Sexy Bae

By WiwinSetyobekti

36.6K 2.8K 429

Bersahabat dengan Kang Baekho sejak kecil, tak pernah terbersit sedikitpun di benakku bahwa aku akan mengangg... More

Kangmas
Ketika cinta datang terlambat
01. Going Home
02. Everything happens for reason
03. Still The Same Person
04. Partner Of Crime
05. Princess Warrior
06. Fight Me
07. Let Me
Mas Bae
08. Rival?
09. Kode
10. I was there
11. You are my compass
13. Rejected
14. Get into It
15. Let's get closer
16. Backstreet
17. It Hurts
18. Love is complicated
19. Lea and Me
20. Soulmate (End)

12. About you

639 89 27
By WiwinSetyobekti


"You're not the one who crossed the line, Zoya. But, I did."

Untuk kesekian kalinya, aku dibuat tercengang dengan kalimat yang meluncur dari mulut Bae.

"Faktanya, selama ini aku tak pernah benar-benar menjadi sahabat baikmu, karena aku menganggapmu lebih dari itu."

Kedua mata kami bertemu. Hening menyelimuti area kolam renang. Lagi-lagi jantungku berdebar. Sungguh, aku tak pernah segugup ini berhadapan dengan Bae. Kali ini aku seolah berhadapan dengan sosok berbeda. Jadi, selama ini dia menganggapku ... apa?

"Kamu sudah cantik sejak kecil. Kamu juga lucu, nyenengin. Ketika kamu tumbuh makin besar, kecantikanmu jadi berlipat. Begitupula dengan sikapmu, makin lucu, makin nggemesin. Dan aku gagal untuk nggak terpesona." Ia mengangkat bahu. Kedua mata itu berbinar manakala bercerita, tentang hal-hal yang kami lalui bersama. Sejak kapan ia begitu? Apakah kedua mata itu memang selalu seperti itu manakala berbicara denganku? Atau baru kali ini? Atau … aku yang selama ini tak menyadarinya?

"Aku suka ketika kamu jutek. Aku juga suka ketika kamu bertingkah konyol. Aku suka caramu ketawa, caramu bicara, caramu berdebat. Aku bahkan suka caramu menghentakkan kaki manakala kesal. Pokoknya, aku suka semua."

Seketika aku ingat tentang semua yang dikatakan Bae. Bagaimana aku bertingkah konyol di hadapannya. Bagaimana ketika aku berdebat dan bersikap ketus pada orang yang tak kusuka. Dan, bagaimana aku selalu menghentakkan kaki ketika sedang kesal. Aku bahkan seakan baru tersadar dengan kebiasaan itu.

"Sejak kapan kamu jatuh cinta padaku?" Akhirnya aku menanyakannya.

"Aku tak ingat kapan tepatnya. Yang jelas, sejak dulu."

"Kenapa kamu nggak pernah bilang?"

"I did. Aku sudah melakukannya. Aku memberimu banyak kode, tapi kamu nggak peka. Bahkan ketika aku terang-terangan menyatakan perasaanku padamu, kamu menolaknya. Karena kita sahabat baik, itu katamu."

Bae menggigit bibir, lalu kembali berkata, "All my tatoos are telling about you."

Kali ini aku ternganga.

Gimana-gimana?

“Semua tato yang ada di tubuhku bercerita tentang kamu.”

Tato-tato itu … tentang diriku?

Pria itu mengangguk. Seolah menjawab pertanyaan dalam hatiku.

“Ini ….” Bae menunjuk tato bintang bertuliskan ‘You get what you did’ di dada sebelah kanan. “Tato pertama, tanda bahwa waktu itu aku benar-benar sanggup melakukan apapun untukmu. Menerima pukulan, tusukan, demi dirimu. Saat itu, I felt like a hero. Aku seperti pahlawan sungguhan untukmu. Setelah kejadian itu, aku berharap bahwa kamu akan menyadari bahwa perhatianku ke kamu selama ini lebih dari sekadar teman masa kecil. Nyatanya, kamu tetap nggak peka.” 

Owh, aku kira tato itu untuk menutupi luka bekas tusukan.

“Lalu ini.” Kali ini ia menunjuk tato gambar macan di lengan. “Ketika kamu bilang ingin beli macan, aku mengabulkannya lewat tato.” Ia terkekeh. “Waktu itu aku merasa konyol, tapi setelah dipikir-pikir, tato ini keren. Lagipula, kamu yang bilang ingin punya macan, maka kulakukan.”

Tato itu untukku? Lalu kenapa ia menunjukkannya pada Sisca dengan senyum semringah? Kenapa tak ia tunjukkan padaku lebih dulu?

“Kamu mengabaikanku. Bahkan ketika aku mencoba menunjukkannya padamu.”

“Aku melakukannya?”

Ia mengangguk. “Kamu sibuk dengan cowok baru, setelah Pete. Entah siapa namanya. Yang punya dandanan rambut ala film mandarin dan senantiasa ke kampus dengan tas ransel warna cerah."

Aku mengernyitkan dahi. Apa ada cowok seperti itu yang kudekati? Kenapa aku tak ingat? 

“Aku nyaris menunjukkan segala cara untuk memberitahumu bahwa aku jatuh cinta padamu. Baik dengan perhatian maupun ungkapan. Nyatanya, semua itu tak mempan. Tato kompas itu kubuat karena akhirnya aku menyadari bahwa perasaan cinta sepihak ini sesat. Bahwa apa kurasakan padamu adalah sebuah kesalahan. Bahwa, yeah, kamu benar. Hubungan kita nggak lebih dari sahabat.” Ada nada putus asa dalam kalimat Bae. Ia mengangkat bahu, pasrah.

“Melupakanmu itu susah, Zoya. Apalagi ketika hampir setiap hari kita ketemu, dan kamu semakin … cantik."

“Lalu kamu buat tato itu.” Kali ini aku yang menunjuk tato di dada sebelah kiri. 'N’abandonnez pas, jangan menyerah.

“Untuk menyemangati diriku sendiri, agar aku mampu melupakanmu.”

“Lalu Sisca hadir dalam hidupmu dan kamu jatuh cinta padanya?”

Bae kembali menyugar rambutnya yang masih basah. “Apa yang bisa dilakukan pria yang berkali-kali cintanya ditolak selain mencoba untuk bisa move-on?” Ia tertawa sinis.

“Sisca yang kasihan. Anak rantau, yatim piatu, sering sakit-sakitan. Aku ingin melindunginya.” Ia berujar lirih. 
Aku menelan ludah, kembali mengingat mendiang Sisca. 
Perempuan kalem tak banyak tingkah, yang sedari kecil sudah ditinggal orang tua karena sebuah kecelakaan tragis. Aku tahu bahwa jantung Sisca memang bermasalah sejak dulu. Dan keadaan jantungnya memburuk setahun sebelum ia pergi untuk selamanya.

“Sisca perempuan yang baik. Ketika tahu hatiku hancur karena dirimu, ia menyambutku, menawarkan cerita baru. Bahkan ketika aku tak bisa menjanjikan cinta untuknya, ia tak keberatan. She needed me.”

Menceritakan tentang Sisca berikut kebaikan-kebaikannya, ada sebersit cemburu mengusik hati. 
Tak bisa dipungkiri, Sisca memang perempuan luar biasa.
Dan yang jelas, perempuan itu mampu membuat Bae menjadi sosok yang lebih baik. Aku ingat bahwa sejak mengenal Sisca, ia jarang pergi ke diskotik, jarang ikut pesta, jarang terlibat keributan dan baku hantam. Beda sekali ketika ia bersamaku. 

“Perempuan baik yang mampu menjadikanmu lebih baik,” ucapku getir. “Kamu aman bersamanya, Bae,” lanjutku. “Kamu nggak perlu terlibat keributan dan membahayakan nyawamu, kamu nggak perlu baku hantam, yeah, seperti ketika kamu bersamaku.”

Tiba-tiba saja aku ingin pulang.

“Aku nggak sanggup melanjutkan pembicaraan ini, Bae. Aku mau pulang.” Aku beranjak dan berniat mengambil tasku. Namun gerakan itu urung ketika Bae keburu menarik lenganku. Kaget, reflek aku menyentakkan tangannya. Tindakan ini justru membuat pria itu kembali mencengkeram tanganku lalu menarik diriku ke arahnya.

Ini terlalu dekat. Kedua tanganku bahkan menyentuh dadanya yang telanjang.

“Sebenarnya ada apa denganmu?!” Ia tampak emosi. “Kamu memintaku berbicara tentang masa lalu dan aku melakukannya. Dan sekarang tiba-tiba kamu ingin pulang, begitu saja. Sebenarnya maumu apa?!”

Tatapan kami beradu. Aku menelan ludah. Merasakan hembusan napas Bae di wajahku, tanganku di dadanya, dan lengannya di pinggangku, tiba-tiba saja ada sensasi aneh di diriku.

Ini bukan pertama kalinya kami berdekatan. Bukan pertama kalinya pula ada sentuhan fisik di antara kami. Tapi sekarang tiba-tiba rasanya berbeda. Terutama ketika jemariku menyentuh kulitnya yang masih basah, merasakan desah napasnya yang naik turun, lalu jatuh ke telaga bening di sepasang matanya. 
Aw, rasanya ada jutaan kembang api di atas kepalaku.

“Bae.” Aku buru-buru mendorong tubuhnya lalu menarik diri menjauh. Gawat, ini pertanda tidak baik. Kembang api di atas kepalaku rasanya mulai membakar diriku sedikit demi sedikit.

“Zoya ….”

“Sebentar.” Aku mengangkat tangan ke arahnya lalu mundur beberapa langkah. “Tolong biarkan aku dulu. Aku butuh waktu untuk menyendiri dan berpikir.” Kali ini aku menyambar tasku lalu segera berbalik.

Terdengar Bae kembali memanggil, tak kuhiraukan. Aku harus pergi dari sini, titik.

*** 

Pintu kamarku terbuka dengan kasar dan Mas Aron muncul dari sana dengan langkah terburu. Wajahnya semringah dan bibirnya tersenyum lebar.

Aku yang sedang rebahan di kasur mengerang kesal. “Ketuk pintu duluuuuu….” teriakku.

Mas Aron hanya terkekeh cuek lalu melangkah mendekatiku, menunjukkan layar ponselnya dengan senang. Kedua mataku menyipit. “Apaan sih?”

“Aku ngajakin Elsa makan malam dan dia bersedia.” Pria itu nyaris berteriak.

Aku memutar bola mata kesal. “Duh, cuma mau ngasih itu aja heboh,” ucapku.

“Hei, ini bukan hal yang biasa, lho. Hubunganku dengan Elsa makin berkembang. Kami selangkah lebih dekat sekarang.” Mas Aron membela diri.

Aku manggut-manggut. “Iya, iya. Semoga acara makan malamnya sukses. Udah? Itu aja? Kalo udah, sana. Aku mau tiduran lagi.” Aku tetap tak merubah posisiku yang rebahan.

“Ngomong-ngomong, kamu berantem sama Bae, ya?”

Pertanyaan Mas Aron yang tiba-tiba membuatku mendongak. “Kok nanya gitu?”

“Emang kayaknya lagi gitu, kan?” Mas Aron ikut rebahan di sisiku. Walau rada sengklek, tak bisa dipungkiri kalau dia adalah sosok kakak yang baik dan super perhatian padaku. “Udah beberapa hari ini aku nggak ngelihat kamu ke rumahnya. Biasanya dikit-dikit ngacir ke sana. Bae juga gitu. Udah lama ia nggak ke sini ngajakin Lea main. Kalo bukan berantem lantas apa? Lagi marahan? Kalian ‘kan bukan pasangan.”

Aku terbatuk. 
Bukan pasangan.
Iya, tahu.

“Enggak, kok. Biasa aja.” Aku berujar. “Lagi sibuk.”

“Sibuk apaan. Pulang kerja langsung rebahan gitu. Kemarin aku lihat kalian papasan di depan rumah. Dan kamu buru-buru ngacir. Terus si Bae kayak orang bengong gitu.” Lagi-lagi pria itu berujar.

Punya kakak tukang kepo ternyata nyebelin juga. “Anu … gini lho, Mas. Aku dan Bae tuh---,”

Kalimatku terhenti ketika ponselku berdering. Menatap layar, kutemukan nama Daniel di sana. 
Tak butuh waktu lama ketika akhirnya aku memutuskan menerima panggilan itu. 
“Halo…”

“Hai. Tadi aku sedang keluar, terus kulihat ada sebuket bunga cantik, langsung deh aku ingat  sama kamu.”

Aku mengernyit. “Terus?”

“Aku sedang menyuruh kurir untuk mengantarkannya ke rumahmu.”

“Malam-malam gini?”

“Baru juga jam sembilan.” Ia tertawa. “Semoga suka dan malam ini kamu mimpi indah tentang aku.” Pembicaraan ditutup sebelum diriku sempat mengucapkan sesuatu. Aku 'kan juga pengen ngucapin terima kasih.

“Siapa?” tanya Mas Aron yang masih rebahan di sisiku.

“Gebetan.”

Mas Aron terbahak. “Wuih, kayak anak abege aja punya gebetan.”

“Umur boleh menua, tapi jiwa harus tetep abege.”

Mas Aron hanya mencebik mendengar jawabanku.

“Zoyaaa, ada kiriman nih.” Terdengar suara Mami dari ruang depan. Aku buru-buru bangkit dan bergerak di sana. Tampak seorang kurir berdiri di depan pintu sembari membawa sebuket bunga mawar merah. Setelah menandatangani slip penerimaan, aku buru-buru menerima bunga tersebut dan membawanya ke kamar. Tanpa menghiraukan tatapan Mami dan Mas Aron yang tampak kepo dengan si pengirim bunga.

Buket bunga belum sempat kutaruh ketika pesan singkat itu kuterima.

[Zoya, ayo bicara lagi.]

Dari Bae. Dan pesan itu tiba-tiba membuatku blank.
Jadi apa yang harus kami bicarakan? Apa aku harus bilang kalau akhir-akhir ini hatiku berdebar karena dirinya?

[Aku nggak suka situasi kita jadi kayak gini.]

Bae kembali mengirimkan pesan. Duh, Bae. Aku juga nggak suka situasi seperti ini. Tapi aku bingung dengan diriku sendiri.
Aku harus gimanaaa??

[Zoya ...]

[Zoya cantik .... ❤️]

Deg. Pesan kedua nyaris membuatku menjerit. Mengira bahwa itu dari Bae. Begitu membacanya dengan seksama, ternyata dari Daniel.

Untung bukan Bae yang mengirim. Kalo beneran dia yang ngirim, apa kabar hati?

[Ayo ketemuan.] Dari Bae.

[Besok makan siang bareng yuk.❤️] Dari Daniel.

[Sudah tidur?] Dari Bae lagi.

[Sudah tidur?] Kali ini dari Daniel.

[Balas.]

[Jangan lupa mimpiin aku, ya.]

[Zoya...]

[Zoya cantik...❤️❤️]

[ ....]

[ ....]

Bae is typing....

Daniel is typing...

Dua orang ini mengirimkan pesan singkat secara bertubi-tubi dan dalam waktu yang nyaris bersamaan.

"Ini janjian apa gimana, sih?!" teriakku.

Dan masih saja pesan-pesan itu berdatangan belum sempat kubalas.

"Aaarrggghhh." Gemas dan bingung, tanpa sadar aku meremas ponsel sembari menggigiti buket bunga di dekapanku.

“Kenapa bunganya kamu makan?!”

Aku menoleh dan Mas Aron sudah berdiri di ambang pintu dengan tatapan syok. Aku bengong.

“MAMIIII, ZOYA KESURUPANNN!!” Suara Mas Aron melengking.

Aku terbatuk.

Menyadari rasa aneh di mulut, cepat-cepat kumuntahkan kelopak-kelopak bunga itu lagi.

Hah? Kesurupan?

Kesurupan ... cinta, mungkin?

°°°

Bersambung

Continue Reading

You'll Also Like

376K 13.5K 58
๐ˆ๐ ๐–๐‡๐ˆ๐‚๐‡ Ellie Sloan reunites with her older brother when her hospital merges with his jackson avery x ellie sloan (oc) season six โ” season se...
112K 3.3K 31
"she does not remind me of anything, everything reminds me of her." lando norris x femoc! social media x real life 2023 racing season
79.2K 3.5K 20
Grosvenor Square, 1813 Dearest reader, the time has come to place our bets for the upcoming social season. Consider the household of the Baron Feathe...
616K 18.6K 75
Hiraeth - A homesickness for a home to which you cannot return, a home which maybe never was; the nostalgia, the yearning, the grief for the lost pla...