Emma mengangkat cangkir teh, menghirup aroma melati yang selalu berhasil menenteramkan hatinya. Di dalam ruangan berjendela kaca, ia menatap lembayung jingga yang tingginya baru sekitar satu meter. "Senja memiliki makna mendalam." Mata memabukkannya menatap sedih ke kejauhan sana. "Bagi saya ... senja adalah akhir...." Lalu riak wajahnya mendadak berubah. Wanita berusia matang itu menyungging senyum misterius yang sangat samar. "Sekaligus permulaan...." "Permulaan?" Lelaki berkumis tipis menarik napas. Berusaha meredam warna kemarahan di wajahnya. Kepalan tangan yang mengerat sejak tadi, perlahan terbuka. "Apa maksudnya?" Emma mengangkat cangkir tehnya dengan anggun. "Anda tahu betul apa yang saya maksud. Bukan begitu?" tatapnya lembut, namun dalam. Wanita itu meneguk tehnya dengan sudut bibir yang sedikit terangkat. "Aku...." Lelaki di hadapannya menunduk gamang. Kulit putih susunya kembali merah. Namun kali ini bukan marah. "Maafkan aku...." Emma menyimpul senyum. Ia bisa melihat kemenangan yang menggantung sempurna di hadapannya. Lelaki berkulit susu menatap lantai keramik di bawahnya. Merasa bersalah atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. "Sore itu ... aku dapat telepon dari Giyatza, dia bilang kalau kamu marah dan memilih pulang sendiri. Makanya aku datang dari arah berlawanan dan menawarkan tumpangan." "Anda tau apa alasannya?" "Iya...." Emma mendecih pelan. Benar-benar bajingan, pikirnya. "Jadi ... bagaimana reaksi anda saat itu?"