AY ZAYA

76 36 16
                                    


Ay Zaya, namanya Ay Zaya wanita yang ku temukan tiga tahun lalu saat aku pertama kali menginjakan kaki digedung perkuliahan sebagai mahasiswa, Ay Zaya dia wanita mungil dengan tinggi sekitar 140cm-150cm, dengan berat sekitar 40kg-50kg, mukanya bulat kedua pipinya terlihat penuh, kedua matanya sipit seperti orang cina namun kulitnya tidak putih cenderung agak gelap, tatapannya sedikit tak bersahabat dan tak mudah ditebak, alisnya saling bertaut berpasangan dengan bulu mata yang terlihat panjang, bibir kecilnya tak banyak bicara, senyumnya manis dengan menunjukkan dua lesung pipi dibawah mata dan satu lesung pipi disamping bibirnya.

Ay Zaya wanita paling unik yang pernah ku temukan, dia tak seperti gadis lainnya yang terobsesi dengan make up, dia juga tak memiliki ciri khusus wanita yang bawel, dia tak banyak bertingkah, berbicara dan melakukan sesuatu sesuai yang dibutuhkan. Dia cenderung pendiam, tak peduli dengan sekitarnya, dia berdiri sendiri tak suka dibantu oleh orang lain.

Ay Zaya wanita gunung yang suka manjat, dia sedingin gunung dan sekuat tebing yang menjulang, sosoknya misterius memberi rasa penasaraan secantik apa puncaknya, seindah apa dibalik dirinya kuat itu.

Sebuah universitas negeri telah mempertemukan diriku dengan sosoknya, dari puluhan ribu mahasiswi kenapa harus dia yang menjadi sosok yang menghantui pikiranku, dari sekian banyak suara yang memanggilku kenapa harus sosoknya diamnya yang ku hampiri. Setengah tahun mengenalnya aku belum mengenal rasaku padanya, setahun dua tahun semakin jelas dan kini aku benar-benar sadar sosok yang membuatku penasaran itu telah meninggalkan rasa direlung hatiku, mungkin aku tak ingin mengakuinya namun hatiku tetap kekeh pada rasanya dan tak ingin berbohong, ku akui aku menyukainya entah ini cinta atau bukan itu urusan belakang yang jelas saat ini aku menyukainya dan selalu ingin tahu tentang dirinya.

Awal mengenalnya aku hanya penasaran dengan sosok pendiam diantara anggota regu saat ospek, hingga tiba saatnya kami menjalakan hari-hari sebagai mahasiswa satu nama membuatku penasaran karena ketidak hadirnya selama dua minggu pertama sebagai mahasiswa, nama yang membuatku bertanya-tanya sebagai ketua kelas, siapa sosok yang paling berani mengambil absen sebanyak itu.

Dua minggu akhirnya aku tahu sosok dibalik nama yang membuatku penasaran itu, dia adalah sosok pendiam yang membuatku penasaran saat ospek, ku coba dekati sosoknya mengenalnya secara langsung, ku kira akan menghapus rasa penasaranku, nyatanya aku malah makin terjebak dengan rasa penasaranku akan sosoknya yang masih sedingin saat pertama kali ku ajak bicara.

Sekali dua kali tiga kali, bahkan berkali-kali sudah ku coba berbicara dengan sosoknya ternyata masih sama saja rasa penasaranku tak menemukan jawaban, malah rasa ingin tahu yang makin besar, entah bagaimana rasanya padaku yang jelas aku merasakan dia juga sama denganku.

Kadang kala kulihat sorot matanya entah kenapa aku merasa kami punya sorot mata yang sama namun dia tetaplah dingin, berkali-kali ku urungkan rasaku melihat sosoknya yang berbeda jauh dengan diriku, dia mungkin adalah sosok yang bebas tak seperti aku yang terlalu kaku. Namun saat ku urungkan niatku entah dari mana rasa yakinku mendorongku untuk tak berhenti untuknya, aku hanya perlu tahu bagaimana rasanya padaku namun sebelum itu aku juga perlu memastikan dahulu rasaku padanya itu lah yang mengiringi ku hingga dipenghujung semester terus mengikuti sosoknya.

***

"Assalamualaikum"

"Waalaikumussalam"

"Kamu enggak ikutan foto-foto disana?"

"Enggak"

"Kenapa?"

"Enggak mau aja"

"Oh iya aku perhatiin dari awal ospek kamu enggak terlalu banyak ngomong dengan anggota grup ya"

"Iya emang"

"Kenapa?"

"Enggak mau aja"

"Oh gitu ya, kenali aku Al Hanafi"

"Aku .........."

Begitu lah kira-kira pertemuan pertama kami aku berusaha mendekatinya dengan basa basi yang dianggap basi olehnya, dia hanya menjawab seperlunya dan pandangannya hanya fokus kedepan tanpa menoleh padaku, sosoknya yang dingin dan nama yang disebut namun tak terdengar itu membuatku penasaran akan sosoknya.

Dua minggu setelahnya takdir mempertemukan kami, aku sebagai ketua kelas dan dia sebagai mahasiswa yang telah mengambil jatah cuti selama dua minggu diawal semester.

"Tunggu"

"Kalian berdua kan tadi telat nih absen dulu"

"Oh iya Han bentar ya"

"Iya santai Ra"

"Heera"

"Hmm, kenapa Ay?"

"Laki-laki tadi itu siapa?"

"Oh itu Hanafi ketua kelas kita, kamu emang enggak tau ya kan pas pemilihan kemarin kamu belum masuk"

"Oh gitu"

Pertemuan kedua kami berakhir begitu saja, dia tak berbicara padaku, malah mahasiswa lain yang menjawab tanyaku, bahkan saat ku dengan lirih sosoknya menanyakan tentangku dia hanya menajwab singkat tanpa ekspresi.

***

Setelah pertemuan kedua kami tentunya aku tak menyerah akan dirinya meski sifat hangatku hanya dibalas dingin olehnya, namun aku yakin akan sorot matanya yang berkata lain. Aku terus mengikuti sosoknya yang ternyata adalah ketua UKM MAPALA saat aku juga naik sebagai ketua UKM Rohis, kenaikan kami yang berbarengan membuatku peluangku bertemu dengannya semakin sedikit, mengurus organisasi yang sering mengambil dispensasi absen membuat kami sering mengambil waktu kehadiran yang berbeda, namun sepertinya langit tak selalu menentang rasaku, karena jabatan kami yang sama-sama sebagai ketua tentunya undangan UKM akan mempertemukan kami dibarisan kursi tamu yang sama bahkan disatu foto yang sama, sekitar satu tahun kita disibukan dengan posisi kita yang sama itu, hingga akhirnya kita kembali lagi sebagai mahasiswa biasa pada umumnya, aku yang ketua kelas mengurus absen dan dia mahasiswa terakhir yang selalu terlambat.

Waktu yang kami habisnya bersama ternyata membuahkan hasil dia yang sedingin gunung akhirnya mengizinkanku ikut melihat gunung yang dia sukai. Hari itu saat aku diajak berkenalan dengan gunung yang dia sukai, aku sadar akan kalimatnya.

"Datangi kalau ingin mengenal jangan hanya mendengar kata orang"

Benar saja gunung yang ku datangi menjawab tanyaku selama ini tentang apa yang dia sukai dari gunung yang dingin, hanya ada jalan terjal yang menyesakkan, dingin yang rasanya mengusir hadirku, namun puncaknya menjawab segalanya, puncak yang indah menjawab segala sesak disepanjang terjal yang ditempuh, bahkan dingin yang menolak kehadiran terasa hangat dipuncak yang menampakkan cantiknya.

Begitu lah juga sosok Ay Zaya sosoknya yang dingin menolak hadir setiap orang yang ingin mengenalnya, mendekatinya harus tertatih, terluka, dan merasa sesak terjal sosoknya, sifatnya yang sedingin gunung akan menghentikan langkah yang ingin melangkah menuju dirinya, sosoknya yang acuh tak acuh pun akan membuat orang tertatih-tatih untuk bertahan terus melangkah mendekatinya yang terasa kian melangkah kian jauh pula sosoknya, namun ku yakinkan satu hal dari sorot matanya dipuncak sifat dingin dan terjal sosoknya pasti ada keindahan dan kehangatan yang menanti, bisa kupastikan dia adalah sosok yang hangat, bukan sekali atau dua kali saja ku saksikan senyum hangatnya yang dia lemparkan untuk orang-orang tertentu dan aku ingin suatu saat kelak jika aku mencapai puncaknya aku akan mendapat lemparan senyum hangan itu juga darinya.

"Ay Zaya".

TEACHER, STUDENT AND LOVE (TAMAT)Where stories live. Discover now