Cantik [Daniel]

14.7K 433 38
                                    

Rating : Semua Umur

Marissa memandangi pria yang di hadapannya secara cermat, rambut hitam pekat, mata hitam beraksen emas di tepinya dan—yang menyebalkan—mempunyai kulit yang sama putih dengan dirinya. Dari segi mana pun ia terlihat sebagaimana seorang pria. Tapi ... entah mengapa, Marissa memikirkan sesuatu yang tidak seharusnya.

Honey.”

“Siapa yang kamu panggil Madu?” jawab Daniel yang tak menghiraukan Marissa dengan serius dan terus membaca buku.

“Daniel, kamu tahu enggak?” tanya Marissa tanpa mempedulikan ‘sindiran’ yang Daniel ucapkan tadi.

“Bukan enggak, tapi; tidak,” kata Daniel mengoreksi ucapan Marissa tanpa menjawab pertanyaannya.

Marissa yang mendengarkan itu mencebikan bibirnya, kesal karena tidak ditanggapi dengan serius oleh tunangannya—dan yang malah mengoreksi cara bicaranya. Membuat ia bergunyam pelan, “Dasar, kakek-kakek.” Dan terkena lemparan bantal hias dari Daniel.

Dengan kesal Marissa menaruh kembali bantal yang dilemparkan Daniel ke arahnya. Ia diam tak mengatakan apa pun, walau sebenarnya sangat ingin mengatakan—lagi, sesuatu yang buruk tentang Daniel. tapi Marissa tidak melakukannya, karena mengetahui ‘hal’ apa yang akan menimpanya nanti. Jadi, lebih baik Marissa mengatakan hal yang semula ingin ia katakan.

“Daniel, kamu tahu tidak,” Marissa menekankan pada kata tidak karena pengoreksian Daniel, “aku merasa kamu itu cantik loh!?”

Perkataan Marissa itu membuat Daniel yang semula terfokus pada buku yang dibacanya, menatap Marissa dengan tajam.

“Pemikiran dari mana itu?” tanya Daniel dengan nada dingin.

Marissa yang—entah kenapa—tidak melihat situasi menjawab, “Habis kalau aku ngeliat kamu, rasanya gimana gitu. Bukan karena kamu melambai—karena dari segi mana pun tidak ada yang mencirikan hal itu, tapi aku merasa kamu cantik.

“Aku engga tahu kenapa mikir begitu, padahal tingkah dan tampang kamu engga ada mirip-miripnya sama perempuan, dan pria sekali. Tapi–entah kenapa–aku merasa kamu lebih cocok jadi Tuan Putri dari semua perempuan yang aku kenal, bahkan dari Kak Karenina.”

Daniel terdiam, kemudian menaruh buku yang semula masih dibacanya ke meja dan berjalan ke arah Marissa. Lalu dalam hitungan detik, tangan Daniel sudah mencubit pipi Marissa dengan keras.

“Mulut lancang ini yah, yang berbicara?” ucap Daniel marah, tanpa melepaskan cubitannya dari pipi Marissa, walaupun ia berteriak kesakitan dan meronta-ronta. Setelah puas melampiaskan kekesalannya, Daniel kembali duduk dan membaca buku. Sementara Marissa mengelus-elus pipinya yang memerah akibat cubitan Daniel. Tapi Marissa, seolah tidak jera, kembali membuka percakapan.

“Daniel, di antara Ayah dan Ibu, kamu lebih mirip siapa?” tanya Marissa.

Daniel terdiam agak lama, sampai Marissa berpikir kalau ia tak akan menjawab, sebelum mengatakan, “Kata Ibuku aku mirip Ayahku.”

Marissa merasa ada kejanggalan saat Daniel mengatakan itu, dan bertanya, “Dan menurut orang selain Ibumu?”

Lagi-lagi Daniel terdiam, bahkan kali ini lebih lama dibandingkan dengan sebelumnya. seolah tidak mau menjawab. Tapi karena Marissa memandangnya dengan tatapan penasaran—yang bagi Daniel mirip dengan burung hantu, membuatnya mau tidak mau menjawab.

“Kalau menurut orang selain Ibuku, aku mirip dengannya ....”

“Dengan siapa?”

“Ibuku.”

“Tuh, kan! Kubilang ju—” Sebelum kalimat itu selesai diucapkan Marissa sebuah buku melayang ke mukanya, membuatnya tak dapat meneruskan. Marissa mengusap wajahnya yang terasa kebas karena tersambit buku, tak menyadari jika Daniel sudah berdiri di depannya dengan tatapan ‘membunuh’.

“Keliatannya mulutmu memang perlu dijahit.” ucap Daniel dengan senyum mengerikan.

Tamat.

Kisah Rahasia [Rangkaian Keluarga Wijaya]Where stories live. Discover now