Hijrah Cinta [Hiatus]

By LenZareal

1K 116 11

Mungkin saja, belum seperti kisah cinta antara Sayyidina Ali dan Sayyidah Fatimah. Namun di sini, ada suatu r... More

Prolog
SATU
DUA
TIGA
EMPAT
LIMA
ENAM
TUJUH
DELAPAN
SEMBILAN
SEPULUH
SEBELAS
DUA BELAS
TIGA BELAS
EMPAT BELAS
LIMA BELAS
ENAM BELAS
TUJUH BELAS
DELAPAN BELAS
SEMBILAN BELAS
DUA PULUH
DUA PULUH SATU
DUA PULUH DUA
DUA PULUH TIGA
DUA PULUH LIMA
DUA PULUH ENAM
DUA PULUH TUJUH
DUA PULUH DELAPAN
DUA PULUH SEMBILAN

DUA PULUH EMPAT

28 3 0
By LenZareal

Maya pun mengantarkan minum pada lelaki itu yang tak lain adalah Bagas. Sementara Bagas menolaknya dengan cara berdiri dari kursinya. "Kok kamu yang antar? Pelayan yang tadi mana? Bisa-bisanya dia gak ngelayanin saya sampai selesai." Kata Bagas dengan suara sengaja dibesarkan.

Azkia yang mendengar itu sendiri, sukses membelalakkan matanya, geram. "Maunya apa, sih, orang itu?" Tanya Azkia lebih kepada dirinya sendiri.

Maya berusaha sesabar mungkin menghadapi lelaki satu ini, bisa-bisanya dia membuat keributan di pagi hari. Memang cukup merusak mood rupanya. "Oh, yang tadi itu namanya Azkia, Mas. Mas bisa duduk dulu sebentar, oke."

"Saya mau pelayan yang tadi! Mana orangnya? Enak aja main pergi gitu, gak sopan!" Bagas menelan ludahnya sendiri mengatakan hal itu barusan. Takutnya, ia baru saja membangunkan singa tidur.

Sementara Azkia sendiri, ia sudah tak tahan dengan perilaku lelaki itu yang menurutnya tak beretika sama sekali. Diambilnya sebuah nampan kecil berwarna cokelat dan kini dengan langkah pelan namun pasti, Azkia mulai menuju ke arah lelaki yang ia tidak ketahui bahwa namanya adalah Bagas.

Bug ... bug ... bug ....

Bunyi yang dihasilkan dari pukulan Azkia dipunggung Bagas membuatnya merintih kesakitan. "Aw ... sakit! Gila lo! Woy, jangan main pukul kenapa, sih?" Maya yang melihat itu hanya bisa gigit jari. Ingin melerai, namun sebenarnya ia juga ingin melakukan hal yang sama. Ingin ikut-ikutan, rasanya tidak mungkin sekali.

Masih dengan tangan yang memukul-mukuli punggung Bagas, Azkia menjawab. "Heh, Mas! Masnya ngaca dong! Punya kaca gak? Yang gak sopan itu saya atau Mas-nya? Masih pagi udah teriak-teriak di lapak orang. Udah dilayanin baik-baik, tapi jawabnya gak ngenakin hati. Mas pikir saya dari tadi tuh gak sepet apa? Sepet banget, Mas!"

"Aw ... udah, dong! Sakit tahu, Ki! Gila lo!" ucapan Bagas kali ini mampu menghentikan pukulan dari Azkia di punggungnya. Bagaspun menarik napas lega. "Hufft ... akhirnya lo sadar juga!" Bagas mengelus-elus dadanya, walau yang sakit adalah punggungnya.

"Mas tadi bilang apa?" tanya Azkia dengan tatapan menyelidik.

Bagas kebingungan sendiri. Memangnya apa yang baru saja dirinya katakan? "Hah? Bilang apaan?" Bagas melemparkan pertanyaan ulang.

"Mas tadi nyebut, Ki. Kok Mas tahu nama saya? Mas siapa? Ngaku gak? Buka kacamatanya!"

Lagi. Bagas kembali berusaha menelan ludahnya, menetralkan napasnya agar tidak mengatakan sesuatu yang membuat Azkia curiga padanya.

"Heh, Mas! Saya tanya itu dijawab!"

Entah ada angin apa, malah Maya yang menyahut. "Huss ... Kia! Tadi tuh, Mbak Maya yang kasih tahu nama kamu ke dia. Makanya dia tahu."

Diberikan jawaban oleh Maya, rupanya belum membuat Azkia puas. "Oh, kalau gitu, lepas kacamatanya coba. Saya mau lihat muka kamu."

"Eh, jangan! Nanti kamu naksir sama saya!" tolak Bagas dengan alasan konyol. Ya, semoga saja berhasil.

"Dih! Amit-amit saya naksir sama cowok macam kamu. Kayak gak ada yang lain aja."

"Jangan gitu, Mbak! Namanya perasaan itu kita gak tahu bisa berlabuh pada siapa. Bisa jadi sama saya, kan?" Bagas menggigit bibirnya sendiri setelah mengucapkan kalimat tadi. Ia yakin, jika Ryan mengetahui kalimat tadi, amarahnya akan membuncah.

"Tinggal lepas doang, apa susahnya sih? Saya cuma mau memastikan aja."

"Memastikan kalau saya ganteng apa gak?" lagi. Bagas kembali menggigit lidahnya. Benar-benar tak terkontrol, kalimat-kalimat ini keluar begitu saja.

"Kok kamu buat saya kesal, ya?"

"Ya makanya, siapa suruh kamu berdebat sama saya? Kesal sendiri, kan? Saya aja biasa aja."

"Hih, kamu!" Azkia kembali mengangkat nampannya hendak dipukulkan lagi pada Bagas. Namun disaat bersamaan, pintu Restoran terbuka menampakkan seorang laki-laki yang masuk di sana. Alhasil, niatnya untuk memukul diurungkan.

"Untung ada yang datang. Kalau gak? Habis kamu sama saya." Azkia melengos pergi begitu mengatakan hal itu pada Bagas.

Bagaspun kini bisa menghembuskan napas lega. "Oh iya, Mbak. Saya pesannya nanti, saya mau duduk santai dulu. Mbak boleh pergi." Kata Bagas memang berniat mengusir wanita yang tak lain adalah Maya, pergi dari tempatnya sekarang.

Maya sedikit mengernyitkan dahinya. Lelaki ini memang suka mencari masalah rupanya, untunglah Maya sabar. "Baik, nanti kalau perlu apa-apa, bisa panggil saya, Mas. Saya permisi."

"Hmm."

Dengan berlagak sambil membaca koran, Bagas kembali memantau gerak-gerik Azkia. Namun kini matanya berhenti pada salah satu meja. Tepatnya, pada meja orang yang baru saja tiba tadi. Matanya sukses membelalak kaget. Bagaimana tidak? Laki-laki yang baru saja datang adalah temannya sendiri. Arsen.

"Assalamu'alaikum, Sen," kata Azkia menyapa lalu duduk di depan Arsen sembari mengulum senyumnya.

Bagas masih mencuri pandang dari balik koran, alih-alih sebagai penutup. "Wa'alaikumussalam, Kia." Jawab Arsen lembut.

Setelah itu, mereka saling mengobrol, kelihatannya seperti bercerita atau mungkin belajar. Karena di antara keduanya, ada sebuah buku tebak yang entah tentang apa. Tapi dari pandangannya, beberapa kali mereka menilik ke arah buku lalu kembali lagi mengobrol.

Drrtt ... drrtt ... drrtt ...

Ponsel Bagas bergetar, menampakkan nama Ryan di sana.

"Halo, Yan!"

"Gimana? Lo udah di Restoran, kan?"

"Ah, udah dari tadi."

"Terus, lo dapet apa?"

"Wah, jangan ditanya, Yan! Dapet banyak."

"Iya, apaan woy?"

"Dapet omelan, kena marah, kena pukul...."

"Heh! Gue serius!"

"Lah? Gue mah serius. Emang begitu tadi."

"Kasih gue informasi yang penting bisa?"

"Bisa. Nih, ada orang ketiga baru."

"Siapa?"

"Bentar. Gue kirim fotonya."

Send a Picture....

"Arsen? Kok dia bisa di sana?"

"Nah, itu yang sedang berusaha gue cari tahu. Tapi sayangnya...."

"Apaan?"

"Gue gak bisa dengar mereka ngomong apa."

"Bego! Deketinlah!"

"Yang ada gue bakal ketahuan sama Arsen nanti. Gak mungkin rasanya, kalau dia gak kenal gue. Walaupun gue udah berusaha nutupin."

"Ya udah, terserah lo! Terus gimana?"

"Teras-terus aja lo."

"Ya terus gue harus ngomong apa? Hah?!"

"Sabar, dong. Ini masih hari pertama. Santuy aja, oke?"

"Hmm ... terserah lo! Lanjutin! Gue tutup dulu."

"Yoi!"

Tut ... tut ... tut ....

Ryan memotong teleponnya sepihak. Sementara Bagas kembali melanjutkan aksinya, ya walaupun ia tahu, ia bahkan tidak bisa mendengar apapun dari jarak yang cukup jauh ini. Namun dilihat dari gelagatnya, berarti Arsen sudah tahu perihal keberadaan Azkia di sini. Lantas, mengapa ia tidak memberi tahu Ryan? Bukankah seharusnya dia tahu, Ryan masih mengharapkan kehadiran Azkia di hidupnya?

*****

To Be Continued!

Continue Reading

You'll Also Like

LION [END] By jeremy

General Fiction

580K 25K 68
aish, perempuan yang kini berusia 15 tahun harus hidup terpisah dari abangnya, bara. karena abangnya hendak menempuh pendidikan di luar negeri. akhi...
539K 95.8K 49
Uang adalah penguasa dunia yang membuat roda hidup tetap berputar. Febi akhirnya mengakui kebenaran kutipan itu setelah memikirkan kemungkinan menjua...
49K 2.7K 28
"Hari ini, saya menutup pintu ke masa lalu saya... Membuka pintu ke masa depan, ambil napas dalam-dalam dan melangkah untuk memulai bab berikutnya da...
710K 22.3K 72
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...