Vote dulu yuk, biar nggak lupa.
Ramaikan komen juga ya.
Happy Reading!!!
———
—————
Pukul tiga dini hari Cakrawala sudah membuka mata dan keluar dari tempat tidur favoritnya. Padahal remaja lain biasanya akan bangun pukul setengah enam.
Cakrawala bangun lebih awal karena ada banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan sebelum pergi ke sekolah. Ia harus menyapu, mencuci baju, kemudian memasak sarapan, baru ia akan mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Mau Cakrawala sakit atau tidak, semua pekerjaan itu harus ia yang menyelesaikannya.
Cakrawala meletakkan tongkatnya di samping kamar mandi, kemudian ia duduk dan merendam pakaian menggunakan detergan. Sebenarnya dulu di rumah ada mesin cuci, tapi ketika bi Wati dipecat, Tigu juga menjual mesin cuci tersebut. Sengaja ia jual, katanya, Cakrawala tidak boleh boros-boros.
Padahal pakaian yang harus Cakrawala cuci tidak bisa dibilang sedikit, ia harus mencuci pakainnya sendiri, pakaian Maratungga dan juga pakaian Tigu. Kalau Tigu merasa pakaiannya masih kurang bersih, pasti ia akan langsung naik pitam, memukulkan benda apapun di sekitarnya ke tubuh Cakrawala.
Tanpa mengeluh, Cakrawala mulai mengucek baju-baju yang sudah ia rendam dengan deterjen itu satu persatu. Disaat ia sudah bangun dan sibuk mengerjakan pekerjaan rumah, Maratungga masih tertidur nyenyak di atas kasur.
Usai mencuci dan menjemur pakaian, Cakrawala lantas menyapu bersih lantai rumah. Langit yang semula gelap, kini sedikit demi sedikit cerah, matahari sudah terbit.
Cakrawala mengelap peluh di keningnya. Ia masih belum menyiapkan sarapan.
Maratungga mengucek mata sambil berjalan lunglai ke arah dapur. Ia menguap.
"Semalam tidur nyenyak?" tanya Cakrawala.
Maratungga tidak menjawab. Ia masih mengumpulkan nyawa.
"Siapin baju gue." Ujar Maratungga.
Cakrawala mengangkat sebelah alis. "Mau ke mana?" tanyanya.
"Jalan-jalan lah, pake nanya lagi." Sewot Maratungga.
Tidak ingin membuat mood Maratungga kacau akhirnya Cakrawala memilih diam dan tidak banyak bertanya. Ia membuatkan sarapan terlebih dulu, menunya tidak aneh-aneh, nasi goreng untuknya dan salad untuk Maratungga.
Cakrawala sangat menjaga menu makanan Maratungga, seperti yang dikatakan oleh dr.Wiliam. Ia tidak ingin membuat Maratungga menjadi lebih sakit karena memakan makanan sembarangan.
Setelah semua sarapan siap di meja makan, Cakrawala harus kembali menyiapkan baju Maratungga. Tidak hanya baju dan celana, tapi Cakrawala juga menyiapkan kupluk berwarna hitam untuk menutupi kebotakan Maratungga. Maratungga terlihat tampan jika memakai kupluk, ah, apapun yang Maratungga kenakan pasti dia akan terlihat tampan.
Saat Cakrawala keluar dari kamar Maratungga, ia melihat abangnya itu tengah menikmati makanan yang ia buat di meja makan.
"Udah siang, mandi." Ujar Maratungga tanpa menoleh pada Cakrawala.
Cakrawala tersenyum. "Iyah." Ia lantas bergegas untuk mandi.
——
"Moa!"
Septian berteriak dari lantai bawah.
Moa yang sudah mengenakan seragam namun rambutnya belum disisir, menunduk, melihat Papanya yang ada di lantai satu.
"Kenapa Pa?" tanyanya.
"Dijemput sama Ala, mau berangkat bareng kamu katanya," ujar Septian.
Moa membuang napas kasar. Lagi-lagi dia datang. "Usir aja, Pa."
"Dia udah datang ke sini, masa harus Papa usir."
"Pokoknya Moa nggak mau berangkat sama Ala!" Ia lantas kembali masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap.
Yang dimaksud Ala itu adalah mantan pacar Moa, siapa lagi kalau bukan Galaksi Vaknigozi, karena Moa hanya punya satu mantan. Cowok itu namanya Galaksi, tapi ia lebih sering dipanggil Ala, Asi, atau kalau mau manggil dia Asu juga boleh.
Moa mengambil ponselnya lalu menghubungi Cakrawala.
"Hari ini kamu beneran masuk sekolah kan?" tanyanya.
"Iya. Ini aku sedang pakai seragam sambil telponan sama kamu."
"Pengen liat deh."
Di tempat lain, Cakrawala mengangkat alis. "Pengen liat apa?"
"Pengen liat kamu ganti baju." Moa tertawa.
Moa yakin pasti saat ini Cakrawala tengah tersenyum malu-malu dan menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Cowok itu punya kebiasaan ketika malu ia pasti akan menutupi wajahnya dengan telapak tangan atau benda apapun yang ia bawa.
"Moa lain kali, jangan bilang begitu lagi, ya?" ujar Cakrawala.
"Kenapa?"
"Aku malu."
Moa tertawa. Kan, benar. Cakrawala pasti akan bilang begitu. Sebenarnya memahami Cakrawala tidak sulit. Cowok itu selalu punya kebiasaan, ia akan melakukan ataupun mengatakan sesuatu yang sama berulang-ulang kali.
Cakrawala itu penderita obsessive compulsive disorder, jadi apa yang ia lakukan cenderung dapat ditebak.
"Aku tidak mau mengecewakanmu. Badanku ini tidak seindah yang kamu bayangkan."
Di tempat lain, Cakrawala berdiri di depan kaca, memandang tubuhnya sendiri.
"Jelek sekali tubuhku," ujarnya.
Tubuh Cakrawala penuh dengan bekas luka. Terlihat sangat mengerikan.
"Kasihan sekali perempuan yang akan jadi istriku nanti."
Lagi-lagi Moa tertawa. "Lo jadi cowok polos banget sih, hahahaha... Gemes banget."
Moa mengira ucapan Cakrawala barusan hanyalah sebuah candaan belaka. Padahal yang sebenarnya terjadi adalah tubuh Cakrawala memang penuh dengan luka-luka pukulan yang membekas dan terlihat sangat mengerikan.
Dada, perut, punggung, tangan, bahkan kaki Cakrawala pun juga tak luput dari bekas luka. Beberapa bekas itu ada yang menghitam dan terlihat seperti koreng.
"Nanti aku jemput kamu," tutur Moa.
"Nggak usah Moa."
"Kaki kamu kan masih sakit, mana bisa naik sepeda."
"Aku masih bisa naik bus."
Moa hendak menyanggah ucapan Cakrawala, namun cowok itu sudah berbicara lebih dulu.
"Aku laki-laki. Seharusnya aku yang menjemput kamu, bukan malah kamu yang selalu menjemputku."
"Aku merasa diriku sangat tidak berguna."
"Cakra, jangan ngomong gitu!"
"Jangan pernah merasa kamu tidak berguna."
"Memang kenyataannya seperti itu, Moa. Mau dikatakan seperti apapun aku memang orang yang tidak berguna."
"Cakra, aku marah ya kalau kamu ngomong kayak gitu lagi. Kamu itu berguna dan kamu sangat berharga buatku."
Saat ini Moa sangat ingin memeluk Cakrawala. Ia tahu, meskipun kelihatannya dari luar Cakrawala itu anak yang sangat ceria, tetapi sebenarnya Cakrawala tidak seperti itu.
"Oke, aku nggak akan jemput kamu. Tapi kamu harus janji kalau kamu akan sampai sekolah dengan selamat, ya?"
"Iya, Moa. Sampai bertemu di sekolah." Di depan cermin, Cakrawala lantas tersenyum.
Sekarang Cakrawala sudah berseragam rapi. Seperti biasanya, ia akan melakukan rutinasnya, tersenyum di depan cermin dan menyemangati dirinya sendiri.
Sambungan telepon masih belum Cakrawala matikan. "Moa, nanti kalau ada apa-apa kamu langsung telpon aku, ya."
"Iya, pasti, nanti aku telpon kamu."
"Aku tutup telponnya ya Moa."
"Iyah. Kamu berangkatnya hati-hati."
Usai bersiap-siap, Moa lantas menuruni anak tangga. Papanya sudah lebih dulu berangkat.
Moa mengambil beberapa tangkup roti selai dan memasukannya ke dalam kotak bekal. Sebelum ini ia tidak pernah membawa bekal ke sekolah, tetapi kali ini ia akan membawa bekal. Bekal ini untuk Cakrawala.
Cakrawala tidak pernah menjaga pola makan. Cowok itu selalu makan seadanya dan sesempatnya.
Moa meremat telapak tangannya. Ia teringat bagaimana ia dulu memperlakukan Cakrawala di kantin.
"Makan," ujar Cakrawala menunjuk piringnya.
"Iya, udah tau. Gue liat lo makan, bukan mandi."
Moa mengaduk es teh punya Cakrawala yang masih penuh, lalu ia mengangkat gelas tersebut dan menuangkan isinya ke piring makanan Cakrawala.
Nasi rames Cakrawala seketika digenangi air es teh dan terlihat seperti sop. Menjijikan.
"HAHAHAHAHA!" Tawa Moa menggelar.
Cakrawala diam, ia meletakkan sendoknya kemudian ia menunduk.
"Makan..." ujar Moa. "Ayo, makan...." Moa menyuruh Cakrawala untuk memakan nasi rames yang sudah ia campur dengan es teh.
Cakrawala menggeleng. Ini terlalu menjijikan.
"GUE BILANG MAKAN YA MAKAN!" Sentak Moa.
Moa mendorong kepala Cakrawala supaya menyentuh piring nasi rames tersebut.
"Moa, jangan..." cicit Cakrawala.
Semua murid di kantin lagi-lagi hanya diam menyaksikan.
"Makan anjing!" Sentak Moa seraya terus mendorong kepala Cakrawala ke arah piring tersebut.
Bruk!
Wajah Cakrawala mengisi piring rames yang telah dicampur es teh tersebut.
"Hahahahaha!" Tawa Moa.
Kedua lutut Moa terasa lemas, ia kemudian mendudukan diri di kursi ruang makan. Dadanya terasa sesak. Moa menyugar rambutnya ke belakang, matanya berkaca-kaca.
"Maafin gue Cak, maaf..." Air mata Moa yang menggantung, kini terjun membasahi kedua pipinya.
Mau Moa meminta maaf jutaan bahkan milyaran kali pun tetap tidak akan mengubah kenyataan Cakrawala memang sudah tidak sehat mentalnya. Dan Moa juga bertanggung jawab atas itu.
Moa tidak pernah berpikir jika apa yang ia lakukan itu bisa berdampak buruk pada diri Cakrawala. Pola makan Cakrawala berantakan pasti juga karena dirinya. Moa tidak tahu apa yang mesti ia lakukan supaya cowok itu kembali normal. Ia sama sekali tidak tahu.
Moa menangis. Ia menangisi dirinya sendiri, menyesal, mengapa ia bisa sekejam itu memperlakukan seseorang seperti Cakrawala. Padahal Cakrawala selalu ada untuknya disaat teman, sahabat, serta kedua orang tuanya memilih untuk meninggalkannya.
Hati Moa kembali sesak ketika pagi ini ia mendengar Cakrawala mengatai dirinya sendiri manusia tidak berguna.
"Nggak. Cakrawala baik-baik aja. Dia nggak depresi. Enggak. Dia cuma... hiks!"
Air mata Moa kembali jatuh.
"Sampai kapan lo mau menyangkal kenyataan kalau Cakrawala itu emang depresi?"
Galaksi berjalan mendekati Moa yang duduk di kursi ruang makan. Sejak tadi, cowok itu memang belum pergi, ia masih setia menunggu Moa untuk berangkat ke sekolah bersamanya.
"Dia itu sakit jiwa!"
"Dia gila!"
Moa menyeka air matanya dengan kasar.
"Jangan pacaran sama seseorang yang mengalami depresi dan berharap penyakitnya akan hilang begitu saja."
"Karena percuma, pada akhirnya lo yang akan capek sendiri ngadepin dia."
Moa menggeleng. "Gue nggak peduli, yang gue tahu, gue sayang sama Cakra dan gue akan nemenin dia. Sampai dia sembuh."
"Iya kalau dia sembuh, kalau dia nyerah trus bunuh diri gimana?"
"ALA!" Sentak Moa seraya menggebrak meja.
"Kenapa marah? Yang gue bilang nggak salah."
———
NEXT OR NO?
OH, IYA, AKU BUAT GC WHATSAPP, BUAT KALIAN YANG MAU GABUNG, BISA BANGET. LINKNYA UDAH AKU CANTUMIN DI BIO WATTPADKU, KALIAN TINGGAL KLIK AJA.