[I Shall Embrace You]
-
-
Hai balik lagi
Happy reading~
-
-
-
"Jadi gimana?" tanya Ranti saat mereka sudah duduk di kantin fakultas.
"Gimana apanya?" tanya Cia jengkel.
"Hadiah yang aku kasih. Udah dipakai belum?" tanya Ranti.
Uhukk ... uhukk ... uhuk.
Cia tersedak makananya. Ia menatap Ranti tajam. "Aku malu banget tahu."
"Kenapa?" tanya Ranti yang masih terkekeh.
"Ya iyalah, orang yang buka paper bag-nya si Vian, bukan aku." Cia menatap Ranti kesal.
"Serius? Trus reaksi Vian gimana?" tanya Ranti penasaran.
Cia meminum minuman yang tadi ia pesan lalu kembali manatap Ranti. "Reaksinya biasa aja. Untung otak Vian nggak jorok kayak kamu."
"Aku nggak percaya reaksi Vian biasa aja," ujar Ranti.
Cia mengerinyit heran. "Tahu dari mana?" tanya Cia sewot.
Ranti tersenyum jahil. "Aku udah riset kok. Laki-laki kalau lihat pakaian yang begituan pasti otaknya udah menghayal liar." Ranti nampak percaya diri dengan ucapannya.
"Vian pengecualiannya. Udah ah, aku nggak mau omongin itu lagi. Bikin nggak nafsu makan tahu nggak." Cia memutar bola matanya jengah.
"Alvin tuh," ujar Ranti sambil menunjuk Alvin dengan dagunya. Cia menoleh menatap Alvin. Ia tersenyum ke arah Alvin lalu melambaikan tangannya.
Alvin berjalan ke arahnya. Lalu duduk tepat di sebelah Cia. "Makan apa?" tanya Alvin lembut.
"Mie ayam," jawab Cia.
Alvin mengangguk. Lalu mengedarkan pandangannya ke segala arah.
"Kamu nyariin siapa?" tanya Cia heran. Alvin menoleh menatap Cia lagi. Ia tersenyum lalu menggeleng.
"Nanti pulang bareng aku, ya?" tanya Alvin.
"Boleh," jawab Cia.
"Yaudah aku ke jurusan dulu," pamit Alvin.
"Nggak makan?" tanya Cia heran.
"Udah kenyang," ucap Alvin sembari mengelus puncak kepala Cia penuh afeksi.
Cia menghela nafas. Ia kembali menatap Ranti.
"Kok aku ngerasa Alvin berubah, ya?" tanya Cia.
Ranti mengerutkan dahinya. "Berubah gimana?" tanya Ranti penasaran. Cia menggaruk tengguknya.
"Ya, aneh aja. Aku juga bingung mau ngejelasinnya kayak gimana."
"Perasaan kamu aja kali."
"Mungkin."
"Vian mana?" tanya Ranti mengedarkan pandangannya.
"Nggak masuk," jawab Cia.
"Oh...masih sakit?" tanya Ranti lagi. Cia memandangi wajah Ranti yang penasaran lalu menggeleng pelan. Kening Ranti berkerut.
"Trus?" desak Ranti.
"Ke Madiun."
"What?! Ngapain?" tanya Ranti sedikit memekik kaget.
Cia memelototkan matanya, mengangkat jari telunjuk lalu menempelkannya di depan bibir. Menyuruh Ranti supaya tidak berisik.
"Nggak tahu. Katanya ada urusan. Kenapa? Kangen?" tanya Cia sarkas.
"Yee...sensi benget sih. Bukannya kemarin dia masih sakit? Trus dia bawa mobil sendiri?"
Cia lagi-lagi mengangguk malas.
"Kalau ada apa-apa sama Vian di jalan gimana?" tanya Ranti. Nampak jelas raut khawatir di wajahnya.
"Ya gampang, tinggal masuk rumah sakit. Kalau pun hilang bakal dicariin polisi."
"Husshh...kuwalat baru tahu. Vian suami kamu kalau kamu lupa."
Cia menghela nafas lalu memutar bola matanya jengah.
-
-
-
"Kita mau kemana, Al?" tanya Cia ketika mobil yang Alvin kendarai semakin menjauh meninggalkan area kampus.
Alvin melirik Cia sekilas lalu tersenyum. Ia tidak menjawab, hanya tersenyum lalu memilih fokus pada jalanan di hadapannya. Tentu saja hal itu membuat Cia menatap heran.
"Al?" tanya Cia menatap Alvin, menuntut jawaban dari laki-laki di sebelahnya.
"Pergi makan," jawab Alvin akhirnya. Cia bernafas lega lalu mengangguk pelan. Ia memperhatikan raut wajah Alvin yang tidak pernah luntur dengan senyuman sejak mereka meninggalkan kampus.
"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Cia penasaran.
Alvin menoleh dengan kerutan di keningnya. "Kenapa? Nggak boleh, ya?" tanya Alvin.
"Bukannya nggak boleh, cuma aneh aja liat kamu senyum-senyum nggak jelas kayak gitu."
Senyum Alvin semakin melebar. Ia melirik sekilas pada Cia, melihat bagaimana ekspresi wajah Cia saat ini.
"Yaudah, kalau menurut kamu aneh aku nggak bakalan senyum-senyum lagi," ujar Alvin sembari mengelus puncak kepala Cia lembut lalu disusul oleh kekehan pelan dari keduanya.
"Cia kamu inget besok hari apa?" tanya Alvin.
Dahi Cia mengerut tidak paham. Ia menatap wajah Alvin yang terlihat tegas dari samping. Laki-laki itu tidak menoleh, pandangannya lurus ke depan.
"Besok hari selasa," jawab Cia polos.
Lagi-lagi Alvin menyunggingkan senyumnya. Cia menatap heran ke arah Alvin. Gadis itu mencoba berpikir. Lalu setelah mengingat, ia menepuk dahinya pelan.
"Oh iya ... besok anniversary kita kan, ya?" tanya Cia kegirangan lalu menatap Alvin dengan senyuman semringah.
Alvin tertawa lalu mengangguk pelan, mengelus puncak kepala Cia penuh sayang.
"Cia," panggil Alvin lembut.
"Ya?" tanya Cia menatap Alvin dengan mata berbinar.
"Besok hari spesial kita. Aku mau jelasin sesuatu ke kamu besok."
"Apa? Kenapa nggak sekarang aja?" tanya Cia penasaran.
"Aku maunya besok," ujar Alvin sembari mencubit pipi sebelah kanan Cia gemas. Cia tersenyum lalu kembali menatap Alvin.
"Aku mau besok kita makan malam di tempat biasa."
"Hah?" Cia tidak sepenuhnya mendengar ucapan Alvin.
"Besok jam tujuh malam di tempat biasa. Aku tunggu kamu di sana," ucap Alvin mengulangi. Cia mengangguk setuju.
Setelah selesai makan, Alvin kembali mengantar Cia pulang. Tentu saja ke rumah orang tua Cia. Bisa mampus kalau Alvin tahu jika Cia tinggal di rumah Vian.
"Makasih," ujar Cia saat mereka sudah berada di depan rumah orang tua Cia.
Alvin tersenyum. Lalu ia membuka bagasi mobilnya. Cia mengerutkan keningnya, penasaran apa yang diambil Alvin dari bagasi mobilnya.
Cia menatap kaget saat melihat benda yang ada dalam pangkuan Alvin. Sebuah boneka berukuran sedang dengan bulu berwarna cokelat lengkap dengan lingkaran putih di bagian perutnya.
Alvin memberikan boneka dalam pangkuannya itu pada Cia. Cia tersenyum malu lalu bertanya, "Buat aku?"
"Bukan. Buat Dinda," jawab Alvin sembari memutar bola matanya lantas tersenyum.
"Makasih," ujar Cia girang lalu mengambil boneka itu dan membawanya ke pangkuan.
"Suka?" tanya Alvin.
"Banget. Makasih ya, Al." Cia tidak percaya dengan apa yang ia rasakan hari ini.
Alvin. Laki-laki itu selalu bisa membuat Cia jatuh, terjebak dalam pesona laki-laki itu.
-
-
-
Cia memasuki kamarnya. Bukan, kamar Vian. Setelah diantar oleh taksi yang dipesan oleh bundanya. Gadis itu kembali berakhir di kamar ini. Cia meletakkan boneka yang diberi oleh Alvin di dekat meja belajar. Ia memandangi boneka itu dengan kerlip kagum di matanya. Seolah boneka itu adalah wajah Alvin yang selalu membuat debaran pada jantungnya.
Hingga dering ponsel mengganggu aktivitasnya. Dengan malas Cia beranjak, mengambil tas yang teronggok di atas tempat tidur. Ia merogoh tas putih miliknya lalu mengeluarkan benda persegi yang masih berdering.
Mood Cia seketika hancur saat melihat nama 'Jangan dijawab' tertera di layar ponsel. Gadis itu malas-malasan menggeser tombol hijau lalu mendekatkan benda persegi itu ke salah satu telinganya.
"Halo--"
"Kenapa lama banget sih angkat telfonnya!"
Cia menggerutu sebal sembari menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Ia menghela nafas lalu kembali mendekatkan ponselnya ke salah satu telinga.
"Ponsel aku di dalam tas," jawab Cia. Gadis itu tidak berbohong, hanya saja ia tidak mengatakan jika ia sengaja mengulur waktu untuk menjawab panggilan dari Vian.
Cia mendengar helaan nafas dari seberang sana.
"Kenapa?" tanya Cia memecah keheningan.
"Aku bakalan pulang besok," ujar Vian.
"Terus?" tanya Cia basa-basi.
"Cuma mau ngabarin itu aja. Takut kalau nanti kamu kepikiran," jelas Vian.
"Nggak akan!" ketus Cia menjawab ucapan dari Vian.
"Bagus kalau gitu." Vian tidak ambil pusing.
"Vian, kamu nelfon sama siapa?" Cia mendengar suara seorang perempuan meski tidak terlalu jelas dari seberang sana. Dahi Cia seketika mengerut.
"Kamu di sana sendiri?" tanya Cia spontan. Ia juga tidak kenapa pertanyaan itu tiba-tiba keluar dari mulutnya.
"Enggak. Sama Dila," jawab Vian santai.
Berbeda dengan Cia, gadis itu merasa ada sesuatu yang salah dengan hatinya saat tahu jika Vian di sana bersama Dila. Gadis itu mengeratkan giginya hingga rahangnya mengeras.
"Ohh ... bareng pacar. Kalau gitu ngapain nelfon? Aku juga nggak peduli!" sarkas Cia langsung memutuskan sambungan telepon. Ia melempar ponselnya asal ke atas tempat tidur.
-
Vv, Nov 2020
Toelisan,-