KEMATIAN ADALAH PERISTIWA YANG HAKIKI

42 2 0
                                    

Selepas kembalinya Jefri di rumah, dia menuju lantai dua kamar Aurel dan Radit. Hiruk pikuk terdengar memasuki lubang telinga ditimpali seperti ada seorang wanita yang berbicara pada kedua buah hatinya itu.

Lamat-lamat, Jefri meletakkan daun telinganya tepat di pintu kamar sembari menangkap sebuah suara yang terdengar sedikit mendayu.

"Tante, kenapa, sih, kalau Ayah dan nenek masuk ke kamar ini Tante malah pergi?" Dari nada suaranya, Aurel seperti bertanya pada seseorang.

"Iya. Tante kenapa enggak mau kenalan sama Ayah kami, sih, barangkali bisa lebih dekat," timpal Radit.

Secara saksama, Jefri pun mendengarkan lagi pembicaraan mereka. Namun, seketika suara itu menghilang karena seseorang tengah menyentuh pundak Jefri dari belakang. Dalam sekelebat penglihatan, dia memalingkan netra. Mirna—ibunya telah tertegun seraya celingukan, tampak dari ekspresi wanita tua itu sedang kebingungan.

"Jef, kamu ngapain di sini?" tanyanya.

Kemudian, Jefri menutup mulut sang ibu dengan kedua tangannya. Lalu, dia menjawab, "jangan keras-keras, Bu. Soalnya ... di dalam kamar anak-anak ada yang lagi ngomong sama mereka."

Deg—

Mendengar ucapan itu, Mirna pun mengernyit heran, bahkan dia menyentuh kening putranya yang sedari tadi memekik dan gelisah. Wanita tua itu memboyong Jefri untuk menjauh dari pintu kamar, mereka pun sejurus ke arah gudang penyimpanan barang-barang tak terpakai.

Setibanya mereka di sana, Mirna pun menarik napas berat seraya membuang tatapan heran. Dari ekor netranya, bahwa dia seakan ingin mengatakan sesuatu.

"Jef, kamu ngomong apa barusan?" tanyanya.

"Tadi Jefri mendengar kalau anak-anak lagi ngobrol dengan seorang wanita. Aurel menyebutnya 'Tante' emang di rumah ini ada siapa saja selain Ibu, Bi Darmi, dan mereka?" Ekspresi Jefri semakin bingung memandang sang ibu.

"Kamu baik-baik aja, 'kan, Jef?" Mirna kembali menyentuh kening putranya.

"I-iya, Jefri baik-baik aja. Emang yang salah apa, Bu?" Jefri malah balik nanya.

Tanpa menjawab pertanyaan yang datang, Mirna memboyong tangan Jefri untuk menuruni anak tangga lantai dua. Mereka beringsut dan menuju kamar paling bawah, kamar itu adalah tempat peristirahatan Mirna—ibunya. Sementara di pojok kanan, terdapat pintu yang menghubungkan ke ruang garasi mobil.

Dengan gerak lambat, Mirna membuka pintu kamarnya. Tepat di atas dipan, Aurel dan Radit sedang tertidur dengan wajah yang kian berubah pucat. Kala itu, Jefri terbelalak mendapati kedua buah hatinya di sana. Namun, dia masih berpikir keras siapa gerangan yang tengah bercokol dalam kamar bertuliskan 303.

"Loh, mereka ada di sini? Bukannya, tadi ada di dalam kamar, Bu?" tanya Jefri lagi.

"Mereka sejak magrib tidur di sini, emang kamu yakin dengan yang kamu dengar tadi?" Mirna beringsut dari ambang pintu dan mendudukkan badan di atas dipan, tepat sejurus menuju pojok kamar.

Diikuti oleh Jefri, mereka pun duduk berhadap-hadapan dan saling melempar ekspresi bingung. Udara dingin pun mulai terasa, arloji sakana klasik berdecak seirama mengikuti degup jantung. Dalam posisi meringkuk, kedua anak-anak seperti tengah demam tinggi. Namun, suhu badan mereka netral-netral saja.

Tak berapa lama, listrik pun padam. Dari luar kamar, terdengar riuh suara-suara seperti orang yang sedang memasak di dapur. Namun, Bi Darmi sudah berpamitan pulang kampung sejak pagi tadi. Dalam posisi bergeming, keduanya hanya sekadar mendengar dari dalam kamar. Untuk menemui perihal siapa gerangan yang sedang memasak itu, mereka ketakutan.

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now