Mas Dirham menepati ucapannya untuk menjemput Oca tepat waktu, tapi ia tidak datang sendiri melainkan bersama seorang wanita yang kalau aku tidak salah ingat beliau ini adalah mamanya. Tapi bukannya Mas Dirham sudah mengantar mamanya pulang ya ke Tangerang waktu itu?
"Ini Dinar, Ma, yang tinggal di sebelah rumahku."
Aku tersenyum kikuk saat Mas Dirham memperkenalkan diriku.
"Selamat sore, saya Andira, mamanya Dirham." Perempuan di hadapanku itu mengulurkan tangannya padaku.
"Sore, Tante. Saya Dinar," ujarku menyambut uluran tangan Tante Andira di hadapanku. Tuh, kan, benar ini tuh mamanya Mas Dirham. Muka mereka berdua agak-agak mirip, terutama bagian bibirnya.
"Iya, Dinar, Tante sudah dengar tentang kamu dari Dirham," ujarnya dengan senyum yang melengkung di bibirnya.
Degup jantungku jadi tambah heboh mendengarnya. Aduh, Mas Dirham ngomongin aku kayak gimana nih di depan mamanya?
"Dinar, mau pulang bareng sekalian? Kan kamu hari ini gak bawa motor," ajak Mas Dirham.
Sebenarnya lumayan banget sih kalau pulang bareng Mas Dirham jadinya hari ini aku hemat ongkos, tapi aku gak enak takutnya mengganggu quality timenya bersama keluarganya. Biarpun tetangga dan rumah kami tepat bersebelahan tapi aku tetaplah orang asing.
"Enggak usah, Mas. Gak apa-apa saya naik ojek online aja nanti, atau bisa nebeng teman kok," tolakku halus
"Loh, kenapa? Kan arah pulang kita sama. Mending bareng kita aja yuk, sekalian kita makan malam bareng."
Aku tersenyum canggung menanggapi ajakan Tante Andira. Gimana ini? Ada dua hal yang sulit untuk kutolak. Satu, permintaan ibu-ibu dan yang kedua, makanan. Lalu sekarang di hadapanku malah ada ibu-ibu ngajak makan, gimana bisa kutolak?
"Sudah, jangan kelamaan mikirnya, Din. Ayuk!" Tante Andira tanpa aba-aba langsung menggamit lenganku. Wah, baru sekali bertemu tapi nama panggilan Tante Andira untukku seperti kami telah kenal lama aja nih. Apakah ini pertanda baik atau hanya perasaanku saja?
"Eehh i-iya, Tante, saya ganti baju dulu," sergahku. Barang-barangku semuanya juga masih di loker.
"Kalau gitu kita tunggu di depan ya," ujar Tante Andira lalu setelahnya membawa Oca bersamanya. Sebelum keluar, Tante Andira dan Mas Dirham juga mengangguk sambil tersenyum seraya berpamitan pada Shifa.
"Calon mertua ya, Din?" Mulut Shifa langsung mengeluarkan pertanyaan selepas tersenyum. Kayak gatel banget itu rasa penasarannya di lidah minta cepat-cepat dikeluarkan.
Aku menempelkan jari telunjukku di bibir dengan tatapan mengancam. "Ssstt! Orangnya baru juga keluar!" omelku dengan gigi mengatup rapat, gemas banget sama kelakuan Shifa jadi pengin sentil tenggorokannya. Gimana kalau Mas Dirham dan Tante Andira dengar? Kan aku jadi gak enak nanti disangkanya aku yang lancang.
"Gue izin balik duluan ya?" tanyaku kemudian.
Shifa mengangguk mengiyakan permintaanku. "Sana buruan ganti baju. Jangan bikin mertua nunggu," sahutnya dengan gerakan tangan mengusirku. Kenapa jadi ini anak yang semangat banget sih?
Aku kemudian pergi ke ruang ganti untuk melepas seragam dan memakai baju pribadiku lagi. Setelah memasukkan semua barang-barangku ke dalam tas, aku pun lantas berjalan keluar sambil berpamitan pada setiap rekan kerja yang kutemui.
"Nanti kalau ada info-info pas diskusi kasih tahu gue ya, Shif," pintaku pada Shifa sebelum kemudian berpamitan lagi dengannya.
Setelah Shifa mengangguk dan mengangkat kedua ibu jarinya, aku kemudian melangkah keluar untuk menemui Mas Dirham.
"Maaf ya agak lama," ujarku pada Mas Dirham juga Tante Andira.
"Gak apa-apa kok, yuk!"
Aku mengangguk, tetapi kemudian memandang bingung pada Tante Andira yang alih-alih membuka pintu depan, justru malah membuka pintu belakang dan membawa Oca masuk bersamanya. Tunggu... tunggu... ini aku yang duduk di samping Mas Dirham gitu?
Aku menoleh ke arah Mas Dirham dengan maksud untuk meminta bantuan agar ia memberitahu ibunya untuk duduk sampingnya, tapi Mas Dirham juga malah hanya menganggukkan kepalanya seolah memintaku untuk pasrah saja. Tak memiliki pilihan lain, aku lantas membuka pintu depan dan menduduki kursi di samping pengemudi, tempat Mas Dirham duduk.
"Dinar, mau makan apa?" tanya Tante Andira saat aku tengah memasang sabuk pengamanku.
"Eh?" Aku memiringkan sedikit tubuhku agar kepalaku bisa menoleh ke Tante Andira di belakang. "Apa saja boleh kok, Tante," jawabku sungkan. Ya kali aku yang diajak terus aku yang nentuin mau makan apa.
Tante Andira manggut-manggut mendengarkan jawabanku, "Daging-dagingan suka gak?" tanyanya lagi dan aku mengangguk mengiyakan. Aku omnivora kok, Tante. Semuanya kumakan kecuali teman dan berita hoax.
Tante Andira kemudian mengulurkan tangannya untuk menepuk bahu Mas Dirham yang tengah mengeluarkan mobilnya dari area daycare. "Ham, all you can eat ya? Di steak 24 aja, Mama pengin cobain," katanya.
"Siap!" sahut Mas Dirham seraya mengacungkan satu ibu jarinya.
Roman-romannya Mas Dirham nih tipe anak yang berbakti pada ibunya deh. Aduh, Mas, aku jadi ingin berbakti padamu.
Halah, sadarlah kau, Dinar!
***
Aku duduk manis dengan Oca di sampingku, sementara di hadapan kami Tante Andira dan Mas Dirham tengah memilih paket makanan.
"Oh, ya udah paket C aja kalau gitu," ujar Mas Dirham setelah mendengarkan penjelasan dari waiter tentang pilihan-pilihan paket BBQ all you can eat di sini.
"Selagi menunggu daging disiapkan, makanan lainnya juga minuman silakan bisa diambil sendiri ya, Pak, Bu," ujar waiter itu dengan ramah selagi menunjuk bufet yang berisi macam-macam makanan sebelum kemudian ia pamit pergi untuk menyiapkan pesanan kami.
"Dinar, ambil aja ya kamu mau apa. Atau mau saya ambilin?" tawar Mas Dirham padaku.
"Eh, enggak usah, Mas, ambil sendiri aja," sahutku. Ya kali gak tahu diri amat aku udah diajak makan, masa mau segala dilayani pula.
"Oca mau bareng sama Miss?" tanyaku kemudian pada Oca. Ya biar gak garing-garing amat gitu aku sendirian.
"Sama Papa juga deh, yuk!" Mas Dirham bangkit dari kursinya seraya mengulurkan tangannya untuk menggamit tangan Oca. "Mama mau diambilin apa?" tanyanya pada Tante Andira.
"Minum aja, Ham, tolong. Yang agak asem-asem ya biar segar."
Mas Dirham mengangguk pada Tante Andira lalu kemudian membawa Oca bersamanya.
"Ke situ dulu ya, Tante," pamitku pada Tante Andira sebelum kemudian mengekor ayah dan anak itu.
Usai memilih beberapa makanan juga minuman, kami kembali ke meja dan kulihat di sana sudah ada beberapa daging yang disajikan. Tante Andira pun terlihat sudah menaruh beberapa potongan daging di atas panggangannya.
"Pakai ginian ah biar kayak di drama Korea," ujar Tante Andira selagi tangannya menggulung daging ke dalam selada segar dan menyantapnya.
"Suka nonton drakor, Tante?" tanyaku refleks.
"Suka banget, Din! Apalagi kalau yang main Gong Yoo."
Aku ikut manggut-manggut antusias. Aku gak tahu kalau di luar sana ada ibu-ibu lainnya yang penyuka drakor juga, tapi ini kali pertama selera tontonanku sefrekuensi sama ibu-ibu. Soalnya Mama di rumah boro-boro bisa diajak nonton bareng drama Korea. Katanya Mama gak suka nonton film yang ada subtitle-nya jadi bingung harus lihat ke mana, gambarnya atau tulisannya. Giliran ada drakor yang diputar di televisi dan gak pakai subtitle tapi di-dubbing, Mama berdalih lagi gak suka lihat gerakan bibir sama suara yang keluar itu beda. Yah elah, bilang aja gak selera gitu pakai segala banyak alasan.
"Berarti Goblin nonton dong, Tante?" tanyaku lagi.
Tante Andira mengangguk. "Sudah lebih dari sepuluh kali Tante ulang kayaknya," ujarnya selagi tangannya menggunting-gunting daging di atas panggangan. "Sambil dimakan, Dinar," katanya.
"Drakor terus," cibir Mas Dirham.
"Emang kenapa sih? Iri aja kamu yang kalah ganteng sama Gong Yoo," balas Tante Andira langsung.
Aku kemudian hanya mengulum senyumku mendengar perdebatan ibu dan anak yang gak ada serius-seriusnya itu. Selagi mereka saling melempar argumen, aku mengangkat beberapa potong daging dari atas panggangan dan meletakannya di piring kecil lalu menaruhnya di hadapan Oca. "Tunggu agak adem dulu ya," kataku padanya selagi tanganku menaruh potongan daging baru untuk dipanggang di atas panggangan.
"Dinar kayaknya telaten ya ngurus anak," ujar Tante Andira menyebut namaku tapi matanya malah menatap Mas Dirham.
"Iya," sahut Mas Dirham singkat, padat, dan jelas tapi menimbulkan efek panjang dan tidak karuan di hatiku.
Panggilan kepada Dinar, tolong sadar! Otakku mencoba memberi peringatan lagi.
***