Bersediakah ukhty menjadi ustadzah rumah ini?

8.1K 442 31
                                    

Ibu masih marah, Ira tau itu. Menahan kekesalan yang berujung pada tangisan di sepertiga malam, pagi ini Ira berpamitan tanpa kata, hanya mencium tangan Ibu. Bapak sudah berangkat ke sawah sejak pagi. Mengatur pengairan untuk padi mereka. Hari ini giliran sawah Bapak, pemilik sawah yang lain bergiliran untuk mengalirkan air dari sumber mata air ke sawah mereka masing-masing.

Sudah beberapa kali memang Ibu marah perihal sikap Ira yang selalu tampak santai dan tenang, menghadapi gunjingan para tetangga tentang dirinya yang belum juga menikah di usia yang ke 32. Ah, nampaknya bukan itu saja. Ira memang sudah jadi bahan gunjingan sejak ia memutuskan resign dari Bank yang cukup ternama di kota dan kembali mengajar sebagai guru SD di desanya. Lulus dari pendidikan matematika, Ira sempat bekerja sebagai guru honorer di SD tersebut, hanya satu tahun. Setelahnya ia mendapat panggilan kerja di sebuah bank swasta pusat di kota. Saat itu dia menjadi buah bibir juga di desanya, cantik, baik, pekerjaan mapan, dan gaji besar.

Tapi terjadi sesuatu di tahun ketiganya bekerja. Ira hijrah, ia mulai rajin mengikuti kajian dan memperdalam ilmu agama di tengah-tengah kesibukannya sebagai karyawati bank. Hingga ia kemudian resign, tepat saat ia direkomendasikan untuk naik jabatan. Ira sempat galau. Jabatan itu sudah lama ia nantikan, tapi di sisi lain hatinya menolak keras untuk tetap bekerja di bank. Benar, bukanlah kekayaan yang ia kejar, bagaimana kelak ia akan menjawab pertanyaan di akhirat  bila ia telah mengetahui kebenaran tapi mengikarinya hanya demi harta yang mungkin juga tak mampu menyelamatkannya.

Saat itu keluarga besar dan para tetangga mulai menggunjingnya. Mulai dari membodoh-bodohkan Ira, mengira Ira ada masalah di kantor dan dipecat, atau tuduhan miring lainnya yang sungguh tak pantas. Apalagi sejak itu Ira konsisten mengenakan pakaian syar'inya. Kerudung lebar, gamis, dan kaos kaki membuat Ira dipandang aneh. Disangka mengikuti aliran tertentu, dan lain-lain.

Ibu, Bapak, Kakak, dan adik Ira masih berprasangka baik pada Ira. Meskipun awalnya mereka cemas, tapi Ira mampu menjelaskannya dengan baik. Tapi, yang paling mereka khawatirkan adalah jodoh Ira. Bukan suatu hal yang lumrah seorang gadis masih sendiri diatas usia 30 tahun di desa mereka. Mas Adam, menikah dengan Mbak Septy, iparnya, saat usia Mbak Septy masih dua puluh tahun.

Fadhilla, si bungsu, menikah dengan seniornya tahun lalu, di usia 19 tahun. Saat itu Ibu dan Bapak melarang Fadhilla melangkahi Ira. Tapi justru Ira yang amat mendukung keinginan Fadhilla itu untuk bersegera menikah daripada pacaran.

Kini Ibu mulai menyalahkan keputusan Ira yang mendukung Fadhilla, Ibu terus menekan Ira untuk segera menikah. Ira bukannya tidak tahu, Ibu mungkin tertekan dengan gunjingan tetangga yang makin menjadi. Terakhir, Ibu sampai tidak mau belanja ke warung sebab si pemilik warung senantiasa menyindir bahkan terang-terangan menyerang Ibu dengan kata-kata yang menyakitkan hati.

"Bu... Bu Humaira?" panggil seseorang membuat Ira tersadar dari lamunannya. Seorang lelaki memandang Ira dengan wajah heran.

"Eh, Bi. Maaf-maaf, iya lagi nggak konsen." Jawab Ira tersenyum malu. Abimanyu Mustafa Anam namanya. Dulu murid di SD itu juga. Dulu, saat Ira masih honorer, Abi sudah kelas enam. Sang bintang kelas yang bermata bening, itulah hal yang pertama diingat Ira ketika Abi datang ke SD mereka dua bulan yang lalu. Ia sudah selesai skripsi di semester 7, dan akhirnya bekerja sebagai guru honorer. Sekolah menerimanya dengan senang hati, terutama para guru. Tak ada hal yang lebih menyenangkan bagi seorang guru kecuali melihat murid-muridnya akhirnya menjadi orang berhasil. Selain sebagai guru, Abi juga Aktif dalam organisasi pemuda di desa, sebagai anggota Karang Taruna dan juga Remaja Masjid. Malah mereka kini sedang mengembangkan usaha pertanian dan peternakan lele yang diharapkan mampu meningkatkan pula perekonomian desa. Kemajuan yang cukup pesat. Hingga beberapa penduduk desa mulai membicarakannya. Sebab jarang sekali ada pemuda cemerlang yang mampu membangun desanya kembali setelah menimba ilmu di kota, selain kenyataan bahwa tidak banyak remaja di desa mereka yang berpendidikan tinggi.

OneshootTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang