Kepingan : kalau kutolak

4K 297 9
                                    

"A, dulu kalau misalnya aku tolak lamaran Aa, gimana?" tanyaku iseng suatu hari, saat kami sedang bersantai.

"Tapi nyatanya nggak ditolak, kan?" beliau tersenyum iseng.

Aku tertawa, "Ya kan kalau, A. Ka-lau, coba... kalau waktu itu ternyata aku tolak gimana?"

Beliau tertawa kecil, "Gimana ya, Neng?"

"Iih... serius Aa!"

Tawa beliau makin lebar, sambil mengusap puncak kepalaku beliau berkata, "Kan waktu itu Aa baca keadaan dulu, lihat respon, Neng. Ternyata positif, ya bismillah lah, go ahead."

Aku tersenyum sendiri, sudah kuduga jawaban beliau pasti nggak ada unsur-unsur romantisnya sama sekali. Tapi, datang sendiri ke rumah menemui Papa untuk mengkhitbahku sudah jadi daftar keromantisan beliau yang pertama sih. Aku tersenyum kembali mengingat kejadian beberapa bulan lalu itu.

Berbekalkan alamat dan share location yang kukirimkan, beliau bersama tukang ojek online nyasar-nyasar mencari rumahku. Semua terbayar ketika Papa menyambut dengan hangat kedatangan beliau. Aku nggak bisa mencuri dengar apa saja yang mereka obrolkan. Hanya saja, saat itu aku paham bahwa perjuangan menuju halal dengan halal itu luar biasa.

Bagaimana bisa, beliau, lelaki asing yang sebelumnya tak pernah bertemu atau mengenal Papa. Di awal jumpa, langsung meminta untuk menikahiku. Beliau tepiskan segala ketidakmungkinan itu dan terus maju, hingga akhirnya Allah memudahkan segala proses kami.

"Jadi kalau waktu itu aku tolak, gimana?" aku masih tertuju pada pertanyaan pertama.

"Kenapa ditolak, Neng?"

"Ya... mana tahu aja dulu aku mau iseng nolak aja gitu."

Beliau garuk-garuk kepala sambil nyengir, "Ya... nggak tahu, Neng. Alhamdulillah diterima, ya?"

Aku kembali tertawa, ampun deh. Polos amat sih jadi orang, gemes deh.

Lagipula mana mungkin aku menolak pria salih sekaligus menggemaskan seperti beliau?

Malah harusnya aku yang bersyukur, sebab beliau memilihku. Kalau boleh jujur, aku masih nggak nyangka bisa sampai menikah dengan beliau. Rasanya... too good to be true. Oh, bukan. Beliau memang bukan lelaki super

sempurna seperti tokoh novel atau film. Sampai sekarang aku juga nggak tahu apa yang membuatku tertarik pada beliau, jauh sebelum beliau mengajukan lamaran. Di sisi lain, aku juga masih belum tahu, mengapa aku yang akhirnya beliau pilih. Padahal, bagi pemuda harapan tiap mertua seperti beliau, mudah saja untuk memilih gadis yang jauh lebih baik dariku. Mungkin kalau beliau bikin sayembara pencarian istri. Para gadis sudah berbondong-bondong mendaftar atau paling tidak para orangtua yang sedang mencarikan jodoh bagi putri mereka ikutan berpartisipasi.

"Lagian dulu darimana coba Aa dapat ide buat ngelamar aku?" aku kembali memancing. Bukannya apa, selama kami bekerja sama, rasanya nyaris nggak ada tanda kalau beliau tertarik padaku. Semua berjalan biasa saja, sampai suatu hari, dengan nada bercanda, beliau menanyakan sesuatu hal yang mengejutkan. Tentang kesiapan untuk menikah dan status lajangku.

"Ya... kalau ditanya idenya darimana, ya pasti dari Yang Maha Membolak-balikkan hati. Allah yang menggerakkan hatiku buat ngodein kamu, Neng."

Hahahaha, aku nggak bisa tahan untuk nggak ketawa. Astaga! memangnya jawaban seperti apa yang kuharapkan? Jelas bukan kecantikan wajah yang membuat beliau memilihku. Ada banyak yang lebih cantik dibanding denganku. Untuk agama, ah, aku nggak berani membandingkan dengan siapapun. Sebab aku sendiri baru proses berhijrah dari masa jahiliyah. Dan kalau alasan yang dikemukan seperti itu, aku bisa apa?

"Emang dulu ngode? Kayanya enggak."

"Ngode, Neng. Kamu aja yang nggak peka."

Aku nyengir kuda, "Ya abis Aa, ngodenya begitu, mana lah aku paham."

"Ya gimana? Namanya juga newbie."

"Ya sama. Mana juga aku paham, A. Aku kan newbie juga. Hihihi, ya ampun, amatir banget ya kita?" aku tergelak sendiri.

Beliau menatapku kemudian ikut tertawa, "Lho? Gimana? Kan memang newbie."

Hahahaha, lagi-lagi aku tertawa, mengingat betapa polosnya kami berdua. Meskipun baru mulai berhijrah, tapi sejak dulu aku memang jarang sekali berurusan dengan laki-laki dan segala jenis polemik percintaan. Pacaran pun aku nggak pernah. Sementara beliau, sejak kecil hidupnya memang sudah lurus rus. Wanita yang dekat dengannya hanya Ibu dan kakak perempuannya. Maka, ketika kami mulai berproses dan akhirnya menikah, banyak sekali kejadian-kejadian yang membuat kami kembali tertawa dan sadar bahwa ini belum apa-apa. Masih banyak yang harus kami pelajari terkait pribadi masing-masing. Taaruf atau masa perkenalan, bukan hanya dilakukan sebelum pernikahan. Bahkan setelah menikah hingga mungkin nanti sampai ajal menjemput, proses itu akan tetap kami jalani.

"Neng," panggil beliau membuyarkan lamunanku.

"A..." jawabku iseng lalu nyengir.

Beliau tersenyum lembut, bergerak mendekat, dan membisikkan sesuatu di telingaku. Membuat pipiku merona karena malu. Sebuah kalimat sederhana yang mampu membuatku sejenak melayang. Ah, beliauku, sejak dulu selalu begitu.

***
Note:  Ini sebenernya kisah ttg pasangan beda usia ya... tuaan ceweknya, bahahaha. Tapi kenapa sy pake kata 'beliau'? Sebab itu adalah panggilan hormat.
Terinspirasi darimana ya... salah satu acara TV yg ngundang pasangan beda usia, sang istri selalu menyebut sang suami dg sebutan beliau, dan bagi saya itu sweet banget bahahahaha #korbanmedia

END?

OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang