang lalu, dia memutuskan untuk pulang Manhattan, ke rumah yang pernah menjadi tempat tinggalnya saat masih remaja. 

Rumah Ayahnya yang seluas istana itu, sama sekali tak menjaminkan kebahagiaan. Mungkin Isabel tidak selalu memarahinya, meski orang-orang bilang bahwa Ibu tiri itu selalu kejam. Tetapi Marcus sudah mengerti dan dapat merasakan aura kebencian yang selalu menguap di antara mereka.

Kata-kata yang penuh sindiran serta kebencian, selalu didapatnya, membuatnya cukup tahu diri untuk pergi menjauh dan melukai hati Ayahnya. Karena tidak mungkin hidupnya akan tenang-tenang saja saat dia memiliki Ibu yang jelas-jelas memperlihatkan sikap permusuhan. 

Padahal kalau dipikir-pikir, mestinya Marcuslah yang pantas marah pada wanita yang telah merebut kekasih Ibunya dan menyebabkan wanita yang melahirkannya memilih untuk bunuh diri.

"Setelah puluhan tahun, aku tak menyangka kau bisa juga kembali ke rumah ini," terdengar suara Isabel penuh nada dingin. Wanita itu sedang duduk anggun di sofa, melipat tangannya di dada dan memandang kedatangan Marcus dengan wajah ketat.

"Kau pasti ingin sekali aku melupakan rumah ini."

Isabel mendengus. "Aku tahu kau dan Justin sering bertemu belakangan ini. Kulihat, beberapa kali dia melakukan perjalanan ke luar negeri. Dia mendatangimu, kan?"

"Dia bersikap layaknya seorang adik," bela Marcus berdiri tak jauh dari hadapan Ibu tirinya.

"Terserahlah. Tapi kalau kau datang untuk merubah keputusanku, sebaiknya kau lupakan saja niatmu itu!"

"Justin bukan anak kecil lagi. Dia sudah tiga puluh tahun. Kau harus membiarkannya menentukan hidupnya sendiri."

"Lalu berakhir menjadi pembangkang seperti dirimu?"

Marcus terdiam. Selain bibi dari sebelah ibunya yang telah memeliharanya semenjak dia kabur dari rumah, Isabel adalah wanita yang kata-katanya tidak mampu dibantahnya. Marcus sadar kalau dia dulu sangat membenci wanita tersebut dan akhirnya memilih untuk pergi. 

Dia paham Ayahnya sangat terluka karena perbuatannya. Tetapi jika Marcus tidak pergi, maka akan ada yang benar-benar terluka oleh tangannya. Masa puber yang sedang dihadapinya, amat berat. Dia tak ingin memukul seorang wanita, akibat rasa bencinya yang setinggi langit. Terlebih, wanita itu sudah memberinya seorang adik yang sangat dicintainya.

"Temui ayahmu sebelum kau kembali ke Whangerei!" terdengar suara Isabel sebelum Marcus menghilang di balik pintu kamar kerjanya.

~

Rekayasa PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang