7. Km -0,015

141 28 25
                                    

Rasa gengsi Biyan terlalu tinggi untuk berterima kasih pada Vanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rasa gengsi Biyan terlalu tinggi untuk berterima kasih pada Vanya. Ia tak suka dikalahkan perempuan. Karenanya ia semakin menjaga jarak.

Namun semakin jauh jarak mereka, semakin sering pula Biyan memperhatikannya dan semakin ia kepo pada yang setiap gadis itu lakukan. Diam-diam Biyan peduli.

Kini mengintip Vanya dari jendela kamar atau dari balik pagar menjadi hal baru yang tak pernah absen ia lakukan. Menggantikan tugas si bibi menyiram tanaman pun sering ia jadikan alasan demi bisa melihat tetangganya.

Meong.

"Ayo, pus, habisin ayamnya."

Meong.

Biyan urung menyiapkan selang untuk menyiram halaman kala mendengar suara gadis itu di rumah sebelah. Buru-buru ia mengambil bangku dan meletakkannya di samping dinding pembatas rumah. Lalu dengan hati-hati ia memanjat bangku itu dan berdiri di atasnya dengan lutut menekuk supaya kepalanya tak terlihat dari balik dinding. Pelan-pelan Biyan meninggikan kepalanya hingga ia cukup punya penglihatan ke rumah sebelah.

Di sana, di depan garasinya, Vanya tengah berjongkok di samping seekor anak kucing kurus berbulu abu-abu dan putih. Dan kelihatannya ia meletakkan suwiran daging ayam di atas selembar kertas untuk disuguhkan pada anak kucing itu yang dilahap dengan rakus.

"Dihabisin ya, pus, biar cepet gede," ujar gadis itu seraya mengusap punggung si anak kucing.

Biyan tertawa kecil melihat interaksi menggemaskan itu. Namun sialnya, Vanya mendengar tawanya dan segera memalingkan kepala tepat ke arah Biyan.

Bocah lelaki itu buru-buru menurunkan kepalanya sambil menutup mulut. Untuk beberapa saat kemudian ia tetap berjongkok di atas bangku itu hingga dirasanya keadaan mulai aman untuk mengintip lagi.

Dengan perlahan, ia kembali menaikkan kepalanya. Namun baru saja penglihatannya melampaui puncak dinding pembatas itu, ia dikejutkan dengan wajah Vanya tepat di hadapannya.

Biyan tersentak. Pijakannya goyah. Ia pun kehilangan keseimbangan dan ....

Bruk!

Klotak!

Ia jatuh terjungkal di atas semen bersamaan dengan terbaliknya bangku yang ia pijak tadi.

Vanya tak tertawa. Tatapannya pada Biyan mengandung tanya. "Ngapain ngintip-ngintip?" selidiknya.

"Siapa yang ngintip? Orang tadi penasaran denger suara kucing," kilah Biyan sambil berusaha bangkit dengan mengusap-usap bokongnya yang berdenyut.

"Kucing yang ini?" Vanya mengangkat kucing kecil itu dengan dua tangan.

Senyum Biyan merekah melihat makhluk kecil nan menggemaskan itu. Tanpa memedulikan rasa sakitnya, ia mendirikan bangku dan memanjat lagi, lalu kembali berdiri di atasnya. Ia sangat suka kucing. Dulu, ia pernah mengutarakan keinginannya pada mama untuk memelihara kucing. Sayang, Randu alergi pada hewan-hewan berbulu hingga ia harus melupakan keinginannya.

✔The Road to MantanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang