Jane Ingin Berbuat Nakal

20 5 0
                                    

Selesai sarapan, Justin membaca sekilas surat yang baru saja diantar kurir. Sesaat setelahnya, diberikannya surat tersebut kepada pelayannya. "Kau tahu apa yang harus kau lakukan."

"Baik, Tuan," Noel mengangguk.

Jane yang masih berada di lantai dua, awalnya ingin berlari menuruni anak tangga, seperti yang selama tiga hari belakangan ini ia lakukan. Namun langkahnya terhenti. Justin masih ada di bawah, sedang berbicara dengan pelayannya. Setelah sang majikan pergi, Jane langsung berlari kecil menuruni anak tangga setengah lingkaran yang jumlahnya genap enam puluh empat buah itu. Ia selalu menghitungnya setiap naik dan turun. Itu adalah hobi barunya semenjak tinggal di istana Justin Williams.

"Pagi, Noel."

"Pagi, Nyonya," Noel yang usianya mungkin sama dengannya itu segera membungkukkan badan sedikit. "Apa kabar hari ini?"

"Biasa saja. Apa itu?" tanyanya menyelipkan jemarinya ke saku belakang celananya. Seperti biasa, pagi itu Jane mengenakan kemeja dengan lengan digulung sampai ke siku dan celana jeans model tiga perempat. Tetap memakai topi dengan rambut menyembul keluar dari lubang bagian belakang topinya. Namun tentu saja semua pakaiannya adalah baru. Sebab, salah satu dari sekian poin yang ditulis Isabel Williams untuk dilakukannya adalah, tidak mempermalukan Justin dengan berpenampilan dekil dan kotor. Bagi Jane itu bukan masalah besar. Dengan uang muka yang diberi Isabel, ia bisa membeli perlengkapannya hingga satu lemari.

"Surat dari asrama, Nyonya," Noel memberikan surat beramplop coklat tersebut kepada Jane.

Jane segera membaca surat tersebut lalu meringis. "Apa dia menolak?"

Noel mengangguk. "Kata Ibu Doug, Tuan muda tidak suka keramaian. Sangat berbeda dengan Tuan besar dan Nyonya yang sangat menyukai pesta dan acara-acara sosial."

"Anak pungut, barangkali," gumam Jane dengan mulut yang hampir tak terbuka.

"Apa, Nyonya?"

"Aku tak mengatakan apapun," Jane angkat bahu. Sekali lagi dia mencermati isi surat tersebut. Untuk golongan kelas atas yang menetap di Manhattan, proposal tradisi tahunan para keluarga kaya tersebut tampak aneh di mata Jane. Bagaimana mungkin sosok sedingin Isabel Williams mampu berhubungan dengan orang-orang cacat dari sebuah rumah rehabilitas? Ini membuat Jane penasaran. Dia juga ingin melakukan sesuatu yang di luar kebiasaannya.

Sudah tiga hari dia pindah ke rumah Justin. Alih-alih merasa bagaikan seorang putri, Jane justru bagai terpenjara. Makan, tidur, mandi, hanya itu saja yang dilakukannya sepanjang hari, membuat tulang belulangnya pegal. Ia tidak terbiasa terkurung di rumah, meski berbentuk istana. Memang, sesekali ia bisa berenang atau ke taman untuk memainkan biolanya. Bahkan dia pernah menyelinap keluar mengunjungi Marry dan Rossane. Tetapi yang mengesalkan adalah dia harus segera pulang sebelum Justin kembali dari rumah sakitnya.

Semua hal berbau protokoler seperti sejumlah perawatan kecantikan yang dilakukan si kembar Kerry dan Conny, membuat Jane bagai boneka hidup. Tak pernah dirasakannya kulitnya digosok hingga perih, lalu dipaksa berendam di kolam susu persis seperti corn flake saat sarapan pagi. Belum lagi kuku jari tangan dan kakinya yang tak sempat bernapas karena setiap hari dikikir dan diwarnai. Lalu wajah dan rambutnya, kalau bisa bersuara, mereka pasti akan menjerit minta ampun. Dan kalau bisa lari, mereka pasti sudah kabur dan bersembunyi di hutan Amazon.

"Anda tak ingin kami dipecat karena tidak melakukan pekerjaan dengan baik dan benar, kan Nyonya?" demikian pertanyaan lugu Kerry dan Conny, saat Jane protes.

Mau tak mau, Jane membiarkan kulit mukanya dikikis, dipencet, dicungkil lalu ditambal, sementara rambutnya ditarik-tarik, dibalur cairan menjijikkan dan akhirnya dibakar. Oke, itu bahasa kiasan yang kasar. Namun seperti itulah yang dirasakannya. Pada akhirnya, semua rutinitas itu terasa melelahkan dan mulai membosankan.

Lalu hubungannya dengan Justin? Tidak ada! Pria itu dengan dunianya sendiri, sama sepertinya. Mereka menjalani hidup sendiri-sendiri meski berada dalam satu atap. Kamar mereka berada di lantai dua, terpisah jauh oleh ruang keluarga yang luas. Kalau ia menuruni anak tangga sambil berlari kecil, Justin langsung memandang tak senang. Ia adalah pria yang tidak mengenal spontanitas. Kaku dan selalu membanting pintu kamarnya kalau didengarnya Jane menyusuri koridor rumah sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Wajahnya juga selalu dingin dan cemberut setiap mereka bertemu di tangga. Mereka menikah, tetapi tidak pernah bersama.

Kamar mereka terpisah. Jadi seperti dua orang asing yang terjebak di satu atap. Semua hal mereka lakukan sendiri-sendiri. Termasuk makan. Justin tidak pernah mengajak Jane makan bersamanya. Dan Jane pun lebih memilih makan di kamarnya atau bersama para pelayan, walau Justin melotot marah karenanya. Jane dan Justin tidak pernah bertegur sapa. Malah, mereka selalu berupaya untuk saling menghindar satu sama lain.

Bagi Jane, hidup seperti itu sungguh menggelikan ... dan mengerikan! Hingga ia merasa bisa gila bila tinggal lebih lama lagi di rumah Justin. Jane sudah tak sabar menghitung hari. Sudah tiga hari. Masih ada dua puluh tujuh hari suram yang mesti ia lalui.

"Jangan mengeluh! Semangat! Semangat! Nikmati saja fasilitas bintang lima rumah ini. Kolam renang air hangat, home theatre, perpustakaan, fountain, mobil yang siap mengantarkannya kemana saja, cukuplah untuk menghibur diri selama sebulan ini. Pernikahan? Itu tidak pernah ada. Jadi lupakan saja!"

"Nyonya?"

Jane tersentak dari lamunannya. Lalu melipat kembali surat yang berisi proposal acara tersebut. "Biasanya apa yang akan dilakukan Justin, Noel?"

"Kata Ibu Doug, Tuan akan menyumbang banyak sekali."

Tiba-tiba Jane tersenyum penuh misteri. "Eh, bagaimana kalau sekali ini berbeda?"

"Berbeda?" Noel nyengir. "Semenjak Nyonya hadir di rumah ini, kami semua sudah merasakan adanya perbedaan. Meski baru 3 hari, tetapi Nyonya membuat kami mendengar musik yang sangat indah. Suara-suara langkah di tangga, siul-siulan Nyonya, juga nyanyi-nyanyi kecil di koridor rumah. Memang terdengar aneh, tertapi kami menyukainya. Rumah ini terasa hidup."

"Hah! Yang benar saja!" Jane tak habis pikir kenapa tingkah konyolnya bisa menjadi menyenangkan. Tak pelak lagi, ia menyeringai karena lucu. "Hm! Ayo bawa aku ke alamat surat ini!" Jane mengedipkan matanya.

Akhirnya, dengan Mercy keluaran terbaru yang sangat mewah, Noel membawa Jane membelah lalu lintas kota Manhattan yang bagai tak berujung. Tujuan mereka adalah sebuah panti rehabilitasi di Mott Haven. Jaraknya tidak begitu jauh dari Lexington Place. Apa lagi bila dituju dengan mengendarai mobil milik Justin yang di dalamnya sungguh terasa sejuk dan empuk. Nyaman bagai di surga. Jane belum pernah merasakan kemewahan seperti itu. Sebelumnya, hal terbaik yang pernah ia rasakan adalah, menaiki taksi bersama ayah dan ibunya menuju taman kota, bertahun-tahun yang lalu.

Namun kondisinya sudah sangat jauh berbeda sekarang. Tidak ada Ayah atau pun Ibu di sisinya. Dia sendirian, berusaha untuk tersenyum indah. Dia harus bisa menikmati semuanya, dimulai dari sekarang. Lagi pula, tak dapat dipungkiri, sepanjang perjalanan, tak habis-habisnya ia mengagumi kemegahan kota Manhattan.

Sejauh yang ia baca di koran, pusat hiburan dan seni telah menjadi magnit jutaan pengunjung untuk menyelami ragam keindahan kota belanja tersebut. Bahkan untuk komunitas pecinta sepeda seperti Jane, bisa menikmati lanskap yang indah sempurna dengan menyusuri rute jalur sepeda sepanjang Time Square sampai Sungai Hudson. Dan jalan-jalan legendaris Harlem yang dipenuhi dengan musik-musik, membuat Jane berpikir bagaikan berpetualang mencari harta karun.

Manhattan memang kota yang sangat indah. Anehnya, kenapa bisa bersebelahan dengan Bronx?

"Kita sudah sampai, Nyonya," Noel menghentikan mobilnya tepat di depan sebuah bangunan tua di Willis Ave. Pada papan nama di depan gedung, ada tertulis 'Rehabilitation center for the mentally retarded'.

Jane yang baru turun dari mobil, terpaku sesaat. Berbagai perasaan tak enak, tiba-tiba menyerangnya. Maju terus, atau sebaiknya ia mundur saja sebelum benar-benar melakukan kekacauan?

Rekayasa PernikahanOnde histórias criam vida. Descubra agora