Sexy Bae

By WiwinSetyobekti

36.6K 2.8K 429

Bersahabat dengan Kang Baekho sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan mengangg... More

Kangmas
Ketika cinta datang terlambat
01. Going Home
02. Everything happens for reason
03. Still The Same Person
04. Partner Of Crime
05. Princess Warrior
06. Fight Me
07. Let Me
Mas Bae
08. Rival?
09. Kode
10. I was there
11. You are my compass
12. About you
13. Rejected
15. Let's get closer
16. Backstreet
17. It Hurts
18. Love is complicated
19. Lea and Me
20. Soulmate (End)

14. Get into It

603 72 9
By WiwinSetyobekti

Sexy Daddy (14)

°°°

Pria itu sudah berdiri di depan ruanganku ketika diri ini baru saja membuka pintu hendak pergi ke kantin.
“Hai, makan siang bareng, yuk,” ajaknya dengan suara renyah. Senyum terus tersungging di bibirnya yang tipis.

“Kok … di sini?” tanyaku.

Ia mengangguk. “Sengaja. Pengen makan siang bareng kamu. Langsung deh meluncur ke sini.” Ia menjawab tanpa beban, tanpa malu-malu.

Dan rasanya, aku gagal untuk tak terharu. Membayangkan pria ini menyempatkan diri untuk datang ke sini di tengah-tengah kesibukan, rasanya kok diriku begitu diperhatikan. Apalagi kalau ingat bahwa letak kantornya lumayan jauh, memerlukan perjalanan sekitar dua puluh lima menit, ah, betapa perhatiannya dia.
Jauh-jauh datang ke sini demi untuk ngajakin makan siang doang.

Sebentar, kalian tidak berpikir bahwa dia Bae, kan?

Bukan. Ini Daniel!

“Tapi, aku udah pesen makan siang di kantin kantor,” ucapku.

“Jangan gitu, dong. Aku udah jauh-jauh ke sini masa mau ditolak?” Ia merajuk lucu.

“Ya udah, makan siang bareng di kantin aja.” Aku menawarkan.

Daniel menggeleng. “Aku udah nyiapin tempat.”

Lagi-lagi rasanya terharu. Wadidaw, dia udah nyiapin tempat khusus sekadar untuk makan siang denganku? 

“Ya nggak enak, dong. Udah terlanjur pesen, masa nggak jadi?”

“Biar aku yang bayarin, kasihkan ke rekanmu yang lain. Kamu tetap ikut makan siang sama aku.”

Aku menimbang sekejap. Setelah dipikir-pikir, kasihan juga Daniel kalau kali ini aku tolak. Makanan di kantin kan bisa diambil Elsa atau yang lainnya.

“Oke deh,” jawabku kemudian. Mengiyakan ajakan Daniel untuk makan siang di luar. Setelah pamit pada Elsa, aku mengikuti Daniel ke parkiran. Kali ini aku naik mobilnya.

***

“Aku minta maaf ya soal Mami.” Daniel berujar tentang hal ini untuk ke sekian kali. Ia mengajakku makan siang di sebuah restoran privat dengan menu-menu luar biasa mahal.

“Ya ampun, kamu udah beberapa kali bilang tentang hal itu.” Aku terkekeh, lalu memasukkan sesendok sup ke mulut.

Daniel mengangkat bahu. “Beneran, aku ngerasa nggak enak sama kamu. Mami menemuimu tanpa memberitahu, tanpa janjian lebih dulu. Aku ngerasa kecolongan aja.”

Aku tersenyum. Kali ini benar-benar tulus. “Beneran, nggak apa-apa, kok. Beliau datang untuk minta dibuatkan baju, dan aku menyanggupinya.”

“Cuma itu?”

Aku mengangguk.

“Nggak bahas tentang diriku? Tentang kita?”

Sejenak aku terdiam. Tapi akhirnya aku memilih menggeleng. “Nggak ada. Cuma obrolan biasa soal baju dan lain-lain.”

Daniel manggut-manggut.

Aku menggigit bibir sejenak lalu berhenti menyendok makanan, “Um, soal kita ….?”

Sadar akan pembicaraan yang mulai serius di antara kami, Daniel meletakkan sendok ke mangkuk, melipat kedua tangan di atas meja, lalu menatapku. “Oke, ayo kita bahas.”

Aku menelan ludah. Kepalang basah. Sepertinya ini memang harus dibicarakan. Aku tak mau menempatkan Daniel di situasi tak menentu. Ia terlalu baik untuk perlakuan seperti ini.
Lagipula, aku ingin menyelesaikan urusanku satu-satu. Ya dengan Daniel, ya dengan Bae.
Kalau terus berlarut, dadaku sesak.

“Aku sudah menyatakan cinta padamu, Zoya, dan aku serius. Sekarang aku sedang menunggu jawaban darimu. Sebenarnya aku menghendaki kita makan malam romantis agar bisa bicara dari hati ke hati. Yeah, andai kamu menolakku, at least, aku bisa bikin kenangan yang indah sama kamu. Tapi, andai kamu ingin bicara sekarang pun, tetap akan kudengarkan.”

Tiba-tiba saja aku grogi.

“Aku nggak yakin bisa membina hubungan yang serius denganmu. Karena, kupikir kita ini hanya teman.” Akhirnya aku berujar jujur. Mungkin aku bakal menyesal karena telah menolak pria sebaik dan sekaya Daniel, tapi apa boleh buat, aku tak ingin memanfaatkannya.

Daniel terdiam sejenak. Terlihat sedikit kaget, tapi ia mampu mengendalikan emosinya dengan baik. “Karena ada orang lain yang kamu suka?”

“Sejujurnya, iya.”

“Temen dudamu itu?”

Aku nyaris terbatuk. Kok dia tahu?
“Kenapa kamu bisa menyimpulkan begitu?”

Daniel mengangkat bahu. “Karena selama ngejar-ngejar kamu, nggak ada pria yang kamu bicarakan selain dia.”
Apa iya selama ini aku selalu ngomongin Bae? Kok aku nggak sadar.

“Sejujurnya, kami itu….”

“Dari temen jadi demen?”

Duh, terus terang banget sih dia.

“Sebenarnya, belum ada kejelasan hubungan di antara kami. Tapi bahwa kami saling perhatian, saling support, yeah, begitulah.”

Daniel manggut-manggut. “Nggak apa-apa. Belum ada kejelasan tentang hubungan kalian, kamu juga belum terikat secara resmi dengan pria lain, jadi aku masih punya hak untuk ngejar-ngejar kamu.”

Aku melongo. Pria satu ini ngomongnya lancar kek jalan tol.

“Niel….”

“Oh, aku suka panggilan itu,” potongnya.

“Aku serius,” ucapku gemas.

“Aku juga serius.” Ia berujar tak kalah gemas. “Gak masalah kali ini kamu menolakku. Tapi bukan berarti aku akan mundur. Kamu belum resmi jadi milik orang lain, jadi ya … perjuanganku untuk ngedapetin kamu jalan terus. Simpel, kan?”

Kami beradu tatap.

“Kamu nggak takut kumanfaatin? Kamu mapan dalam segala hal. Tadinya aku sempat kepikiran untuk morotin kamu, lho. Tapi setelah kupikir-pikir, aku bakalan jahat banget kalo sampai ngelakuin itu.”

“Aku nggak keberatan, asal kamu mau sama aku. Akan kuberikan semua yang kamu mau. Limpahan materi, apa saja.” Lagi-lagi ia berujar lugas, tanpa tedeng aling-aling.

“Niel….”

“Yeah, aku seputus asa ini kalo berurusan sama kamu.” Ia kembali berujar. Kali dengan suara getir.

Dan akhirnya aku sadar, ia terluka karena penolakanku.

Makan siang itu kami lalui dengan perasaan tak enak. Daniel lebih banyak diam, pun begitu dengan diriku. Makanan yang masuk ke mulut rasanya hambar.

Ketika pria itu hendak mengantarkanku kembali ke kantor, ketika mobil yang kami tumpangi baru saja keluar dari tempat parkir, kami berpapasan dengan mobil itu.
Mobil yang tengah melaju pelan menuju halaman rumah rumah makan.
Mobil Bae. Dia yang mengemudi, dan perempuan itu di sisinya. Perempuan bernama Maya yang akhir-akhir ini sering datang ke rumah.

Ah, Vertigoku seketika kambuh.

***

Musik diskotik menghentak. Aku duduk sendirian di meja bar sembari menikmati segelas minuman. Awalnya tadi aku ingin mengajak Elsa. Aku bilang padanya bahwa aku suntuk dan butuh hiburan. Namun apa boleh buat, dia ada jadwal kencan. Siapa lagi kalau bukan dengan Mas Aron.

Ketika sedang asyik menikmati hentakan musik, beberap pria mencoba mengajak mengobrol. Namun tak kugubris. Aku hanya menatap sekilas lalu tersenyum tipis, kemudian asyik dengan gelas minuman di tangan. Memberi kode bahwa untuk saat ini aku tak ingin diganggu. Sampai akhirnya panggilan itu kudengar.

“Zoya?”

Aku menoleh. Menatap pria menjulang di sisiku, sekian detik kemudian aku ternganga.

“Peter?”

***

Benar-benar tak kusangka bahwa aku akan bertemu dengan Peter. Pria yang pernah menjadi pacarku beberapa minggu semasa kuliah, yang pernah melakukan hal buruk padaku, dan pernah nyaris kurontokkan gigi-giginya.

Setelah sempat basa basi sejenak, kami memutuskan untuk mengobrol di coffee shop yang berada di seberang diskotek. Mengingat apa yang pernah terjadi semasa kuliah dulu, aku takjub bahwa sekarang aku dan Peter bisa duduk berdampingan tanpa terlibat baku hantam.
Kami bahkan mengobrol dengan hangat layaknya dua orang sahabat lama yang sedang melepas kangen. Mengobrol sembari mengingat masa lampau, tak jarang tawa menghiasi.

Kami bicara banyak hal. Termasuk tentang pekerjaan kami. Ia yang sibuk dengan bisnis kuliner, aku yang sibuk dengan baju-bajuan. Peter bahkan tak sungkan bercerita bahwa sekarang ia menduda. Pernikahannya kandas setahun lalu karena orang ketiga. Mantan istrinya kabur dengan lelaki lain. Mereka akhirnya resmi bercerai, tanpa anak. Ah, tiba-tiba aku kasihan padanya.
Sebaliknya, Peter kaget ketika tahu bahwa aku masih betah melajang, apalagi di umurku yang bisa dikatakan tak lagi muda.

“Serius? Belum married?” Ia memastikan.

Aku menggeleng.

“Kupikir kamu bakalan menikah sama Bae. Kalian kelihatan cocok satu sama lain. Dan sepertinya ia begitu sayang sama kamu. Aku ingat ia pernah menghajarku layaknya orang kesetanan setelah aku melecehkanmu. Ingat?”

Bukannya marah dengan penuturan Peter, aku malah terkekeh lalu mengangguk. Aku masih ingat semuanya. Termasuk ketika Bae nyaris mematahkan tulang rusuknya.

“Aku benar-benar minta maaf dengan apa yang pernah kulakukan dulu, Zoya. Aku berengsek, aku bangsat.” Peter mengangkat bahu. Sorot matanya benar-benar terlihat menyesal. “Mengingat apa yang pernah kulakukan di masa muda, aku benar-benar malu. Aku nggak habis pikir, kok bisa ya aku kayak gitu?” Ia tertawa getir.

Aku tersenyum. “Gak apa-apa. Manusia itu berproses. Aku senang sekarang kamu sudah jauh lebih baik.”

“Thanks.” Ia berucap syukur.

“Ngomong-ngomong Bae apa kabar? Udah nikah?”

“Udah. Anaknya satu. Masih ingat Sisca? Bae nikah sama dia.”

Peter terdiam sejenak. “Oh, aku ingat. Cewek yang posturnya agak kurus dan biasa menghabiskan waktunya di perpus itu, kan?”

Aku mengangguk. “Dia sudah meninggal karena sakit. Sekarang Bae juga menduda.”

Peter tampak syok. “Oh, poor girl. I’m sorry to hear that. Semoga ia diterima di sisiNya.”

Aku mengaminkan ucapan Peter.

Obrolan kami terus berlanjut hingga lumayan larut. Sebelum berpisah, kami sempat bertukar kontak. Peter janji bahwa suatu saat nanti ia ingin mampir ke tempat kerjaku. Dia bilang, dia tertarik untuk melakukan bisnis konveksi.

“Besok-besok ngobrol lagi, ya. Biar aku datang ke tempat kerjamu kalo pas lagi istirahat.”

Dan aku mengiyakan tanpa ragu. “Oke.”

***

Hampir setengah satu aku sampai rumah. Turun dari taksi, aku menemukan Bae di teras. Duduk-duduk santai dengan ponsel di tangan. Melihat kedatanganku, ia buru-buru bangkit. Dan aku segera mencegah.
“Aku bisa ke kamarku sendiri, aku nggak mabuk. Aku nggak minum alkohol hari ini,” ucapku.
Langkah Bae seketika terhenti.

“Aku akan segera ke kamar. Nite, Bae.”

“Zoya ….”

Panggilan itu membuatku berbalik. “Apaan?” tanyaku ketus.

Menyadari kecanggungan di antara kami, raut wajah Bae berubah masam. “Aku---,”

“Sepertinya kencanmu hari ini lancar, ya?” potongku.

Bae menatapku bingung.

“Aku lihat kamu makan siang dengan temen wanitamu. Kalian pasangan yang romantis.”

“Kamu lihat kami?”

Aku mengangguk.

“Kami makan siang bersepuluh. Beberapa orang sudah menunggu di sana. Aku dan Maya baru menyusul. Kami nggak cuma berduaan.” Ia menjelaskan dengan secepat kilat.

Bibirku manyun. Ngapain juga dijelasin?

“Oh.” Aku menjawab pendek sambil manggut-manggut.

“Kapan bisa bicara serius? Berdua aja. Nggak di sini.” Bae kembali berujar.

“Kapan-kapan.” Aku menjawab ketus lalu berbalik. Sempat terpikir untuk duduk santai dengan pria itu seperti yang kami lakukan selama ini, lalu bicara dari hati ke hati, menyelesaikan semua kegundahan dan sebah di dada. Namun, entah mengapa rasanya aku belum siap.
Aku belum siap bicara banyak hal dengan Bae.

“Zoya….” Panggilan yang lembut, tapi aku takkan takhluk.

“Aku lelah, pengen cepet tidur. Bye. Sampai jumpa besok.” Dan tanpa memberi kesempatan pada Bae untuk berkata lagi, aku beranjak masuk rumah.

***

Peter memenuhi janjinya untuk berkunjung ke tempat kerjaku. Siang itu, pada jam istirahat, ia datang ke kantor. Membawa oleh-oleh berupa kudapan dan cemilan-cemilan. Dia bilang, dia masih ingat kalau aku suka ngemil.
Tergelak dengan penuturannya, tiba-tiba saja terlintas bayangan Daniel yang senantiasa membawa sebuket bunga manakala berkunjung. Ah, aku suka cemilan dan bunga.
Dua orang ini akan jadi kombinasi yang pas.

Aku menyilakan Peter duduk. Dalam waktu singkat, kami terlibat obrolan renyah lagi. Tak bisa dipungkiri bahwa sejak dulu ia pria yang supel, ramah, humoris, dan tahu cara mencairkan suasana.  Dan jujur, ia juga masih saja terlihat tampan memesona. Dengan tubuh tinggi menjelang dan senyum yang khas, pantas saja jika dulu aku pernah kepincut padanya. Mungkin jika dia dulu dia bukan cowok berengsek, aku pasti betah jadi kekasihnya.

Ketika sedang asyik mengobrol, tiba-tiba pintu terbuka, dan Bae muncul dari sana, membuatku terkejut bukan main. Ngapain tiba-tiba ia ke sini?
Ia belum sempat menyapa ketika fokusnya teralih pada sosok di sisiku. Menyipitkan mata, ia bergumam kaget. “Pete?”

Peter bangkit dari tempat duduk hendak menyapa. Ia baru tersenyum ketika tiba-tiba Bae melesat lalu mendorong tubuhnya kasar. “Ngapain kamu di sini, Bangsat! Menjauh dari Zoya!”

Peter yang sempat jatuh terjengkang buru-buru bangkit. “Bro, wait!”

Tanpa memberi kesempatan untuk berkata-kata, Bae mendekat dan menarik kerah bajunya. Membuat diriku nyaris berteriak histeris.
“Bae, please. Ini nggak seperti yang kamu duga.” Aku berusaha melepaskan cengkeraman Bae di leher Peter, tapi karena genggamannya terlalu kuat, aku gagal.
“Bae ….” Aku masih berusaha membuat dua orang ini terpisah ketika tiba-tiba pintu kembali terbuka lalu sosok itu muncul.

Kali ini … Daniel!

Elsa nongol di belakangnya beberapa detik kemudian lalu menatap keributan di antara kami dengan bingung. Menyadari bahwa situasi ini rumit layaknya drama, gadis itu mundur beberapa langkah. “Anu, saya keluar aja ya, Mbak.” Lalu ia menutup pintu dari luar.

Daniel yang masih berdiri di depan pintu dengan sebuket mawar merah di tangan, menatap keributan antara diriku, Bae dan Peter dengan wajah syok.
“What’s going on here?”

Kami berempat bergantian saling tatap. Masih dengan ekspresi kaget, Daniel menatap Bae dan Peter yang bersitegang, lalu ganti menatapku. Sementara Bae dan Peter balik menatap Daniel, lalu ganti menatap padaku.

Menatap ketiga pria di ruanganku tersebut, aku mengerang dalam hati. Ya Gusti, hidupku gini amat, sih?

“BUBAARR!!”

***

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

209K 7.3K 97
Ahsoka Velaryon. Unlike her brothers Jacaerys, Lucaerys, and Joffery. Ahsoka was born with stark white hair that was incredibly thick and coarse, eye...
91.9K 3.1K 52
"𝐓𝐫𝐮𝐭𝐡, 𝐝𝐚𝐫𝐞, 𝐬𝐩𝐢𝐧 𝐛𝐨𝐭𝐭𝐥𝐞𝐬 𝐘𝐨𝐮 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐡𝐨𝐰 𝐭𝐨 𝐛𝐚𝐥𝐥, 𝐈 𝐤𝐧𝐨𝐰 𝐀𝐫𝐢𝐬𝐭𝐨𝐭𝐥𝐞" 𝐈𝐍 𝐖𝐇𝐈𝐂𝐇 Caitlin Clark fa...
1.9M 86.2K 194
"Oppa", she called. "Yes, princess", seven voices replied back. It's a book about pure sibling bond. I don't own anything except the storyline.
147K 5.2K 42
❝ if I knew that i'd end up with you then I would've been pretended we were together. ❞ She stares at me, all the air in my lungs stuck in my throat...