13. Km 1,9

99 26 12
                                    

Biyan sialan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Biyan sialan.

Menjelang sore, Vanya belum juga mendapat kabar dari pemuda itu, dan itu membuatnya senewen. Sedangkan ia sendiri ragu untuk menghubunginya duluan. Berbagai dugaan begitu 'menakut-nakutinya'. Mungkin Biyan akan me-reject panggilannya, mungkin Biyan tak akan membalas chat-nya atau yang lebih menyebalkan, mungkin Biyan akan mentertawakannya karena ia sangat tidak sabaran. Dan Vanya benci dianggap lemah.

Namun Vanya memang tak setangguh itu. Setiap ponselnya berdenting, ia selalu tergoda untuk melirik notifikasinya. Ia pun selalu berdecak begitu mengetahui si pengirim pesan bukan orang yang ditunggunya.

"Kamu nungguin siapa, sih? Bolak-balik kok lihat HP?" tegur Nuri yang ternyata memperhatikannya sedari tadi. Pesanan hari itu memang tak semelimpah kemarin, hingga ia masih sempat mengawasi sekelilingnya.

"Oh .... Temen," sahut Vanya singkat. Ia belum ingin menjelaskan rencananya pada mama.

"Temennya istimewa, ya? Nungguinnya sampai gitu banget." Nuri terkekeh.

"Ya enggak lah, Ma."

"Eh, Van." Wanita itu mencondongkan tubuhnya ke arah putri semata wayangnya, pertanda ia ingin bicara serius.

"Kenapa, Ma?" Vanya meninggalkan aktivitasnya sejenak.

"Ini udah tiga tahun, lho," ujar Nuri dengan suara pelan.

Vanya pun tahu ke mana arah pembicaraan mama. "Jangan mulai lagi deh, Ma." Ia memohon.

"Kamu gak mau cari yang baru, gitu? Umur kamu udah 27, lho. Terus, nanti mau pacaran berapa lama? Mau punya bayi umur berapa?"

Sontak Vanya menutup kedua telinganya sambil memejamkan mata. "Ma, udah, Ma. Pleeeaaase."

Nuri tersenyum lembut. "Bukan gitu, Van. Kamu 'kan satu-satunya anak Mama. Mama mau berharap cucu dari siapa lagi kalau bukan dari kamu?"

"Ya dari sepupu-sepupu Vanya," jawab gadis tomboy itu asal.

"Kamu nih." Nuri menoyor pelipis putrinya gemas. "Beda rasanya, Van, punya cucu dari keponakan sama cucu dari anak sendiri."

"Ma, punya anak tuh gampang. Yang susah, mikirin rumah tangganya, pengeluaran sehari-hari, masa depan anak. Mama mau, anak Vanya nanti telantar?"

"Ya kamu cari suami yang mapan, dong."

Vanya mengembuskan napas pelan. "Ma, udah dulu, ya. Sebentar lagi closing. Orderan masih banyak yang masuk."

Sebenarnya Nuri masih ingin bicara banyak pada Vanya. Namun kehadiran Tita mencegah keinginannya.

"Ini daftar barang yang mesti di-restock, Bu." Gadis itu mengulurkan catatannya pada sang atasan.

"Makasih ya, Ta."

Ting.

Ponsel Vanya berdenting lagi dan lagi-lagi ia segera melirik. Kali ini keberuntungan berpihak padanya, karena pesan yang masuk memang dari orang yang dinantinya. Bibirnya pun terentang membentuk senyuman.

✔The Road to MantanWhere stories live. Discover now