Bab 35 - Universe (END)

6K 501 74
                                    

SETELAH kupikirkan, ternyata jauh lebih indah hidup dalam mimpi. Aku bisa mengendalikan semuanya, dan membuatnya menjadi milikku. Tanpa mengkhawatirkan banyak hal, tanpa takut akhir cerita kami berakhir sedih. Kita melakukan apa yang kita mau, dan saling mencintai seolah-olah kita berdua berhak mendapatkan keberkahan semacam itu. Bisakah aku hidup di dalam mimpi saja?

Kaluna Utari berjalan di tengah keramaian orang-orang dengan langkah linglung. Ia bahkan tidak memedulikan semua orang yang terang-terangan menatap dirinya yang terlihat kacau. Gadis itu membiarkan air matanya berjatuhan tanpa mengenal tempat. Kaluna terlihat seperti orang yang tidak memiliki arah hidup.

Pedih rasanya. Perpisahan ini menjadi luka yang rasa nyerinya tiga kali lipat setelah tiga puluh menit berlalu. Dan mungkin semakin berjalannya waktu, lukanya akan semakin nyeri tak tertolong. Apakah ia benar-benar bisa menahan semua rasa sakit ini? Belum apa-apa, ia sudah merasa kesulitan mengatur siksaan di dada kirinya setiap tarikan napas.

"Apa aku gak pernah jadi sesuatu yang berharga buat kamu, Lun? Kenapa aku selalu jadi pilihan terakhir yang mudah kamu buang tanpa pertimbangan?"

"Kenapa kamu selalu buat aku jadi orang yang gak pantes buat dipertahanin?"

Kaluna berhenti melangkah, bayang-bayang dari ucapan Elvano makin membuat dadanya nyeri luar biasa. Ia menundukkan kepalanya dan bahunya bergetar hebat. Mulutnya setengah terbuka namun yang keluar hanya suara rintihan pelan saking terasa perih di ulu hatinya. Dan ketika dirinya tak sanggup menahan diri, isak tangisnya pun pecah. Kaluna menangis di tengah-tengah lautan manusia yang berjalan hilir-mudik dengan urusannya masing-masing. Beberapa dari mereka tampak kebingungan melihat seorang gadis menangis begitu menyedihkannya seakan-akan dunianya sudah berakhir.

***

Kenapa manusia harus memiliki perasaan dan hati nurani?

Kaluna selalu menganggap bahwa ia sudah menjalani kehidupan yang baik selama dua puluh lima tahun. Ia memiliki keluarga yang harmonis, teman-teman yang baik, dan pekerjaan tetap dengan gaji selangit. Semuanya terasa sempurna sampai dirinya sadar bahwa dirinya masih terpaku pada kisah cintanya yang tragis.

Masa-masa SMP sangatlah indah...

Ketika kau masih muda, tidak ada yang memusingkan selain matematika dan ujian sekolah.

Ketika kau masih muda, kau masih bertemu dengan orang-orang yang belum pergi meninggalkan dunia ini.

Kau menjalani hidup seolah dunia hanya memihakmu seorang. Merasa bahwa kau tidak akan merasakan kesulitan yang orang lain rasakan. Merasa bahwa dirimu akan tetap menjadi 'dirimu' tanpa berubah sedikitpun. Muda, dan bahagia.

Kaluna mendongak menatap lampu jalan yang menunjukkan butir-butir samar air hujan yang turun ke bumi. Semuanya berawal dari tempat ini. Tempat di mana ia mengalami kecelakaan.

Langit sudah gelap, hujan rintik-rintik, dan hatinya yang hancur lebur. Sungguh perpaduan momen yang sangat dramatis. Gadis itu berdiri membeku di persimpangan jalan, melihat bagaimana kendaraan di depannya melaju dengan kecepatan sedang.

Seandainya ia mengalami kecelakaan seperti hari itu, apakah ia akan bermimpi indah lagi? Karena ia ingin hidup di dunia mimpi itu. Ia bisa bertemu neneknya, masa mudanya, dan Elvano Varren.

Dirinya tinggal melangkah satu kali saja... maka dirinya akan menetap dalam dunia mimpi yang dapat dirinya atur sedemikian rupa. Ya... itu pilihan yang sangat menggiurkan. Secara tidak sadar, Kaluna benar-benar melakukan apa yang pikirannya inginkan. Gadis itu melangkahkan kakinya ke depan padahal rambu lalu lintas belum berubah warna menjadi merah.

"Oke! Gitu aja! Kita selesai di sini aja, dan gue nikahin Stefanie. Anggap aja apa yang terjadi sama kita beberapa hari ini cuma mimpi indah, dan berakhir gitu aja pas kita bangun. Seperti yang lo bilang, kita gak bakal bisa sama-sama. Gue bakal inget kata-kata itu."

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now