17'

3.8K 248 2
                                    

Max lelah, memang dia akan selalu merasa kelelahan ini dalam perjalanannya menemukan Miky. Memang sangat tak mudah, namun Max sangat berambisi jika dia dan Miky dapat bertemu kembali.

Max meminta bantuan dari beberapa orang elit di Norwegia dan juga beberapa agen Intel untuk menyelidiki keberadaan Miky di negara itu. Karena Miky hilang saat usianya lima tahu, sedangkan tiga belas tahun itu adalah waktu yang sangat lama, da bisa saja fisiknya sudah banyak berubah.

"Tapi tanda kepemilikanku padamu tak bisa berubah kak, tanda itu permanen, dan yang pasti abadi." gumam Max dengan senyuman iblisnya. Terkadang Max merasa bersyukur, dia meninggalkan tanda kepemilikannya di tubuh Miky, maka tak akan terlaku sulit untuk mengenali Miky miliknya.

.
.

Saat ini Max sedang menenangkan pikirannya yang selalu kacau, dia duduk termenung di sebuah kafe besar dengan interior mewah sembari menikmati secangkir kopi hitam tanpa gula yang masih mengepulkan asap.

Max mengamati jalanan kota yang cukup ramai, namun tak seramai di New York ataupun Korea. Max sudah berkeliling negara, jadi jangan heran jika dia tahu banyak tentang negara-negara lain.

Mata Max menajam, dan dadanya seolah berdetak ingin keluar dari tempatnya.

Di depan sana Max mengamati seorang pemuda dengan rambut coklat dan kulit putih, putih pucat dengan rona warna hue yang kontras.

"Kulit putih itu..." gumam Max.

"Warna yang sama dengan hue seperti milikmu, Kak." batin Max.

Max tak bisa diam saja, Max beranjak dari bangkunya, dia mendekati seorang pemuda berkulit putih yang menarik atensinya sangat jauh.

"Apa mungkin dia kau kak? Kak Miky?" tanya Max yang masih berjalan dengan langkah kaku mendekati pemuda yang sedang memandangi anak kucing di pinggir toko kue.

Namun sayang sekali belum sempat Max sampai di tempat si pemuda berkulit putih itu, seorang pemuda lain datang dan langsung menggendong si pemuda kulit putih dan membawanya pergi.

"Kiky! Apa yang kukatakan tadi? Tunggu aku di sana. Kau sangat bandel ya?!" Max dapat mendengar pemuda berkulit Tan itu memarahi si pemuda kulit putih.

"Namanya Kiky?" batin Max.

"Kiky?" beo Miky.

Gidion memberi kode kepada Miky agar diam saja, atau mereka akan ketahuan oleh Max.

"Bagaimana Max ada di sini?!" batin Gidion yang merasa terancam.

"Sudahlah, ayo kita ke tempat selanjutnya, tidak, kita kembali saja ke desa." pemuda berkulit Tan yang ternyata adalah Gidion itu segera berlalu dari sana.

Dalam hati Gidion bersyukur karena ia telah mewarnai rambut Miky dan memakainya kontak lensa. Dan ia juga sangat bersyukur karena Max, sama sekali tak mengenali mereka.

Max?

Iya, Gidion tahu rupa Max, dia tahu seperti apa Max saat ini, dan beruntungnya Max sama sekali tak mengenali mereka.

Max yang terdiam di tempatnya merasakan sebuah perasaan baru, "siapa dia?" tanya Max yang masih melihat pemuda berkulit putih itu yang sudah menjauh dan tak terlihat lagi.

"Kiky, aku akan mengingat nama itu." ucap Max dan kemudian dia berlalu dari sana.

.
.

Pikiran Max menjadi semakin tak tenang saat ini, pemuda tadi mengapa Max begitu yakin jika dia adalah Miky?!

"Ash!" Max memukul tembok keras di dalam kamar hotelnya.

Max tak mungkin salah mengenali kan? Max tahu, perasaan saat dia melihat pemuda tadi, perasaan yang sama ketika dia melihat kakaknya Miky.

Max yakin, tapi dia belum bisa meyakini ini seratus persen. Dia harus menyelidiki ini semua. Segera!

"kakak memiliki rambut silver yang indah, dan mata heterochromia. Apa mungkin?" Max tak terlaku yakin, tapi sosok pemuda berkulit putih tadi sangat menarik perhatiannya.

"Tapi bisa saja dia menyamarkan semuanya? Apa mungkin kakak bersembunyi dariku?" tanya Max yang masih memikirkan banyak kemungkinan yang bisa terjadi.

"Aku akan mendapatkan kau segera kak, aku tahu kau berada di Negara ini, dan aku rasa aku sudah menemukanmu." ucap Max yang kini tersenyum sangat licik.

.
.

Di lain tempat, saat ini Gidion dan Miky tengah duduk bersama menikmati satu ember besar ice cream rasa coklat dan vanila.

Gidion yang memperhatikan bagaimana Miky memakan makanan manis dan dingin itu dengan begitu senang di buat lega, jujur saja Gidion sangat takut tadi. Dia takut Max akan membawa paksa Miky yang sudah ia klaim menjadi miliknya.

Memangnya kenapa? Jika Max bisa mengklaim Miky menjadi miliknya tiga belas tahun yang lalu, maka Gidion juga harus bisa.

Katakanlah Gidion sudah memiliki obsesi baru untuk Miky, dia mulai tertarik dan bahkan sangat menginginkan Miky hanya untuknya seorang. Obsesi yang tak beda jauh dari obsesi Max. Ah! Bukankah menarik saat Miky diperebutkan antara kedua orang otoriter yang memiliki sifat obsesif parah?

"Miky, kau sangat membuatku cemas dan khawatir, bagaimana jika ada orang jahat yang menculikmu?!" Miky sedikit merasa terkejut saat mendengar Gidion yang biasanya selalu ramah kepadanya, kini menjadi berbicara dengan nada tinggi dan raut wajah yang dipenuhi oleh kemarahan. Bahkan Miky sampai berhenti memakan ice cream miliknya dan menundukkan.

"Ma-af Ion, tadi Miky liat kucing kecil ini, dia sendirian, jadi Miky mengambilnya dan Miky ingin menemani dia, Ion tahu? Sendirian itu tidak akan menyenangkan." ucapan Miky sungguh terlampau polos untuk seorang pemuda remaja yang akan memasuki usia dewasa dalam waktu dekat.

"Huft," Gidion memejamkan matanya, lalu kemudian dia memeluk tubuh Miky yang lebih pendek darinya, pelukan erat yang sangat nyaman bagi Miky.

Pelukan yang selaku mengingatkan Miky kepada adik kembarnya, Max.

"Max, Miky rindu Max." batin Miky, dia memejamkan matanya dan membayangkan jika orang yang memeluknya saat itu adalah Max.

Miky bukan orang licik ataupun munafik yang memanfaatkan Gidion sebagai pelampiasan rindunya kepada Max, Miky hanya melakukan itu semua dengan spontan. Miky rindu Max, dan kini hanya ada Gidion yang menemani dirinya. Sekuat dan sebesar apapun Miky mencoba untuk melupakan Max, maka semuanya akan sia-sia, karena bahkan setiap malam di saat semua orang jatuh tertidur dalam mimpinya, Miky akan menangis sambil menggigit selimutnya, dia menangis untuk rasa rindunya yang teramat dalam bagi Max, dan juga kedua orangtuanya.

"Apa pelukan Max masih senyaman dulu? Apa Max akan memeluk Miky suatu saat nanti?" batin Miky sendu yang malah memikirkan tentang Max.

"Baiklah, sebaiknya sekarang kita kembali ke desa, kau sudah mendapatkan ice cream itu kan? Jadi lebih baik kita pulang sekarang. Kau tahu aku sedikit takut membawamu kemari, kota ramai ini tak terlalu aman untukmu Miky, syukurlah aku sangat ahli dalam menyamarkan penampilanmu yang mencolok," ucap Gidion, dia memasukan tangan Miky uuntuk ia genggam di kantong mantelnya, lalu mereka berdua pelang kembali ke desanya dengan Miky yang membawa kucing putih kecil itu di sebelah tangannya.

"Aku akan menjadi orang jahat kali ini, Miky." batin Gidion masih mengamati Miky di hadapannya.

"Jika suatu saat Max kembali dan dia merebut dirimu dariku, maka aku tak akan menyerah untuk mendapatkan dirimu kembali. " batin Gidion yang mulai menunjukan sifat obsesif dan otoriternya.

.
.

Vote
Comment
Follow

Tbc.

My White Fragile Twin  Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang