TUSUK KONDE DAN KAIN KAFAN HITAM

52 5 0
                                    

Detik berganti dengan detik, menit juga beringsut memboyong semburat arunika sembari mengajak gerimis kecil menerpa seisi kota. Tepat di bandara, Jefri mendudukkan badan di atas kursi. Dia kembali merogoh benda yang kerap mendatangi hari-harinya belakangan ini. Tak lain adalah tusuk konde berwarna kuning sedikit keemasan.

Pemikiran masih berkutat dan merumuskan berbagai pertanyaan itu dalam benak, jiwa gelenyar seakan menciptakan sebuah peristiwa yang harus dia singkap. Mungkin di balik benda itu terdapat sebuah petunjuk ataupun informasi, karena benda tajam yang biasa diletakkan di atas sanggul seorang wanita itu tidak mungkin berceceran.

Perihal kebetulan, mungkin bisa saja kalau tempat-tempat yang Jefri datangi pernah dihuni oleh seorang wanita. Namun, tusuk konde sudah jarang dipakai wanita suku Jawa di era serba modern saat ini. Apalagi Kota Medan, penduduk dengan mayoritas suku Batak dan Melayu itu tidaklah mengenakan tusuk konde.

Benda yang berada dalam genggaman sedikit demi sedikit bergerak dan menusuk kulit telapak tangan, darah segar bergerak sejurus menuju lantai bandara internasional.

"Ach ... ini benda apa, sih!" ucap Jefri sendiri, kemudian dia membuang tusuk konde itu secara spontan.

Tak berapa lama, seorang wanita pun datang dari arah depan, dia membawa tas ransel berwarna abu-abu dengan wajah yang ditutup cadar hitam. Tampak sesekali wanita itu menoleh ke arah kanan, akan tetapi tangannya masih memainkan ponsel.

Karena Jefri merasakan keanehan dengan gelagat wanita itu, dia pun membalas kerlingan netra orang di samping kirinya. Dalam sekelebat penglihatan, wanita bercadar itu kembali membuang tatapan.

"Maaf, Mbak. Anda kenapa melihat ke arah saya, ya?" tanya Jefri mengawali pembicaraan.

"Eng-enggak, Mas," titahnya terbata-bata.

"Oh, oke." Jefri pun mengambil baju kaos dari dalam koper dan membalut luka di telapak tangannya sebelah kiri.

Wanita yang tadinya memainkan ponsel, kembali menatap mantap ke arah posisi duduk Jefri. Namun, netranya lebih sejurus ke samping kanan. Entah siapa yang dia lihat di sana, padahal dalam ruang lingkup saat ini hanya ada tersisa dua orang saja.

Perasasan yang kian gelenyar, membuat Jefri menoleh ke posisi tatapan wanita itu. Akan tetapi, di sana tak ada siapa pun, sekadar pohon-pohon nan rimbun dan tumbuh semampai berbaris rapi.

"Maaf, Mbak. Kamu lagi memperhatikan saya?" tanya Jefri penuh selidik.

"Bukan, saya hanya lihat orang tua yang ada di samping kamu, Mas." Selesai memungkas ucapan, wanita bercadar itu membuang tatapan menuju layar ponselnya.

'Orang tua? Perasaan aku enggak bawa ibu di sini, cantik-cantik siwer matanya!' gerutu Jefri dalam hati.

Lamat-lamat, sebuah bisikan maut datang dari indra pendengaran, ucapan lirih perihal kata-kata samar mendadak pasih ketika ditangkap daun telinga.

'Jefri ... bunuh wanita itu!'

'Apa! Bunuh? Mana mungkin aku melakukannya hal kejam seperti itu.'

'Jefri ... bunuh wanita itu sekarang.'

"Astaghfirullah!" pekik Jefri sembari membangkitkan posisi badannya, sementara netra sejurus pada kursi yang menghadirkan bisikan maut lewat percakapan batin itu.

"Mas, kamu kenapa?" tanya wanita bercadar hitam itu, dia pun membangkitkan posisi duduknya karena terkejut.

"Ya, Allah ... apa yang terjadi pada hamba!"

"Makanya, Mas, kalau ke mana-mana jangan bawa kain kafan. Arwahnya ngikut, 'kan ...." Wanita itu kembali menatap depan.

'Kain kafan? Perasaan aku enggak bawa benda-benda seperti itu.' Jefri bersenandika.

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now