36. Km 0,005

352 22 18
                                    

Vanya kembali memeriksa barang-barangnya di sepenjuru kamar, memastikan bila masih ada yang tercecer

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Vanya kembali memeriksa barang-barangnya di sepenjuru kamar, memastikan bila masih ada yang tercecer. Namun tampaknya semua sudah masuk dalam travel bag, kecuali dress semalam yang ia gantung di lemari.

Ia memang sengaja meninggalkannya di sana supaya tak perlu melihatnya lagi. Mungkin ia akan 'kehilangan' hampir setengah dari gaji sebulannya. Namun baginya, membeli dress itu saja sudah merupakan kerugian besar.

Ting tong.

Vanya bergegas membuka pintu dan mendapati Biyan berdiri di hadapan dengan barang-barangnya.

"Udah beres?" tanya pemuda itu.

"He eh." Vanya meraih travel bag-nya yang ia letakkan di lantai dekat kamar mandi lalu ke luar. Bersama Biyan, ia menuju front desk untuk check-out.

"Gak ada yang ketinggalan?" tanya Biyan lagi.

"Nope," sahut Vanya yakin.

"Kok kayaknya ...." Raut Biyan menunjukkan keraguan.

"Kenapa?"

"Gak. Kayak ada yang kurang aja."

Keduanya langsung berkendara menuju Pelabuhan Gilimanuk seusai check-out. Namun setelah mengemudi puluhan kilometer, raut Biyan masih saja menampakkan keraguan. Ia bahkan tak menikmati musik yang diputar pada dasbor. Sementara di sampingnya, Vanya terus menyanyi sambil sesekali mengangguk-anggukan kepala.

Gadis itu baru sadar sahabatnya tak menikmati perjalanan ketika laju mobil itu terhenti tiba-tiba. "Ada apa, sih?" tanyanya dengan tatapan bingung terarah pada Biyan.

Alih-alih menjawab, lelaki itu malah memutar tubuhnya ke belakang, memandangi barang-barang yang tersimpan di sana satu per satu. Lalu .... "Baju lo ketinggalan ya, Van?" cetusnya.

Vanya terkekeh. "Oh. Dari tadi lo mikirin itu? Astaga. Gak ketinggalan, Biyan, tapi sengaja gue tinggal," jawabnya santai.

Perlu waktu beberapa detik bagi Biyan hingga ia memahami maksud temannya. Gelaknya memecah lepas kemudian. Dan ketika perjalanan kembali dilanjutkan, ia sudah bisa ikut bernyanyi.

*

Mereka baru tiba di Surabaya saat waktunya makan malam. Sesuai rekomendasi Danang, mereka mampir di Jalan Embong Malang. Menu tahu telur yang dijual di situ sangat terkenal di seantero Surabaya. Dan meskipun tempatnya hanya berupa warung tenda di pinggir jalan, meja yang ada di sana tak pernah kosong lebih dari lima menit.

Begitu duduk, Biyan segera mengeluarkan ponsel untuk menghubungi kerabatnya di Tuban. Di depannya, Vanya menyapu pandangan ke sekeliling warung tenda yang sempit itu, memperhatikan para pengunjung yang makan dengan lahap dan juga pengunjung baru yang dengan cepat menggantikan pengunjung yang pergi.

"Halo, Paklik," sapa Biyan begitu panggilannya dijawab.

"Wis tekan ngendi¹, Mas?" sahut paklik.

✔The Road to MantanWhere stories live. Discover now