24. Km -4,86

94 18 22
                                    

Vanya dan Karan tak saling menghubungi setelahnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Vanya dan Karan tak saling menghubungi setelahnya. Mereka baru dipertemukan lagi beberapa bulan kemudian, di belakang panggung beberapa saat sebelum pementasan. Gwen yang memintanya datang ke sana untuk membantu mengurus kostum.

Sesekali Vanya melirik diam-diam ke arah Karan yang sedang memberi instruksi pada tiga orang pemeran. Dan ia berharap, setiap kali melirik ia akan mendapatkan jawaban tentang keseriusan pernyataan pemuda itu dulu dan tentang perasaannya pada Vanya kini. Jujur, Vanya putus asa menunggu 'ditembak' lagi.

Atau justru ketika itu Karan memang sedang bersandiwara?

Lagi-lagi Vanya melirik. Hanya saja ia tak pernah menduga usahanya kali ini malah membuat tatapan mereka dipertemukan. Serta merta keduanya memalingkan wajah dengan rasa jengah. Dan dalam waktu sepersekian detik yang esensial itu, ia sempat menganalisis arti tatapan Karan--tatapan seseorang yang tak pernah mengenalnya. Vanya pun berdecak.

"Kenapa, Van?" kejut Gwen.

"Eh .... Gak apa-apa," sahut Vanya rikuh.

Gadis yang rambut panjangnya kini digelung itu--karena ia berperan sebagai lelaki¹--kembali menghadap cermin. "Make-up gue terlalu menor gak, sih?" tanyanya.

"Kalau gak menor gak kelihatan dari tribune lah." Vanya melipat pakaian Gwen yang mulanya menggantung di kursi lalu melesakkannya dalam tas sebelum menaruhnya di bawah meja rias. "Gue cabut ya, Gwen. Sampai ketemu di audi and break a leg²." Gadis itu mengangkat tangannya yang terkepal.

"See ya." Gwen membalas.

Vanya keluar dari belakang panggung menuju pintu masuk auditorium, mengantre di barisan para mahasiswa tahun pertama untuk mengisi daftar hadir. Sementara penonton umum membuat antrean yang lebih pendek di baris sebelah.

Di dalam, beberapa dosen Jurusan Sastra Inggris tampak sudah mengisi satu deret kursi bagian depan di kolom tengah. Vanya pun mengambil tempat duduk di kolom yang sama, tempat yang paling nyaman untuk menonton, tidak perlu miring ke sana kemari.

Dan baru saja bokongnya menyentuh kursi empuk itu, ponsel dalam saku celananya bergetar singkat. Dugaannya segera mengarah pada mama yang ditinggal sang putri semata wayang hingga malam untuk pertama kalinya.

Namun kali ini dugaannya salah. Bukan pesan dari mama, tapi dari Gwen yang muncul pada notifikasinya.

Gwen:
Gawat, Van.
Karan maksa
antar kita
pulang.

Bilang sama
dia, gue gak
sudi.

Gwen:
Katanya, kalau
lo nolak, peran
gue bakal
diganti.

Sialan. Vanya berdecak. Pemuda itu tahu bagaimana cara memaksa tanpa bisa ia tolak. Melarikan diri pun tampaknya tak mungkin karena nilai mata kuliah Dramanya tergantung pada pementasan ini. Dan satu-satunya pilihan yang Vanya miliki hanyalah menuruti kemauan Karan.

✔The Road to MantanWhere stories live. Discover now