Bab 14 - A Moment

2.5K 319 18
                                    

Aku, Aileen, Safira, dan Nuraini mengunjungi toko buku yang terdapat di Botani Square

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Aku, Aileen, Safira, dan Nuraini mengunjungi toko buku yang terdapat di Botani Square. Mencari buku untuk UN yang direkomendasikan guru kami.

"Hm, Like a Beautiful Dream?" Aku menyentuh satu buku yang terpajang di rak bagian novel romansa. Sepertinya buku ini menarik.

"Na, ada komik baru nih." Aileen tiba-tiba saja menarik tanganku untuk melihat kumpulan komik. Aku mengambil buku berjudul Like a Beautiful Dream itu lalu mendekati Aileen.

Setelah membeli buku yang kami butuhkan, kami memutuskan pulang pada pukul delapan malam dan masih menggunakan seragam sekolah. Aku melambaikan tangan pada Aileen yang baru saja turun dari angkutan umum.

"Gue duluan ya, Lun."

"Yo, oke!" sahutku seraya mengangkat tangan.

Karena bosan tidak ada teman mengobrol di angkutan umum, aku mengambil buku yang kubeli tadi di toko buku. Bibirku bergerak membentuk senyuman begitu mencium harum buku baru yang khas.

Saking larutnya dalam cerita di buku itu, aku tidak menyadari kalau angkutan umum yang kunaiki tiba-tiba berhenti. Aku baru sadar ketika orang-orang di angkutan umum berseru kaget sambil melihat ke luar jendela.

"Ya Allah ada tawuran!"

"Duh urang sieun ih kumaha iyeu.(aduh aku takut, harus bagaimana ini)"

"Ini mah bakal susah lewat Teh, tawurannya beringas gitu, takutnya nanti kaca saya yang kena pukul," ujar pengemudi angkutan umum yang kesulitan melewati jalan raya karena sedang ada yang tawuran antar sekolah.

"Sekolah mana sih itu?" tanya ibu-ibu yang duduk di sebelahku.

"Sekolah Bina Sejahtera Bangsa, Bu, sama sekolah Kasgoro. Masih SMP juga laganya kayak udah preman aja," kata pengemudi angkutan umum lagi. Sontak jantungku terasa berhenti berdeta. Bina Sejahtera Bangsa? Itu nama sekolahku. Cepat-cepat aku melihat ke jendela depan angkutan umum, melihat banyaknya anak yang saling mengejar, dan memukul menggunakan benda di tangannya. Ada yang membawa celurit, sabuk gir, dan kayu pemukul.

Sekumpulan lelaki berpenampilan berantakan masih menggunakan seragam SMP-nya saling adu jontos yang membuat dahiku mengernyit ikut merasakan nyeri. Beberapa warga di sekitar itu berusaha menghentikan tawuran tersebut, tetapi karena senjata yang digunakan juga cukup berbahaya, alhasil para warga hanya berdiri di samping sambil menunggu polisi datang.

Sampai akhirnya mataku melihat sesosok yang begitu kukenal...

"Eh itu?" Aku menutup mulut melihat seorang lelak menggunakan kaus hitam beserta celana biru sedang meninju seseorang di hadapannya.

"Bang, saya berhenti di sini aja," seruku cepat-cepat sembari memberikan uang padanya.

"Neng, mau ke mana? Tungguin dulu aja Neng di sini, takut kena sasaran!" seru pengemudi angkutan umum itu yang aku abaikan.

One Last Chance (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang