SEMPURNA [END]

Oleh callmenaliya

569K 44.5K 642

Rahayu Audya. Seorang editor majalah wanita. Menyukai puisi dan membaca novel dan segala hal yang puitis. Tap... Lebih Banyak

Prolog
Bab 1 : Berawal dari sini
Bab 2 : Takdir?
Bab 3 : Masuk ke Dalam Fantasi
Bab 4 : Pria yang Sama?
Bab 5 : Satu Langkah Lebih Dekat
Bab 6 : Begitu Sama Tapi Terasa Berbeda
Bab 7 : Jauhi atau Dekati?
Bab 8 : Garis Batas
Bab 9 : Masalah Baru
Bab 10 : Melewati Batas
Bab 11 : Bintang Tersesat
Bab 12 : Saatnya Jujur
Bab 13 : Selesaikan
Bab 14 : Sesuatu Yang Baru
Bab 15 : Pengakuan
Bab 16 : Perubahan Kecil
Bab 17 : Sulit Dijelaskan
Bab 18 : Sulit Dikatakan
Bab 19 : Ketika Semua Terungkap
Bab 20 : Sesuatu Yang Seharusnya Tidak Terjadi
Bab 21 : Bunga Tidur
Bab 22 : Merindukanmu
Bab 23 : Pangeran Tercinta dan Belahan Jiwaku
Epilogue
Note from Author
Bonus : Triple Sweet Date 2
From Author : Hi! Bye!

Bonus : Triple Sweet Date

10.3K 844 0
Oleh callmenaliya

Beberapa hari setelah Cici dan Koko kembali dari Bali, Cici mengajakku untuk ketemu. Tapi, bukan hanya kita berdua saja. Cici mengusulkan untuk triple date.

Loh, kok triple?

Cici juga memintaku untuk mengajak Karina dan Dennis. Kata Cici, dia mau memberikan kado untuk calon bayi mereka. Tadinya aku khawatir Karina tidak bisa ikut, karena sudah beberapa hari ini dia cuti kerja dengan alasan kesehatannya menurun. Tapi syukurlah, kondisi Karina sudah membaik saat aku meneleponnya. Dan dengan senang hati dia bersedia ikut rencana triple date ini!

Akhirnya hari minggu tiba. Kita janji bertemu di food court. Yang memilih tempatnya adalah Cici. Katanya, karena takutnya selera setiap orang beda-beda, jadi menurutnya lebih aman pergi makan bersama di food court.

Tapi menurutku, sebagai orang yang sudah mengenal Cici sangat lama. Itu hanya alasan saja. Tujuan utama kenapa Cici memilih food court sebagai tempat makan siang kita, biar dia bisa makan berbagai macam makanan. Cici kan tukang makan!

Cici dan Koko sudah sampai lebih dulu, saat aku dan Nico tiba. Sementara Karina dan Dennis masih dalam perjalanan.

Tempat food court ini menyediakan berbagai macam jenis makanan dan minuman. Dari makanan barat, timur, sampai lokal. Cici pasti bakal kalap mata dan mulut nih!

"Sambil nunggu, apa kita pesan minum dulu aja ya? Haus nih." ujar Cici.

"Haus atau mulai lapar?" ledekku.

"Yaa... sambil cari-cari minuman yang seger, sekalian juga lihat-lihat ada makanan apa aja di sini." seperti yang aku bilang sebelumnya, ini hanya alasan Cici saja.

"Ya udah, kalau gitu biar aku sama Nico yang pesanin minumannya." kata Koko.

"Udah, enggak apa-apa. Biar aku sama Cici aja yang pesan minumannya." ucapku.

"Iya, biar kita berdua aja yang pergi. Kalau cowok-cowok yang pergi, palingan kalian celingak-celinguk kebingungan mau pesan apa. Akhir-akhirnya kita juga, cewek-cewek yang turun tangan." tambah Cici.

Sebenarnya aku setuju dengan ucapan Cici ini. Karena kalau di tempat makan yang belum pernah Nico datangi, biasanya dia selalu terserah aku.

"Kamu mau minum apa?" tanyaku kepada Nico.

"Aku sama kayak yang mau kamu pesan aja." jawab Nico.

"Kalau kamu?" Cici bertanya pada Koko.

"Aku juga sama aja."

"Tuh kan! Ya udah, kalian tunggu di sini aja. Paling sebentar lagi Karina sama Dennis sampai. Kamu tahu mukanya Karina sama Dennis kan, Ko?" ujar Cici.

"Enggak." Koko menggeleng dengan pasti, "Emang aku pernah ketemu sama mereka sebelumnya ya?" Koko malah balik bertanya.

"Kan aku pernah kasih lihat foto mereka sama kamu." Cici mengingatkan.

"Ooh... gitu ya. Aku udah lupa tuh."

"Haaahh..." Cici menghela nafas karena kesal.

"Aku tahu kok. Aku kan udah kenal Dennis." kata Nico.

"Oh iya ya. Untung deh." Cici merasa lega, "Kalau gitu kita pergi dulu ya. Eh, apa enggak sekalian kita pesan buat Karina sama Dennis juga, Dy?"

"Iya, udah aku tanya ke Karina. Dia bilang, mau smoothies. Tapi jangan dingin." selama Cici mengobrol dengan Koko, aku mengirim chat dengan Karina.

"Oke. Kalau Dennis?" Cici bertanya lagi.

"Sama. Katanya." aku menyampaikan pesan dari Karina.

"Hahh... cowok-cowok sama aja. Ya udah, yuk!"

Aku dan Cici pun pergi memesan minuman yang kita inginkan.

▪▪▪


Di saat minuman yang kita pesan sampai, Karina dan Dennis juga tiba.

Sebenarnya hari ini pertama kalinya kita semua berkumpul seperti ini. Pertama kali dan terakhir kalinya Cici bertemu dengan Karina saat pernikahan Karina dan Dennis. Setelah itu mereka berdua saling tahu kabar mereka masing-masing lewat cerita dari aku. Koko bertemu dengan Nico di pernikahan dia dan Cici. Untuk Dennis. Aku rasa Cici hanya menceritakan ke Koko, kalau Dennis itu teman sekolahnya, dan suami teman kerja aku. Dennis sudah mengenal Nico. Karina pernah ketemu Nico di kantor. Kalau Koko, Karina hanya tahu dia itu suaminya temanku.

Kalau diperhatikan, bisa dibilang kalau aku yang menjadi penghubung bagaimana mereka semua bisa saling kenal.

"Aku senang lihat kamu udah kelihatan segar lagi." ucapku setelah melihat wajah Karina yang segar dan ceria.

"Iya. Kemarin-kemarin tuh benar-benar terasa berat banget. Untungnya, setelah aku rajin minum vitamin dan jaga makanan, kondisi aku berangsur membaik." Karina menceritakan kondisinya.

"Udah masuk usia berapa kandungannya?" Cici ikut penasaran.

"Mau masuk 7 bulan." jawab Karina.

"Wah... enggak terasa ya udah mau 7 bulan." aku terkagum.

"Kalau gitu udah ketahuan jenis kelaminnya apa?" Cici lanjut bertanya.

"Udah sih. Tapi aku sama Dennis memilih untuk jadiin itu kejutan sampai bayi kita lahir."

"Jadi selain dokter, enggak ada yang tahu jenis kelamin bayi kalian." kataku.

"Iya. Tapi keluarga kita mulai tebak-tebakan gitu. Ada yang nebak dari bentuk perut akulah, dari perubahan mood atau penampilan akulah. Pokoknya pada ribut sendiri gitu." cerita Karina.

"Kalau enggak salah, ini cucu pertama orang tua kamu ya, Rin?" tanyaku.

"Iya. Makanya mamah sama papahku kekalapan beli hadiah buat cucu mereka ini. Dari baju sampai mainan, hampir semua udah dibeli. Padahal menurut aku, kalau mainan lebih baik belinya nanti kalau anak kita udah umur setahun. Biar dia pilih sendiri mau mainan apa. Tapi yaa... mau gimana lagi. Aku enggak bisa berhentiin rasa antusias mereka menyambut cucu pertama mereka kan."

Aku dan Cici mengangguk-angguk sambil tersenyum. Meskipun kita berdua masih belum tahu apa yang Karina rasakan, tapi kita bisa memaklumi perasaan antusiasnya orang tua Karina.

"Eh, tapi, kalau orang tua kamu aja enggak tahu jenis kelamin bayinya apa. Mereka beli mainan apa?" ujar Cici.

"Apa aja. Mungkin hampir semua jenis mainan udah mereka beli. Dari boneka, bola, mobil-mobilan, alat masak-masakan, rumah-rumahan sampai lego. Dan kebanyakan mainannya itu untuk anak tiga tahun ke atas. Pokoknya ada-ada aja deh, kelakuan calon kakek dan nenek kita itu." kita semua tertawa mendengar cerita Karina.

"Enggak apa-apalah. Asal mereka bahagia kan." ucapku.

"Iya sih." Karina juga setuju.

"Oya, kadonya ada di mobil. Soalnya kalau aku bawa ke sini takutnya repot harus bawa itu ke mana-mana. Kita kan masih mau jalan-jalan di Mall." kata Cici.

"Oh, iya, enggak apa-apa. Makasih ya. Padahal kita jarang ketemu tapi kamu mau repot-repot beliin kado." sepertinya Karina merasa tersentuh tetapi juga merasa tidak enak kepada Cici.

"Ah.. enggak ngerepotin kok. Walaupun kita memang jarang ketemu, tapi kita kan enggak asing satu sama lain. Kamu temannya Audy dan juga istrinya Dennis. Dan juga, setiap kali aku dengar apa yang kamu alami dari Audy, sebagai sesama wanita tentu aku merasa iba sama kamu. Apa lagi orang yang bikin kamu menderita itu, orang yang aku kenal." Cici langsung melirik tajam ke arah Dennis. Dennis tentu saja bisa merasakan makian tanpa kata yang Cici tujukan padanya.

"Ehem!" Dennis hanya bisa berdeham.

"Tapi untung aja orangnya udah sadar. Kalau enggak, kita enggak akan bisa triple date kayak sekarang." tambah Cici.

"Iya, aku senang banget bisa keluar jalan-jalan dan hang out bareng kayak gini. Soalnya bosan di rumah melulu. Semenjak cuti kerja, baru sekarang aku bisa keluar rumah. Orang tua aku sama Dennis enggak kasih izin aku buat pergi ke mana-mana. Terus, biar bisa pergi hari ini aja, aku harus periksa dokter dulu." Karina curhat tentang duka yang dia alami.

"Ya kan, kita harus pastiin dulu. Apa kondisi kamu udah aman buat jalan-jalan keluar. Kalau kamu sampai pingsan terus jatuh, gimana? Kan bahaya banget." akhirnya Dennis ikut bicara.

"Iyaaa... Aku tahu. Aku harus hati-hati. Demi bayi kita dan kesehatan aku juga. Tapi kadang, kamu terlalu lebay." balas Karina dengan cemberut.

"Memangnya lebay gimana?" tanyaku penasaran.

"Kalian tahu enggak, selama di rumah. Dennis tuh selalu ngikutin aku ke mana-mana. Mau aku cuman ke toilet sebentar pun dia ikut. Gimana enggak risih kan?" Karina seperti sedang mengadu kepadaku dan Cici.

"Tapi aku kan nunggu kamu di depan pintu kamar mandi. Enggak sampai ikut ke dalam. Lagian aku kan suami kamu, masa ngikutin kamu aja bikin kamu risih." Dennis membela diri.

"Tetap aja, bagi aku kamu lebay!" setelah merajuk ke Dennis, Karina kembali mengadu pada aku dan Cici, "Terus, kalau dia lagi enggak ada di rumah. Dennis minta pembantu kita buat ikutin aku ke mana pun aku pergi. Pokoknya ribet banget deh. Kan kasihan si bibi, pembantu kita itu, jadi enggak bisa ngapa-ngapain karena diharusin ada di sampingku terus-terusan."

Aku, Cici dan yang lain jadi tertawa mendengar cerita calon orang tua baru ini.

"Hahaha... Benar-benar enggak nyangka aku. Dennis, si playboy, yang berjiwa bebas. Berubah jadi bucin kayak gini. Aku memang dengar cerita kalian dari Audy, dan juga tentang perubahan Dennis. Tapi baru sekarang, aku dengar ceritanya secara langsung dari kalian berdua. Dan aku masih enggak percaya sama yang aku dengar." Cici tertawa dengan lepas. Tapi mungkin lebih tepatnya, dia sedang mentertawai perubahan drastis Dennis itu.

"Puas bener ketawanya. Tapi aku jadi penasaran. Memang Dennis dulu sebrengsek apa? Sampai kayaknya kamu enggak percaya dia bisa berubah." tanya Koko yang ikut penasaran.

Tapi karena pertanyaan Koko yang terlalu jujur itu. Dennis jadi melihat Koko dengan ekspresi jengkel.

"Maaf, maaf. Maksudnya... Aku cuman penasaran aja." Koko coba menjelaskan kalau dia tidak ada maksud menghina Dennis.

"Ya gitu deh. Tipikal bad boy. Kayaknya Audy yang lebih tahu gimana Dennis waktu itu." ucap Cici, yang membuatku jadi pusat perhatian yang lain.

Sebelum bicara, aku bisa melihat raut wajah Dennis yang mulai terlihat panik. Mungkin dia takut aku membongkar aibnya.

"Udahlah. Enggak usah bahas masa lalu lagi. Enggak penting." bukannya aku mau melindungi Dennis. Tapi aku memang sudah tidak mau membahasnya lagi.

"Ehem!" kali ini Nico yang berdeham. Entah apa maksud dari dehamnya itu.

"Iya, benar. Kita enggak usah bahas masa lalu lagi. Dari ngomongin kado, kenapa jadi bahas masa lalu." Karina juga berpikir hal yang sama, "Oya, Dy. Makasih ya buat kadonya. Kemarin paketnya udah aku terima."

"Sama-sama. Moga kadonya bermanfaat ya."

"Emang kamu kasih kado apa?" Cici ingin tahu.

"Pompa asi. Pertamanya aku juga bingung mau kasih kado apa. Apa lagi Karina cerita tentang orang tuanya yang udah beli segala macam kado. Terus setelah kita ngobrol-ngobrol ternyata Karina perlu pompa asi." jelasku

"Iya, soalnya kebanyakan kado yang udah dibeli itu buat bayi kita. Dan waktu aku lihat-lihat perlengkapan bayi, ternyata aku juga perlu pompa asi. Apa lagi kalau nanti aku kembali kerja, aku kan perlu stok asi buat bayi kita selama aku tinggal kerja. Sekali lagi makasih ya, Dy. Tapi aku jadi ngerasa enggak enak nih. Soalnya aku lihat harganya di online shop, ternyata lumayan juga ya."

"Ah... iya sih. Tapi apalah artinya harga. Yang penting bisa bermanfaat buat kamu. Terus juga..." aku mendekatkan diri ke Karina lalu berbisik, "Aku belinya patungan sama ibu. Jadi kamu enggak usah merasa enggak enak."

Karina tersenyum.

"Hmm... kalau tahu gitu. Mungkin harusnya aku beli kado yang lain juga ya." gumam Cici.

"Emang kamu beli kado apa?" tanyaku.

"Satu set baju. Udah sama celemek, topi, sarung tangan sama kaki." jawab Cici. "Kalau gitu, sebelum beli harusnya aku tanya ke Audy dulu."

"Enggak apa-apa. Kalau baju, pasti bakal kepakai kok. Makasih ya, Ci." ucap Karina.

"Sama-sama. Oya, karena aku enggak tahu jenis kelaminnya apa, jadi aku beli yang coraknya polkadot warna-warni gitu. Biar bisa dipakai sama cewek atau cowok." ujar Cici.

"Sip! Makasih!" Karina memberi jempol pada Cici.

"Thank you, Ci." kata Dennis.

"Same-same." balas Cici.

"Kayaknya cuman aku yang belum kasih kado. Kira-kira apa lagi yang belum kalian beli? Biar aku yang beliin." Nico akhirnya ikut bersuara.

"Enggak usah, Nik. Biar nanti aja kalau anak kita udah umur setahun. Nanti om Nico beliin mobil remote control atau rumah barbie yang gedeeee... buat kado ulang tahunnya ya!." pinta Dennis yang sedang menjahili Nico.

Kita semua mentertawakan reaksi Nico yang berubah masam.

"Oke deh." balas Nico dengan masih cemberut.

"Ternyata cari-cari kado buat bayi seru juga ya. Aku sampai berjam-jam lihat-lihat baju bayi di Mall. Soalnya banyak banget yang lucu-lucu! Padahal dulu, waktu aku beli kado buat keponakanku yang baru lahir, aku agak malas gitu. Tapi mungkin karena umur juga kali ya. Ngelihat bayi-bayi sekarang kayaknya lucu-lucu dan gemes banget!" ujar Cici sambil senyum-senyum.

"Wah... kayaknya udah ada yang siap jadi ibu muda nih." sindirku sambil tersenyum kepada Cici dan juga Koko.

Cici dan Koko saling memandang lalu tersenyum.

"Aku tahu gimana dongkolnya ditanyain ini. Tapi... apa kalian berdua udah ada rencana punya anak?" Karina bertanya dengan hati-hati kepada Cici.

"Mmm... kita berdua sih udah sepakat, enggak bakal nunda. Tapi juga enggak mau diburu-buru. Ada yang kasih saran ke kita untuk pacaran dulu, habisin waktu berdua. Ada juga yang bilang, jangan nunda punya anak, karena kelamaan cuman berdua aja juga enggak baik. Yaa... kalau kita sih. Lebih cepat punya anak juga enggak masalah. Lagian kita berdua udah lama pacaran ini." jawab Cici.

"Iya. Menurut aku, kamu jangan terlalu mikirin omongan orang-orang. Karena kalau punya anak dalam tekanan juga enggak baik untuk kesehatan kamu dan calon bayi kalian nanti." ucapku.

"Hmm... Kayaknya udah ada yang siap untuk berkeluarga nih." Cici malah balik menyindirku.

"Jadi, kapan giliran kalian berdua mau..." Karina menggantung perkataannya. Dan hanya melihatku dengan senyuman.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

93.9K 6.5K 35
Berisi keseharian gadis bernama KRISTAL LIANA QUEEN DE ALBERT bersama keluarganya. menjadi permata dari keluarga mafia terkuat membuatnya harus selal...
51.1K 5.5K 27
Berada dalam kondisi kepepet karena rencana perjodohan oleh Bapaknya dengan pria berkumis yang sangat jauh dari tipenya, Adinda Sudibyo, seorang wani...
478K 43.9K 39
Sejak mengenal dunia kedokteran, Sabina Ayudya menjalani hidupnya seperti rangkaian anamnesa dan pemeriksaan yang menghasilkan diagnosa yang tegak un...
1M 70.4K 36
Jadilah pembaca yang bijak! Kalo suka sama cerita ini, ngga usah di plagiat ya! Pernah berpikiran untuk di hamili oleh berandalan sekolah? Tanpa h...