TIGA BELAS JIWA

By slsdlnrfzrh

1.3M 188K 70.9K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... More

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

4.10 Mada

9.8K 1.8K 215
By slsdlnrfzrh

Mada

Brengsek boleh, tolol jangan.

Sekilas, perkataan yang terdengar seperti umpatan biasa itu terkesan nggak punya arti apa-apa. Tapi bagi gue, satu kalimat yang terdiri dari empat kata tersebut memiliki magic tersendiri dimana setiap kali mendengarnya, gue selalu merasa jadi manusia paling bodoh di dunia.

Setelah didewasakan oleh waktu, gue mulai mengerti bahwa gue hidup di dunia ini bukan cuma untuk hura-hura. Iya, hidup emang cuma satu kali, hadirnya sangat singkat sehingga harus dinikmati. Namun tampaknya cara gue dalam menikmati hidup ini terlalu salah apalagi sampai melanggar batasan-batasan yang wajar. Tadinya gue hanya haus perhatian, butuh teman main-main, untuk sekedar menghibur diri yang kesepian karena tak pernah mendapatkan kasih sayang.

Seperti yang pernah gue bilang, hidup gue bebas, orang tua gue nggak pernah mau peduli soal bagaimana gue berjalan diatasnya. Mungkin karena inilah gue tumbuh menjadi orang yang selalu berbuat seenaknya. Lagian, siapa sih yang akan melarang gue melakukan ini dan itu? Nggak ada, nggak ada satu pun yang bisa melakukannya karena gue gak punya orang-orang yang bisa berbuat demikian.

Lalu ketika gue iseng menjebloskan diri pada rumah sakit pinggir kota di daerah Cisarua, gue bertemu sama mereka. Sejak saat itu, gue jadi tau gimana rasanya diperhatikan. Gue juga tau gimana hangatnya hati lo ketika mereka bilang bahwa apa yang gue lakukan nggak baik buat diri gue sendiri. Lucunya, mereka nggak sekedar berbicara, tapi juga mengarahkan gue untuk melakukan hal-hal yang lebih positif sekecil nongkrong pinggir jalan sambil membahas urusan pekerjaan.

Gue juga nggak tau akan gimana jadinya kalau gue nggak ditampar oleh kata-kata sekaligus dianjingin sama mereka. Bisa aja ketika gue membuat kesalahan besar pada Arsha, gue akan lari begitu saja seperti yang biasa gue lakukan. Tapi berkat kalimat 'brengsek boleh, tolol jangan', gue jadi sadar kalo setiap apa yang telah lo rusak di dunia, harus selalu dipertanggungjawabkan jika lo memang manusia.

Sebuah rencana bodoh sempat terlintas di kepala gue. Nikahin aja gak apa-apa, ntar kalo anaknya lahir lo tinggalin, bawa anaknya. Tapi untungnya rencana tersebut hanya berakhir sebagai rencana saja. Mana tega sih gue ninggalin orang yang setulus itu sama gue? Mana tega sih gue ngejahatin perempuan yang meskipun lo maki-maki keberadaannya, masih tetap mau mempertahankan? Malah gue berpikir, ini kali ya yang gue tunggu? Ini kali ya yang gue butuh? Dia yang selalu ada, yang gak pernah pergi, dan yang mau menerima meski sudah gue hancurkan.

Di fase ini, gue dituntun untuk memperbaiki diri. Nggak cuma gue, tapi juga dia yang kalau nggak gue rangkai lagi, mungkin akan hidup sebagai serpihan tak berbentuk sampai berakhirnya semesta. Disini gue dilatih untuk menjadi dewasa, untuk mulai berani menanggung buah kesalahan yang pernah gue perbuat, dan untuk mencoba menjalani hidup bersama seseorang yang tanpa sadar sudah memberikan segala apa yang gue inginkan.

Ternyata, hidup itu nggak cuma berisi kebetulan. Ketemu sama Manjiw bukan kebetulan, terlibat dalam satu benang yang sama dengan Arsha juga bukan kebetulan. Pada mereka, gue menemukan apa yang tak pernah gue dapatkan, terutama soal kasih sayang, kepedulian, dan juga tanggung jawab.

"Anak kita, Da."

Nyaris aja gue nangis ketika layar dihadapan gue menampilkan sesosok makhluk kecil yang bergerak-gerak. Kepala, tangan, kaki, semuanya sempurna walau dia masih sebesar kepalan tangan orang dewasa. Arsha memukul tangan gue ketika tangan bayi kita terlihat bergerak didalam rahim miliknya.

"Dia say hi, Da! Liat!" Jengitnya senang, membuat tawa dari seorang dokter kandungan yang memeriksa Arsha terdengar samar-samar.

"Iya, kamu diem biar aku jelas liatnya." Gue melihat layar tersebut lama, sekitar satu menit sampai gue puas sendiri karena telah melihat bagaimana sosok itu hidup. "Thank you, Sha. Makasih udah jagain anak kita di perut kamu." bisik gue pelan, agak malu kalau harus kedengaran.

"Bayinya laki-laki." Ucap dokter tersebut. Masih di rumah sakit yang sama, hanya saja gue memilih jam berbeda supaya diperiksa oleh dokter yang bukan cewek kompor itu. "Panjangnya sekitar 9,5 senti, detak jantungnya sehat, pergerakannya juga."

"Hello, my baby boy." Gue menyapanya lewat layar hitam putih tersebut, "Baik-baik di perut mommy, ya." lalu gue mencium kening Arsha sebagai wujud kebahagiaan gue sekarang. "Tuh, udah ada baby boy di perutnya. Jangan bandel, nanti ditendang dari dalem."

"Iya, janji nggak bandel lagi." Ucapnya, "Dok, boleh print foto USG-nya kan? Saya mau bawa pulang buat kenang-kenangan."

"Jelas boleh, bu." Katanya yang bergegas memberitahu perawat asistennya. Gue nggak berharap apapun sama jenis kelamin anak gue nanti. Malah sebelum USG kesini pun, gue udah pasrah banget mau dikasih cowok atau cewek. Yang penting bayinya sehat, ibunya juga. Apapun jenis kelaminnya, gue akan selalu bahagia dan gak sabar buat nunggu dia lahir ke dunia.

Dengan penuh kebanggaan, foto berukuran 10 x 15 senti meter itu selalu dilihatnya hampir sepanjang perjalanan. Gue cuma bisa senyum sendiri melihat betapa bahagianya perempuan itu sekarang. Gue jadi mikir, akankah Arsha tetap sebahagia ini kalau misal nggak ada gue di sampingnya? Entah kenapa gue berharap bahwa jawabannya tidak. Karena sepertinya, gue mulai egois dan selalu ingin jadi bagian dari bahagianya Arsha Camelia.

"Dia pasti bakalan ganteng banget kayak kamu." Ucapnya sambil menatap gue ceria.

"Jelas dong, kalo itu nggak usah ditanya lagi." Alih-alih pulang, gue malah mengambil arah ke jalan Gatot Subroto untuk mengunjungi sebuah tempat disana. Anggap saja perayaan kecil atas taunya kita soal jenis kelamin calon anak kita kelak. "Mudah-mudahan cuma muka aja yang nurun, kelakuannya jangan."

"Makanya, sayangi dengan benar ya nanti? Kasih apa yang nggak pernah kamu dapet buat dia. Jangan biarin dia jadi kamu versi kedua."

"I will, Sha. Bandel dikit boleh, namanya juga nikmatin hidup. Asal jangan kebablasan kayak bapaknya aja."

"Kasian bayi aku, belum lahir udah denger yang begituan dari mulut jahat daddy-nya ini." Mukanya berubah melas sembari mengusap perut buncitnya itu, "Jangan didengerin sayang, kamu kalo nanti kayak gitu siap-siap aja mommy buang ke Mesir buat gembala unta."

"Gak usah ke Mesir segala, daddy beliin kalo emang mau unta. Tapi bener kata mommy, jangan jadi kayak daddy ya. Apalagi kalo sampe rusak perempuan, bakalan marah banget pokoknya nanti."

"Kamu lagi kesambet apa sampe bisa ngomong gitu? Hahaha." Tuh kan, bijak dikit aja gue diketawain. "By the way kita mau kemana? Ini bukan arah pulang deh kayaknya?"

"Aku mau ajak kamu makan dulu, buat celebrate keberadaan baby boy kita. Udah lama juga kan nggak keluar berdua? Selalu sibuk, kerja-pulang-kerja-pulang terus siklusnya. Selagi ada waktu, kita manfaatin dulu."

"Iya, makasih ya buat semuanya."

Bukan Arsha namanya kalau nggak berterimakasih dan meminta maaf atas sesuatu yang nggak patut dia ungkap. Dia itu beneran sebaik ini, kadang suka kasian kalo nginget-nginget kejadian masa lalu yang super kelam itu. Harusnya Arsha dapet orang yang lebih baik, bukan malah dapet bajingan gak tau diri kayak Mada Winoto Huang.

"Aku yang makasih." Gue meraih tangannya lalu menciumnya sekilas. "Tetep sama aku ya? Apapun keadaannya, tetep sama aku."

Decihan geli keluar dari bibirnya, "Iya, pasti. Aneh banget liat kamu manis begini." katanya.

Gue cuma tersenyum kecil sembari tersipu malu. Butuh waktu sekitar lima menit sampai akhirnya gue memasuki sebuah hotel bintang lima yang cukup ternama di jantung kota Bandung. Ada sebuah restoran yang most to visit banget disini, namanya The 18th Restaurant and Lounge yang sesuai namanya ada di lantai 18 hotel elit ini.

Dari ketinggian lantai ke delapan belas, gue bisa melihat hampir seluruh pemandangan di kota yang memiliki julukan Parisnya pulau Jawa ini. Untuk menyewa sebuah spot terbaik di restoran ini, gue harus mengeluarkan nominal yang lumayan. Kalau kata Bang Johan atau Catra sih, auto miskin satu bulan cuma biar kenyang satu malam. Untung gue nggak kayak mereka, makan disini tiap hari aja masih sanggup cuma ... ya buat apa selama nasi garem kerupuk aja udah cukup buat Arsha senang?

"Malem ini kayaknya aku nggak akan bisa tidur deh, Da."

"Kenapa?"

"Nggak tau, masih seseneng ini aku liat our baby boy ada." Lagi-lagi, dia memandangi foto kecil itu. "Aku nggak pernah sebahagia ini, beneran, sampe masih deg-degan saking bahagianya."

Setiap kali Arsha menunjukkan seberapa tulus hati yang dia punya, saat itu juga gue merasa menjadi lelaki paling beruntung karena telah memiliki dia. Mungkin inilah saatnya, sekarang lah waktunya untuk gue merasa dicintai oleh orang lain. Dan itu artinya, gue harus berhenti mencari-cari perhatian dari luar karena gue telah punya satu orang yang bisa memberikan segalanya.

"Aku juga bahagia punya kamu. Makasih udah bertahan, aku sayang kamu." Susah payah gue mencondongkan tubuh keatas meja hanya untuk mencium keningnya yang terekspos bebas itu. "Please don't leave me, karena bahagia aku juga ada dalam bahagia kamu."

"I promise you, Da. Makasih juga karena udah mau menerima. Kamu itu bajingan paling baik yang pernah aku kenal. Makasih udah bertanggung jawab untuk kesalahan kita."

"Ini bukan kesalahan, adanya dia adalah kebahagiaan. Yang salah itu perbuatan kita, bukan keberadaan bayi kita." ralat gue, "Sini, duduk dulu disebelah aku. Kita kenang momen baik ini, kita belum punya foto keluarga kan?"

Gue mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana lalu merangkul Arsha yang sudah duduk disebelah gue. "Pegang berdua sini foto baby-nya, dedek juga senyum ya. Satu, dua, ti ... ga!"

Pipi gue menempel dengan pipi Arsha, sementara hasil USG itu berada tepat dibawah dagu kita. Gue dan dia tertawa bersamaan, lalu kembali ke posisi semula berbarengan dengan datangnya makanan yang gue pesan. Bener kata Arsha, rasa bahagia yang kita dapat nggak bisa didefinisikan saking luar biasanya perasaan itu— seperti ada yang terisi dari celah kosong didalam hati.

Gue jadi nggak sabar untuk segera melewati tahun-tahun kedepan. Gue ingin segera melihat bagaimana anak gue tumbuh dan berkembang, gue juga ingin segera melihat gimana ramainya halaman rumah seseorang hanya karena berkumpulnya tiga belas jiwa beserta keluarga kecil mereka. Gue harap, kebersamaan ini akan tetap ada. Karena bagi gue, mereka lebih dari sekadar teman biasa; sudah sama seperti keluarga.

Arsha, makasih udah ada.

Jangan sering salah paham apalagi sampai ngambekan kalau ada sebagian kecil dari masa lalu yang tiba-tiba mengganggu. Sungguh, gue udah mengubur semua kelamnya masa lalu yang gue punya hanya demi bisa fokus pada masa sekarang dan masa yang akan datang. Mada sudah berubah menjadi orang yang baru, orang yang tidak lagi memikirkan bagaimana caranya menikmati hidup, tetapi juga memperjuangkan dan mempertahankan setiap detail kebahagiaan yang terdapat didalamnya.

✡️✡️✡️

Short letter from: dr. Mada

Enaknya bilang selamat malam atau selamat sayang? Hehehe

Oke, gue gak akan lama-lama, mau langsung to the point aja. Setiap manusia itu pasti pernah salah, dan itu hal yang wajar. Dan buat kalian yang selalu ngerasa nggak berguna setiap kali melakukan kesalahan, ayo bangkit, hadapi, dan belajar bertanggung jawab atas apa yang udah kita perbuat.

Manjiw-manjiwku yang 70%-nya miskin, kapan pada punya dedek juga? Thank you ya, berkat kalian gue jadi punya keberanian buat ambil keputusan yang besar. Goblok-goblok peran kalian itu penting banget loh buat gue. Udah kayak sodara satu darah meskipun aslinya gue nggak mau sedarah sama orang kayak kalian. Hih, najis.

Cukup aja lah ya, wasting time banget nih bikin yang beginian. Gue berpesan satu lagi deh, ambil yang bagusnya aja dari cerita gue, jangan sama yang buruknya. Semangat buat kalian para pejuang kehidupan!

✡️✡️✡️

Asik Mada punya bayi, Khrisna makin panas nih pengen invest bayi manusia juga

Continue Reading

You'll Also Like

141K 25K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...
oh, haris By .

Fanfiction

442K 91.7K 29
Tentang bagaimana aku mencintai seorang Haris Januar.
1.6K 242 33
Katanya, cinta itu akan tumbuh sama seperti benih yang dirawat dengan kasih sayang. july 17, 2021
202K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...