Bab 3 - To The One Who Showed Me What Happines is...

4.3K 396 20
                                    

Namanya Elvano Varren

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Namanya Elvano Varren. Dia tinggi, tampan, humoris, ramah, dan pandai bergaul. Terdengar sempurna, bukan? Itulah yang biasa kaukatakan pada laki-laki populer yang diidam-idamkan para perempuan. Kau mencari-cari letak kelebihannya untuk tahu alasan mengapa dia banyak disukai perempuan.

Kupikir saat itu aku hanya penasaran saja. Maksudku, dia punya kepribadian yang menyenangkan dan aku tidak pernah memerhatikan dia sebelumnya. Maka dengan kesadaran penuh,  aku mulai memerhatikannya.

Dia menarik, itu tentu saja. Dia tinggi, lebih tinggi dariku. Kulitnya putih, sama sepertiku. Matanya kecil tajam dan menusuk. Hidungnya pun mancung. Kalau dia tersenyum, manis sekali, layaknya anak kecil.

Pernah mendengar, semakin kita memikirkan sesuatu maka semakin dekatlah sesuatu itu pada kita? Meskipun aku enggan mengakuinya tapi semakin aku penasaran dengannya, semakin banyak informasi yang kuketahui mengenai dirinya.

Elvano itu... pintar bicara. Beberapa kali aku sering mendapati dirinya membantah ucapan guru, terlebih kalau apa yang dikatakannya sebuah kebenaran, walaupun tetap diselangi humor yang membuat gelak tawa satu kelas. Dia juga bukan lelaki baik seperti pangeran berkuda putih, dia sering bolos pelajaran lalu pergi ke kantin atau lebih buruknya, berdiam diri di toilet.

Kebiasaannya setiap kembali dari toilet, dia selalu membasahi rambutnya. Dia juga jahil, suka dipuji, agak mudah tersinggung, dan sering bergosip. Sedikit disayangkan, dia tidak begitu pintar dalam mata pelajaran.

Kebiasaan lainnya, dia lebih suka berada di luar kelas ketimbang di dalam kelas. Kegemarannya adalah duduk di tangga sekolah, menghalangi orang berjalan. Kalau sedang bosan? Dia mendengarkan lagu sambil tiduran di atas meja. Terkadang mulutnya juga pedas, dia blak-blakkan tapi gaya bicaranya terkesan polos, tampaknya dia tidak menyadari kata-katanya mungkin menyakiti hati orang lain.

Tapi setidaknya Elvano tipikal laki-laki yang dapat membuatmu merasa lebih baik ketika harimu tidak berjalan lancar. Mungkin itu sebabnya orang-orang merasa nyaman kalau dia masuk sekolah. Termasuk aku. 

"Hape siapa nih? Banyak banget," komentarku melihat empat ponsel berbagai merek di atas meja teman satu kelasku, Listy. Aku baru saja selesai menulis rangkuman mata pelajaran Bahasa Indonesia di papan tulis kelas karena gurunya tak masuk. Sebagai sekertaris kelas yang tidak keren sama sekali, aku harus menyia-nyiakan tangan kananku untuk menulis materi di papan tulis.

Kuucapkan terima kasih pada anak-anak di kelas yang mau meluangkan waktu untuk mencatat, dan mengutuk sisanya yang memilih mengambil gambar tulisan di papan tulis melalui ponselnya. Entah di rumah nanti mereka akan langsung menyalinnya ke buku atau tidak.

Aku menempelkan bokongku di samping Listy karena kulihat kursiku diduduki anak dari barisan belakang, sepertinya dia tidak bisa melihat tulisan di depan dengan jelas.

"Hape anak-anak cowok, mereka nitip bentar di gue katanya mau ikutan maen bola sama anak kelas sebelah," sahut Listy, perempuan berambut sangat pendek dan memiliki lesung pipit ketika tersenyum.

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now