Bab 18 - Let's Meet in The Future

2.9K 365 33
                                    

"ADA APA? Kalau gak penting-penting banget mending ngomongnya nanti aja deh

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"ADA APA? Kalau gak penting-penting banget mending ngomongnya nanti aja deh." Bahkan saat liburan sekolah, saat angin pantai menyentuh wajah kami, saat suara deru ombak terdengar, aku menatap wajahnya dengan pandangan jijik. Seolah-olah aku ingin menunjukkan bahwa aku sangat membencinya.

Pantai Sawarna, Lebak Banten dipilih menjadi tempat liburan bagi kami. Ombaknya yang cukup besar, dan cuaca yang panas membuat semua orang tampak bersemangat. Tentu saja kecuali diriku. Diriku yang arogan di hadapan Elvano Varren saat itu.

"Ini penting, Lun, setidaknya bagi gue," katanya dengan suara memelan. Dia terlihat gusar dan kebingungan.

"Apa itu?" tanyaku langsung, tidak ingin berbasa-basi.

Elvano mendongak, sorot matanya menatap lurus-lurus ke mataku hingga sejenak aku terkesima. Kenapa dia terlihat begitu tidak berdaya?

"Gue cinta sama lu."

Aku tidak pernah membayangkan kalau dia akan menyatakan cinta padaku untuk kedua kalinya. Maksudku, sepertinya ada banyak yang ingin ia katakan kepadaku, namun kenapa memilih berhenti? Kenapa dia merangkum banyak untaian kata itu demi sebuah kalimat pernyataan cinta omong kosong ini? Apa yang ada dipikirannya?

Aku terdiam selama beberapa saat, menunggu dia mengatakan kalimat selanjutnya. Tapi Elvano juga terdiam, dia tidak melanjutkan perkataannya. Dia malah seperti menunggu aku menjawab pernyataan cintanya.

"Kenapa?" tanyaku dengan suara serak. Aku berdeham kecil lalu menambahkan, "Ini yang pengen lu bilang?" tanyaku. Aku terbahak keras, mengejek dirinya.

"Lu tuh aneh ya, Van. Kenapa lu bilang kayak gitu disaat lo udah tau jawaban yang bakal gue kasih? Kayak yang lu bilang sebelumnya, gue itu cewek baik-baik. Apa lu pantes buat gue? Apa kita pantes sama-sama?" Alih-alih memberikan kata-kata baik yang akan membuat dadanya berdebar, aku malah memilih menjadi penjahat, entah kenapa sampai sejauh itu. Laki-laki di depanku ini terlihat sangat tulus, tapi aku menipu diriku sendiri seolah-olah dia tidak benar-benar mencintaiku.

Elvano menggelengkan kepalanya. "Gue juga tau kok, kalau kita emang gak cocok. Tapi gue gak mau nyia-nyiain detik demi detik yang berharga ini," katanya. "Gue pengen minta maaf sama lu, gue pengen jujur sama lu, dan gue pengen lu ngasih kesempatan buat gue, Lun. Sekali aja. Sekali aja, coba liat gue." Nada suaranya terdengar memohon dan nyaris putus asa.

Secara tidak sadar aku mengepalkan tangan kuat-kuat. Aku juga menginginkannya, amat sangat. Namun situasi kami sangat sulit. Bagaimana dengan Safira? Aku tidak mungkin menyakitinya hanya karena seorang Elvano Varren.

"Van, kayaknya ada kesalahpahaman deh di sini. Kenapa gue harus ngasih lu kesempatan? Apa lu mikir kalau gue juga punya perasaan yang sama kayak lu?" tanyaku.

Elvano tampak menelan ludahnya dengan susah payah. "Lun..."

"Gue gak suka sama lu," desisku. "Lu itu bagi gue cuma sampah masyarakat. Daripada buang-buang waktu buat nyatain cinta dan minta gue jadi pacar sama lu, mending lu inget baik-baik gimana gue ngerendahin lu di lorong gang waktu itu. Kita itu gak cocok." Tidak... Bukankah kata-kataku sangat berlebihan? Kaluna dia hanya seorang lelaki yang ingin menyatakan cintanya, kenapa kau memperlakukannya sekejam ini?

One Last Chance (END)Where stories live. Discover now