2. NOT ME ✔️

By Caaay_

10.4M 1.7M 365K

Cakrawala Agnibrata, dia selalu menebar senyum ke semua orang meskipun dunianya sedang hancur berantakan. Sam... More

NOTE
CAST
C A U T I O N
B LU R B
-000-
|| P R O L O G ||
CHAPTER 1 | RAPUH |
CHAPTER 2 | BULLYING |
|CHAPTER 3| BEKAS LUKA|
| CHAPTER 4 | KEMOTERAPI
| CHAPTER 5 | GABI FATHAN
|CHAPTER 6| SEPEDA
| CHAPTER 7 | RUANG KELAS |
CHAPTER 8 |PULANG|
CHAPTER 9| SATE|
CHAPTER 10 | PERHATIAN TERSELUBUNG |
CHAPTER 11 | LEMARI |
CHAPTER 12 | CERMIN |
CHAPTER 13 | KOMPETISI |
CHAPTER 14 | BROKEN |
CHAPTER 15| TIDAK TERIMA |
CHAPTER 16 | HUBUNGAN BARU|
| CHAPTER 17 | TEMANKU
| CHAPTER 18 | MELUKIS
| CHAPTER 19 | PULPEN KUNING
| CHAPTER 20| KAKAK TERSAYANG
| CHAPTER 21| KEGILAAN CAKRAWALA
| CHAPTER 22 | JANGAN SAKIT
| CHAPTER 23 | OCD
| CHAPTER 24 | ORANG GILA
| CHAPTER 25 |RAMBUT RONTOK
| CHAPTER 26 | MENCARI
| CHAPTER 27 | MENJAGAMU
| CHAPTER 28 | CAKRAWALA KECIL
|CHAPTER 30| MALAM MINGGU
| CHAPTER 31 | LOKOK BUAT AYAH
| CHAPTER 32 | MUNGKINKAH BERSAMA?
| CHAPTER 33 | DEPRESI
|CHAPTER 34 | DIMAKAN AIR
| CHAPTER 35 | SIMULASI MATI
|CHAPTER 36 | MENINGGALKAN
|CHAPTER 37| JALAN-JALAN
| CHAPTER 38 | CAKRAWALA SAKIT
| CHAPTER 39 | PERJANJIAN DENGAN BUNDA
| CHAPTER 40 | SENYUMAN CAKRAWALA |
| CHAPTER 41 | BUKAN AKU
| CHAPTER 42 | KHAWATIR
| CHAPTER 43 | KANGEN CAKRA
|CHAPTER 44 | RUMAH GABI
| CHAPTER 45| CAKRA ANAK NAKAL
|CHAPTER 46|KEMARAHAN MARATUNGGA
|CHAPTER 47| TENTANG MARATUNGGA
|CHAPTER 48| TENTANG MARATUNGGA II
|CHAPTER 49| MAAFIN CAKRA
|CHAPTER 50| AKU ATAU TUHANMU
|CHAPTER 51| BADUT TOKO MAINAN
CHAPTER 52 | DIKELUARKAN
| CHAPTER 53 | RUMAH SAKIT JIWA
|CHAPTER 54 | SENANDUNG UNTUK CAKRA
| CHAPTER 55 | JANGAN TINGGALIN CAKRA
|CHAPTER 56| KEPULANGAN CAKRAWALA
| CHAPTER 57 | TANGISAN PILU
|CHAPTER 58| PELUKAN UNTUK CAKRA
|CHAPTER 59 | USAI
EPILOG
KLARIFIKASI
ABOUT ME
VISUALISASI NOT ME
PESAN TERAKHIR CAKRA
NOT ME 2

|CHAPTER 29| CAT AIR

113K 23.4K 6.2K
By Caaay_

Caay minta maaf ya, harusnya Caay updatenya kemarin. Tapi Caay nggak bisa karena nggak ada kuota huhu :(

Sebagai gantinya, part ini panjang banget. Seharusnya bisa dijadiin dua part.

Oke, jangan kebanyakan cingcong deh.

Selamat membaca!!!

———

————

Moa sedari tadi memandang layar ponsel yang menampilkan room chatnya dengan Cakrawala. Sudah seminggu lebih cowok itu menghilang tanpa kabar. Setiap pulang sekolah Moa bahkan tidak pernah absen menyambangi rumah cowok itu, mengetuk pintu berkali-kali, meneriakan namanya, dan berakhir dengan pamit pulang.

Moa menyeka air matanya. Rasanya ia mau gila jika terus-terusan begini! Cakrawala sialan! Moa bersumpah jika ia bertemu dengan Cakrawala nanti, ia tidak akan mengampuni cowok itu. Lihat saja! Moa akan mencabik-cabik Cakrawala hingga menjadi potongan kecil-kecil.

Ketika Moa putus dengan Galaksi, ia tidak sesedih ini, ia bahkan masih bisa tertawa karena guyonan dari Wicak dan Nadin. Ya, dia memang pernah sedekat itu dengan Wicak dan Nadin. Namun sekarang, semenjak ia memiliki perasaan dengan Cakrawala, kedua manusia itu seperti seorang musuh bagi Moa.

Tolong jangan salahkan Cakrawala, karena ini bukan kesalahan dia. Sungguh... Moa hanya... menyadari kesalahannya di masa lalu.

Moa tidak tahu apakah saat ini ia benar-benar telah jatuh hati kepada Cakrawala, atau dia hanya merasa bersalah karena dirinya lah mental cowok itu menjadi terganggu.

Sampai sejauh ini, Moa sama sekali belum mengenal Cakrawala karena cowok itu terlalu misterius. Yang Moa tahu, Cakrawala adalah laki-laki genius yang ramah dan penuh senyuman. Ketika di sekolah, Cakrawala terlihat seperti seseorang yang paling bahagia sedunia. Ia selalu tertawa karena hal-hal kecil.

Dulu ketika Moa membullynya, Cakrawala tidak pernah marah. Sejahat apapun perlakuan Moa, cowok itu, tetap menyunggingkan senyum pada Moa.

Ting tung! Ting tung!

Moa mendengar suara bel rumahnya berbunyi karena dipencet oleh seseorang. Moa mengembuskan napas kasar, ia menyeka air matanya lalu berjalan malas untuk membukakan pintu. Tidak ada siapapun di rumah. Ayahnya bilang, ia pulang sedikit terlambat karena ada urusan sekolah yang harus segera ia selesaikan.

Ceklek

Pintu rumah Moa terbuka. Seorang cowok dengan seragam tim volly SMA Elang tanpa lengan, berdiri di depan pintu. Dia Galaksi, ketua tim volly, mantan pacar Moa yang mendadak datang dan meminta balikan. Memalukan!

Cowok bersurai hitam itu menggenggam sebuah kantong kresek berwarna hitam, di dalam kresek itu ada banyak makanan. Galaksi tersenyum menampilkan deratan gigi-giginya.

Moa mengembuskan napas kasar. "Lo ngapain ke sini sih?!" tanyanya. Sangat tidak ramah.

"Bawa ini buat lo." Galaksi mengangkat kresek hitam tersebut.

"Gue nggak butuh!"

"Lo kalo ngomong pake urat mulu, kagak capek apa?"

Moa memutar bola mata malas. Ia tidak menanggapi ucapan dari sang mantan.

"Gih ambil." Galaksi menyodorkan kresek itu pada Moa.

"Gue bilang gue nggak butuh!"

"Ini bukan dari gue, tapi dari Pak Septian. Bokap lo," ujarnya.

"Oh ya?"

"Serius anjir!" Ucap Galaksi. "Kalo lo nggak percaya, coba telpon."

"Gue telpon beneran nih." Moa mengangkat ponselnya, menakut-nakuti Galaksi.

Galaksi pasti berbohong supaya ia mau menerima pemberiannya, begitu pikir Moa.

"Yaudah gih, coba telpon..." Tantangnya.

"Okeh!" Jawab Moa.

Moa mengutak-atik ponsel untuk menelepon Papanya, membiarkan Galaksi berdiri saja di depan pintu.

"Setidaknya biarin gue masuk dulu kek," ujar Galaksi. "Gue haus."

"Minum aja air comberan depan rumah gue," jawab Moa. Sadis.

Panggilan Moa tersambung. "Pah, ad—"

"Moa, Papa tadi beliin kamu makanan. Papa titipin ke salah satu murid. Udah sampai belum?" tanya Septian, menyela ucapan Moa.

Moa melirik Galaksi yang masih berdiri di depannya. Diam-diam Galaksi sedari tadi menatap Moa, tatapannya seperti ia ingin mencium gadis itu. Entahlah, yang pasti sekarang Galaksi sangat merindukan Moa.

"Kenapa Papa titipin ke dia sih?" Protes Moa. "Papa kan bisa kirim lewat kurir atau ke siapa kek, yang penting bukan ke dia."

"Tadi kebetulan Galaksi lewat di depan papa, jadi papa panggil. Bukannya dia itu yang dulu sering main ke rumah ya? Dia pacar kamu kan?"

Moa berdecak. Ya, itu memang benar. Papa dan Mama Moa bahkan sudah mengenal Galaksi, cowok itu dulu sering menyambangi Moa, membelikan ini-itu dan berpamitan jika akan mengajak Moa pergi.

"Ish! Papa nyebelin banget sih!"

"Lho, kok kamu marah? Memangnya papa salah?"

"Dia udah bukan pacar Moa lagi."

"Bohong om!" Teriak Galaksi.

Moa menatap Galaksi tajam. "Gue robek mulut lo ya!"

Galaksi terkekeh.

"Yaudah itu makanannya jangan lupa di makan. Papa belikan dua, satu buat kamu, satu lagi buat Galaksi."

"Tapi Pa—"

Tut... Tut... Tut...

Panggilan diakhiri oleh Septian.

"Kan, bener, gue nggak bohong!" Seru Galaksi.

Cowok itu mendorong Moa lalu main nylonong masuk dan duduk di sofa ruang tamu. Ia meletakkan kresek kemudian mengeluarkan makanan tersebut dan menyusunnya di atas meja.

"Ayo, sini, duduk di samping gue." Ujar Galaksi.

———

"Cakra!" Panggil Maratungga.

"CAKRA!" Teriaknya lagi, semakin keras. "Cakra lo budeg apa gimana sih?!"

"Iya, Bang." Cakrawala melepas cucian bajunya.

Tangannya yang keriput dan penuh dengan bekas luka itu ia siram dengan air bersih. Ia kemudian berjalan tertatih menghampiri Maratungga yang berada di ruang tamu.

"Sebentar Bang," ucapnya lembut.

"CAKRAWALA PINCANG!"

"Iya, Bang." Cakrawala merambat ke dinding.

Kaki kirinya yang patah membuat ia kesulitan untuk berjalan. Ia juga sama sekali tidak memiliki penyangga ataupun tongkat. Beberapa kali Cakrawala merintih merasakan sakit.

"Ak-akh..."

"PINCANG!"

"Iya, sebentar."

"Buruan njing! Jalan gitu aja lama banget!"

"Bang Mara butu—"

"Cat air gue habis, buruan beliin!" potong Maratungga.

"Tapi ini udah malam," ujar Cakrawala. "Besok aja ya, Bang? Cucian Cakra juga belum selesai." Tawar Cakrawala, kakinya saat ini juga masih sangat sakit.

Satu minggu di rumah, nyatanya tidak membuat Cakrawala semakin pulih. Setiap malam, ia sering tidak bisa tidur karena merasakan sakit luar biasa di tubuhnya.

"Nggak ada besok-besokan, sekarang!" Putus Maratungga.

Cakrawala akhirnya hanya bisa pasrah dan menerima permintaan Maratungga.

"Sebentar," ucapnya pada Cakrawala.

Maratungga beranjak dari duduknya kemudian ia berjalan menuju gudang.

Uhuk!

Debu dari ruang gudang yang hampir tidak pernah dibersihkan itu menggelitik hidung Maratungga dan membuatnya terbatuk.

Cakrawala menunggu Maratungga di ruang tamu dengan sabar. Ia melihat lukisan Maratungga yang belum selesai karena kehabisan cat. Cakrawala melihat lukisan dua anak laki-laki yang sedang bermain bersama di bawah pohon beringin. Kedua anak laki-laki tersebut kelihatan sangat gembira, namun, salah seorang dari anak itu kakinya diperban dan ia kesulitan untuk berjalan.

"Anak ini kaki kirinya patah, sama seperti kakiku." Cakrawala menunjuk lukisan seorang anak kecil berbaju merah.

"Apa anak laki-laki yang satunya ini Bang Mara ya?" tanya Cakrawala pada dirinya sendiri.

Cakrawala tersenyum sambil mengamati hasil karya lukis dari Maratungga.

Setelah menghidupkan lampu, Maratungga melangkah masuk ke dalam gudang yang penuh dengan barang-barang lusuh itu. Maratungga mengambil sebuah tongkat kayu yang menyender di sudut ruangan. Tongkat itu dari bambu, seingatnya, itu adalah tongkat pramuka jaman SMA-nya dulu.

Maratungga mengambil tongkat bambu tersebut kemudian segera keluar dari ruangan. Ia lantas masuk kembali ke dalam rumah.

Brak!

Maratungga melempar tongkat tersebut di depan Cakrawala hingga membuat adiknya yang sedang mengamati lukisan, tersentak kaget.

Cakrawala mendongak menatap Maratungga yang bediri munjulang di depannya.

"Pake tongkatnya," ujar Maratungga.

Cakrawala tersenyum. Ia kemudian meraih tongkat tersebut.

"Buruan beliin cat air!"

Cakrawala mengangguk. Dibantu dengan tongkat lusuh pemberian Maratungga itu, Cakrawala berdiri.

"Jangan pulang sebelum lo dapet cat air!" Ujar Maratungga penuh penekanan.

Dengan langkah pelan dan berat Cakrawala keluar dari rumah.

Brak!

Cakrawala menoleh dan mendapati pintu rumah telah ditutup secara kasar oleh Maratungga.

Ini sudah hampir jam sepuluh malam, Cakrawala bingung harus mencari cat air kemana dalam kondisinya yang seperti ini. Toko milik Pak Mamat yang biasanya ia kunjungi pasti sekarang juga sudah tutup karena jam bukanya hanya sampai pukul tujuh malam. Padahal itu adalah satu-satunya toko yang paling dekat.

Dengan kaki kiri masih dibalut perban dan tongkat bambu lusuh, Cakrawala terus berjalan. Beberapa orang yang melintas menatapnya dengan tatapan aneh dan tidak bersahabat.

"Orang pincang mau ke mana?" tanya seorang remaja laki-laki bersurai hitam.

Cakrawala hanya diam. Meskipun berat, ia terus mengambil melangkah.

"Heh! Kenapa kabur?"

Remaja tersebut menghadang Cakrawala. Ia berdiri tepat di depan Cakrawala, tidak membiarkan Cakrawala pergi.

"Maaf, aku harus pergi. Tolong biarkan aku pergi."

Remaja tersebut tertawa melihat guratan gelisah di wajah Cakrawala.

"Lo mau ke mana? Ha?"

Cakrawala menggeleng.

"Ditanya nggak jawab, punya mulut nggak?! Ha?!

Brak!

Remaja itu mendorong Cakrawala dengan keras hingga membuat Cakrawala jatuh tersungkur.

"Akgh..." Cakrawala merintih memegangi kaki kirinya yang langsung terasa sakit luar biasa.

Dugkh!

Remaja itu menendang kaki kiri Cakrawala.

"AKGH!"

"Pincang aja belagu!"

Remaja tersebut kemudian pergi meninggalkan Cakrawala dengan kedua tangan masuk ke dalam celana jeans.

Kedua mata Cakrawala berair merasakan perih dan sakit luar biasa pada kaki kirinya yang baru saja ditendang oleh remaja tersebut.

Tin tin tin tin

Sebuah motor berkali-kali mengklaksoni Cakrawala.

"Minggir!" Seru seseorang diatas motornya.

Demi Tuhan, jalanan masih luas, ia bisa membelokan stangnya sedikit kemudian melintas tanpa harus mengganggu Cakrawala.

"Heh! Pincang! Cepetan minggir!"

Cakrawala meraih tongkat lusunya, kemudian berusaha berdiri meskipun diserang rasa sakit luar biasa.

"Lo kira ini jalan punya nenek lo? Ha? Main duduk ditengah jalan, mau gue bikin buntung juga kaki lo?"

Orang itu terus mengomel.

Cakrawala menunduk. "Maaf, Pak. Maaf," ujarnya meskipun ia tidak salah.

——


Moa membuka pintu kulkas. Beberapa detik ia mengamati isi kulkas dan tidak menemukan susu pisang kesukaannya.

"Nyari apa?" tanya Septian.

"Susu pisang."

"Udah habis, barusan Papa buang bungkusnya."

Moa menghela napas berat. "Ish! Kenapa Papa minum sih?"

"Sisa satu, Papa pikir kamu udah bosen. Makanya Papa minum."

Moa cemberut.

"Besok Papa belikan lagi," ujarnya.

Septian kembali fokus menonton tv yang menayangkan pertandingan sepak bola tim kesayangannya.

"Pantesan kamu suka, susunya rasanya enak banget."

Meskipun usia Septian sudah menginjak kepala empat, tetapi jiwa Septian masih seperti anak muda.

Moa naik ke lantai dua, meninggalkan Septian yang masih duduk di sofa. Ia mengambil jaket warna merah yang tergantung di belakang pintu kamar, kemudian ia menuruni anak tangga.

Mendengar suara telapak kaki yang membentur lantai tangga, Septian menoleh.

"Kamu mau ke mana? Kok rapi amat."

"Moa mau keluar bentar Pa, cari jajan sama sekalian beli susu pisang yang barusan Papa habisin." Jawab Moa dengan sedikit sindiran di akhir kalimat.

"Bawa mobil Papa, kuncinya ada di..." Septian mencoba mengingat-ingat. "Dimana ya? Papa kok agak lupa."

"Nggak usah Pa. Moa mau naik bis aja."

"Eh, jangan. Kamu cewek malem-malem naik bis, rawan kejahatan."

"Pa jangan lebay deh!"

Moa melangkah keluar rumah.

"Nanti kalo ada apa-apa langsung telpon Papa ya!" Seru Septian.

Moa mendadak berhenti. Dadanya terasa sesak. Ucapan Septian barusan membuat ia kembali teringat akan Cakrawala.

'Nanti kalo ada apa-apa, kamu langsung telpon aku ya.'

Cowok dengan senyuman semanis gula itu biasanya selalu berkata begitu kepada Moa.

Moa mengambil napas panjang, ia kemudian berjalan menuju halte yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Gadis itu menunggu dengan kedua tangan ia masukan ke dalam kantung jaket. Selama hampir lima menit menunggu, akhirnya sebuah bis berwarna kuning mulai terlihat mendekati halte.

"Busnya warnanya kuning, warna kesukaan Cakrawala." Moa tersenyum pedih.

Moa melangkah masuk ke dalam bus. Ia duduk di kursi belakang, paling pojok dekat jendela.

Bus yang ditumpangi Moa kembali melaju. Jendela bus ia biarkan sedikit terbuka sehingga ia bisa merasakan hembusan angin menerbangkan helaian rambutnya.

Moa memandang keluar jendala, mengamati orang-orang yang berjalan di jalanan. Lalu lintas malam ini tidak begitu ramai.

Selama beberapa menit duduk di dalam bus, akhirnya Moa sampai di supermarket. Usai membayar dengan uang pecahan dua puluh ribuan, Moa turun dari bus.

Di dalam supermarket Moa memilih beberapa barang yang akan dibelinya, kemudian memasukan barang tersebut ke dalam keranjang belanjaan warna merah. Gadis itu membeli banyak susu dan camilan hingga muat dalam dua kantong  kresek besar.

Moa masih belum puas berbelanja. Alih-alih langsung pulang, gadis itu justru mampir untuk membeli kebab yang dijual di depan supermarket.

"Pak, saya mohon, biarkan saya masuk."

Seorang remaja laki-laki dengan kaki kiri diperban sedang memohon kepada satpam penjaga supermarket.

"Sudah saya bilang, kamu itu nggak boleh masuk!"

Cakrawala mengatupkan kedua telapak tangannya. "Saya mohon Pak, biarkan saya masuk."

"Kamu buta?! Ha? Kamu nggak bisa liat tulisan ini!" Satpam itu menunjuk-nunjuk sebuah tulisan besar yang tertempel di dinding.

'GEMBEL DILARANG MASUK!'

Cakrawala terlihat sangat kumal dengan pakaian kotor sana-sini. Tadi beberapa kali ia terjatuh di jalan karena kesulitan berjalan sehingga membuat pakaiannya kotor.

Tubuh Cakrawala juga penuh bekas luka, perban di kaki kirinya yang berwarna putih pun sudah menguning. Ditambah lagi ia membawa tongkat yang seperti sampah rongsokan. Penampilan Cakrawala benar-benar seperti gembel.

"Orang gembel kayak kamu itu kalo masuk ke supermarket bisanya cuma ngotorin pemandangan. Kamu pasti juga mau nyuri kan?!" Tuduh satpam itu.

Cakrawala menggeleng kukuh. "Enggak, Pak. Saya cuma mau beli cat air buat abang saya Pak."

"Mending kamu pulang saja sana, pulang."

Cakrawala lagi-lagi menggeleng kukuh. Ia tidak mau pulang. Ia sudah jauh-jauh ke sini, menghabiskan beberapa lembar uangnya untuk membayar bus, tidak mungkin ia pulang begitu saja tanpa membelikan barang yang Maratungga minta.

"Saya..., saya bawa uang kok, Pak. Saya cuma mau beli cat air buat abang saya, Pak. Saya bawa uang Pak... Ini saya bawa uang." Cakrawala menunjukan lembaran uang receh serta beberapa keping koin miliknya.

Moa yang duduk sambil menunggu pesanan kebabnya jadi, menoleh ke pusat keributan. Suara itu tidak asing ditelinga Moa. Itu seperti suara....

Cakrawala berusaha menerobos masuk.

"Kamu itu ngeyelan banget. Udah saya bilang pulang ya pulang!"

Bruk!

Satpam berseragam putih hitam itu mendorong Cakrawala hingga membuat Cakrawala jatuh tersungkur.

Brak!

Ia juga menendang tongkat Cakrawala hingga menggelinding jauh.

"Akh...!" Cakrawala memegangi kaki kirinya yang terasa sangat sakit.

Uang yang berada di genggaman Cakrawala pun seketika berserakan di tanah. Uang koinnya juga menggelinding entah ke arah mana.

"Cakra..."

Cakrawala mendongak. Kedua netranya bertatapan dengan Moa.

"Cakra... Kamu..." Air mata Moa menetes.

Cakrawala langsung menundukkan kepala, ia menyembunyikan diri dari Moa.

"Kalo udah saya bilang pergi ya pergi!" Lagi-lagi satpam itu mengomeli Cakrawala.

Moa mengalihkan pandangan dari Cakrawala dan menatap satpam itu dengan super tajam.

"Bapak bisa diam tidak? Saya bisa viralin kelakuan bapak ini lho." Ancam Moa.

Satpam itu terlihat sangat tidak suka. Ia lantas pergi.

Cakrawala yang masih terduduk, memunguti semua uangnya yang berjatuhan di tanah.

Moa tidak bisa menahan tangis ketika melihat kondisi Cakrawala. Banyak bekas luka di tangan dan wajah cowok itu. Ada luka goresan panjang di rahang kanan Cakrawala, luka itu membentuk sebuah garis dari mulut sampai hampir menyentuh telinga. Panjang, terlihat sangat mengerikan.

Kaki kiri Cakrawala yang patah juga terlihat seperti tidak dirawat dan diobati secara asal-asalan. Moa bahkan tidak bisa menyebut itu sebagai perawatan. Kaki kiri Cakrawala dibalut perban dengan disisipi kayu yang diikat secara sembarangan.

Rambut mullet Cakrawala juga telah lenyap digantikan dengan kebotakan. Entah siapa yang memotong rambut Cakrawala, yang pasti potongannya jelek! Sangat jelek.

Moa terisak semakin keras. Ia bahkan tidak perduli dengan orang-orang yang menatapnya aneh.

Moa berjongkok, kemudian memeluk Cakrawala dengan sangat erat.

"Akh!" Cakrawala merintih ketika mendapat pelukan erat dari Moa.

Luka-lukanya yang belum pulih disentuh oleh Moa. Rasanya sakit.

Sebenarnya dua hari lalu, Tigu pulang, dan seperti biasa, ia kembali memukul Cakrawala, kali ini ia memukul karena Cakrawala memasak makanan yang menurutnya terlalu asin.

Tigu yang waktu itu marah, ia membenturkan kepala Cakrawala ke ujung meja makan hingga membuat kening Cakrawala berdarah. Tidak sampai disitu, ia juga mengiris pipi Cakrawala dengan pisau hingga menimbulkan bekas goresan yang panjang.

Maratungga yang waktu itu juga berada di ruang makan, ia hanya diam menyaksikan. Ini bukan kali pertama Maratungga melihat Cakrawala diperlakukan seperti itu oleh Tigu.

"Cakra... Kamu ke mana aja?"

Cakrawala diam. "Aku nggak pergi kemana-mana Moa."

"Aku nyariin kamu kemana-mana..."

"Aku tahu."

"Aku setiap pulang sekolah selalu mampir ke rumah kamu..."

"Aku juga tahu."

"Tapi nggak ada yang bukain pintu. Kamu nggak ada... hiks!"

"Aku ada, Moa. Aku ada di dalam. Aku dengar suara kamu. Tapi aku nggak bisa ngapa-ngapain."

Cakrawala diam-diam menjatuhkan air matanya. Ia sama sekali tidak membalas ucapan ataupun pelukan Moa, meskipun ia ingin.

"Kamu pergi saja!"

Cakrawala mendorong Moa hingga membuat gadis itu melepaskan pelukannya. Cakrawala lantas mengantungi uangnya, ia kemudian merangkak mengambil tongkat lusuhnya yang tadi ditendang oleh satpam supermarket.

Moa dengan sigap berjalan dan mengambilkan tongkat itu untuk Cakrawala. Ia sama sekali tidak tega melihat Cakrawala merangkak seperti itu.

"Cakrawala... Aku—"

"PERGI!" Sentak Cakrawala, memotong ucapan Moa. Ia merampas tongkat yang digenggam Moa dengan kasar.

"Aku nggak mau dikasihani!" Sentak Cakrawala.

Tidak pernah Moa mendengar seorang Cakrawala Agnibrata berkata begitu keras. Untuk yang pertama kalinya, remaja laki-laki dengan senyum semanis gula itu membentak seseorang.

Air mata Moa jatuh semakin deras. Sesak. Ia merasa sesak.

"Jangan bentak aku. Nanti aku sedih... hiks!" Moa menangis terisak.

Cakrawala menatap Moa dan mendapati gadis itu menangis semakin deras hingga sesenggukan.

Maaf kalau aku terlalu egois.
Aku mencintaimu Moa.
Tapi disatu sisi aku takut.

Jika aku mencintaimu, maka aku juga  harus bisa membahagiakanmu. Aku saja belum bisa membahagiakan diriku sendiri, lalu bagaimana bisa aku akan membahagiakanmu?


Air mata Cakrawala menetes. Ingin rasanya ia memeluk gadis itu dan mengatakan jika ia juga sangat merindukannya. Namun, ini terlalu sulit. Ia merasa tidak sepantasnya Moa mendapatkan laki-laki seperti dirinya.

Cakrawala menyeka air matanya, ia kemudian berjalan tertatih meninggalkan Moa tanpa mengucap satu patah katapun.

"Cakra... Aku rindu kamu."

"Cakra... Ayo ngomong sesuatu, jangan diem aja."

Moa merengek. Ia terus mengikuti Cakrawala, mengekor di belakang remaja laki-laki itu. Moa bahkan tidak perduli dengan pandangan orang-orang sekitar. Sementara Cakrawala, cowok yang penampilannya seperti gembel itu diam membisu.

———

Next or no?


Continue Reading

You'll Also Like

174K 9.1K 42
Terjebak antara cinta segitiga di mana Ara harus merelakan salahsatunya pergi. Namun bukan salah satu tapi mereka berdua pergi begitu saja meninggalk...
4.3K 458 82
Orang yang menyembunyikan tentang banyak hal dengan senyumannya, entah itu rasa sedih, trumatis atau bahkan depresi. Mereka berusaha merasa baik - ba...
329 115 8
Langkahmu sudah terlalu jauh dari bahagia. Hidup namun seperti mati. Bernapas tapi sering sesak. Alasan bahagia yang sederhana pun sudah terenggut. ...
2.4M 214K 52
TERSEDIA DI GRAMEDIA📍 "Aku terlalu lelah untuk terus berkelana di bawah hujan." Legenda Negeri Angkasa. Sosok laki-laki yang rasa sabarnya tidak per...