KAMAR BEKAS MUTILASI

63 6 1
                                    

Malam itu, tepat arloji sakana klasik berdecak seirama. Ruang yang sedikit temaram, ditimpali udara kian mencakam. Dingin menyergap tubuh, sejurus memasuki lubang pori-pori dan akhirnya membuat badan sedikit demam. Dalam suasana yang sepi, Jefri memasuki kamar berukuran minimalis sembari meletakkan handuknya di samping lemari.

Tiba-tiba, benda tajam berwarna kekuningan hadir di atas nakasnya. Sebelum menatap cermin, dia sempatkan untuk mengambil tusuk konde itu dan membuangnya dengan cepat. Dari pantulan sosok diri, terlihat wajah lusuh seperti kain yang belum disetrika. Netra pun dikelilingi lingkaran hitam akibat tak bisa tidur dengan nyenyak.

Desas-desus berdesik terdengar dari ambang pintu, rintik hujan ditimpali petir ringan pun menyambar area tempat kos. Ketukan tiga kali pun menggema seisi ruangan, kemudian Jefri mencoba menatap lagi sejurus ke ambang pintu.

'Siapa, sih, malam-malam gini yang bertamu. Padahal lagi hujan deras,' gerutunya dalam hati.

Lamat-lamat, lelaki yang masih membawa sisir berwarna hitam itu membuka pintu kamar kosnya, dia pun celingukan seraya memastikan tamu tersebut. Namun, di sana tidak ada siapa pun selain telapak kaki berlumpur menuju kamar paling ujung.

'Pasti orang iseng. Sudahlah, enggak penting juga.'

Selesai bersenandika, Jefri memutar badan selepas menutup pintu. Tengkuknya pun terasa sangat berat ditambah dengan hiruk pikuk kembali hadir. Pasalnya, batin dapat berkata bahwa di posisi belakang ada sosok yang sedang memperhatikannya.

Karena sedari tadi dia telah mendapati keanehan yang datang bertubi-tubi, pikiran pun tak mampu untuk berkutat pada perasaannya sekarang. Langkah yang kian gontai, membawanya yang sempat bergeming beberapa saat.

Untuk menetralisir keadaan, lelaki beranak dua itu mencoba untuk bersenandung sambil bercermin. Belum lama dia menyanyikan bait-bait lagu nostalgia, pintu kamar terbuka dengan sendirinya. Semilir angin memasuki ruangan minimalis itu dan seakan mengajak untuk berdamai. Secara saksama, Jefri memandang menuju luar kembali.

'Siapa, sih, yang iseng banget. Enggak tau kalau kembaran vocalis Snow Patrol lagi sisiran,' cibirnya dalam hati.

Beberapa detik setelahnya, seseorang pun tampak melintas sangat kencang seperti embusan angin. Kemudian, Jefri kembali memekik dan melotot serius.

"Siapa?!" Dalam posisi bergeming, dia memutuskan untuk beringsut menuju ambang panglihatan.

Kabut putih pun hadir bergerak anggun ke sana dan ke mari. Aroma bunga kantil memasuki indra penciuman lelaki berusia 29 tahun itu, ditambah dengan hiruk pikuk dari kamar paling ujung ruang kos.

Karena rasa penasaran kian gelenyar, Jefri beringsut dan mengikuti telapak kaki di atas lantai itu. Setelah beberapa meter meninggalkan ruang kamar, batin seolah berkata bahwa ada yang tengah tertegun tepat di belakangnya.

Kendatipun adalah manusia, mengapa tidak mengatakan sesuatu. Tanpa memedulikan perasaan aneh itu, Jefri tetap berjalan menuju telapak kaki yang hanya memiliki empat jemari saja. Dalam posisi tertegun, dia menatap mantap nomor kamar dengan tulisan 333.

Hiruk pikuk seperti orang tengah gaduh terdengar dari dalam. Lamat-lamat, Jefri meletakkan daun telinganya di permukaan pintu berwarna cokelat itu.

"Jangan lakukan itu padaku! Apa sebenarnya salahku pada kalian?!"

"Salahmu sangat banyak, salah satunya adalah mencampuri urusan yang tidak seharusnya kau ikuti."

"Jangan bunuh aku ...!"

"Ha-ha-ha ... kau harus mati sekarang!"

"Tidak ...!"

Mendengar teriakan itu, Jefri pun mendobrak pintu kamar kos dengan nomor 333. Setelah pintu terbuka, suasana ruangan sangatlah sunyi, tidak seperti yang dia dengar sebelumnya.

Pengantin KutukanWhere stories live. Discover now