Hello Dr. Jack

De riniermaya

53.1K 2.4K 182

Cerita ini menjadi 20 peserta terpilih dalam kompetisi Lovrinz Writing Challenge 2021. *** Janu, seorang dokt... Mais

Prolog
1. Janu Bayuaji
2. Poli Penyakit Dalam
3. Nervous
4. Pertemuan
5. Gombal
6. Perjodohan
7. Calon Istri
8. Pedekatan
9. Buaya Darat
10. Janji
11. Kenalan
12. First Kiss
13. Pertengkaran
14. Lamaran
15. Dua Keluarga
16. Kisah Masa Lalu
18. Belajar Masak
19. Usaha
20. Rendang
21. Ketahuan
Promosi Buku

17. Baikan

1.6K 103 16
De riniermaya

Niken menepikan mobilnya saat ada  mobil lain yang menyalip di depan kemudian berhenti mendadak. Sepertinya si pengemudi memang sengaja hendak menghadang mereka. Untunglah jalanan ini memang sepi, tidak padat seperti jalan utama. Dia sengaja memutar supaya tidak terjebak macet.

Tak lama si pengemudi keluar. Seorang lelaki berbadan jangkung yang memakai kemeja batik hitam. Melihat itu, Niken mencolek gadis di sebelahnya. Nadine langsung menutup mulut karena kaget saat melihat siapa yang mendekati mereka.

Kaca mobil diketuk. Niken langsung  membukanya, lalu tersenyum manis.

"Dokter Janu," sapa wanita itu dengan sopan. Dia sudah tahu apa maksud lelaki ini saat menghentikan mobilnya.

"Saya mau jemput Nadine."

Janu melirik ke arah gadis yang duduk di sebelah Niken. Matanya menatap tajam, seperti tanda jangan ada penolakan.

Niken menoleh dan mendapati Nadine tertunduk malu, lalu berbisik, "Ikut sana. Udah dijemputin sama yayang."

Nadine segera membuka pintu. Janu langsung meraih lengannya kemudian melambaikan tangan ketika berpamitan kepada Niken.

Janu membuka pintu dan meminta Nadine masuk. Tadi ketika dia tiba di parkiran kantor, gadis itu sudah terlanjur masuk ke mobil Niken. Jadi dia berusaha mengejar.

Saat berada di jalan yang agak sepi, Janu sengaja menyalip. Dia sudah memberikan kode dengan klakson, tetapi Niken tak mau menghentikan mobilnya.

Setelah menyalakan mesin, Janu melajukan kendaraan dengan pelan menuju suatu tempat. Laki-laki itu tidak mau hubungannya mereka merenggang karena masalah ini. Lagi pula, perselisihan kedua papa sudah lama terjadi. Hanya rasa sakit hati yang masih belum hilang.

"Mau ke mana?" tanya Nadine saat mobil Janu berbelok ke arah ujung kota, tempat sebuah taman yang terletak di sebuah jalan besar.

Pemerintah kota sengaja membuat sebuah tempat hiburan umum. Letaknya dekat dengan jalan raya, sehingga mudah dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.

"Aku mau ngomong sesuatu," jawab Janu singkat. Matanya masih fokus di depan dan selalu berhati-hati saat berkendara.

Nadine terdiam, bukan karena marah. Hanya saja tak tahu harus menjawab apa. Sejak kejadian itu, sudah beberapa hari mereka tidak berkomunikasi. Gengsinya begitu tinggi untuk memulai, setelah dia mengabaikan pesan Janu berkali-kali.

Janu paham, karena itulah dia yang memulai duluan. Menjemput Nadine  dan membawanya untuk bicara empat mata. Dia meraih lengan halus itu dengan lembut saat memasuki gerbang taman.

"Ayo!"

Nadine mengekori Janu saat berhenti di sebuah kedai Takoyaki yang terletak di dekat pintu masuk. Para penjual jajanan pinggiran diperbolehkan membuka lapak di kawasan ini asal menjaga kebersihan.

"Buat kamu."

Janu menyerahkan sekotak kue berbentuk bulat yang ditaburi berbagai macam topping dan saus itu ke tangan Nadine. Lalu, mengambil bagiannya sendiri dan membayar semuanya.

"Kita ke sana!"

Janu menunjuk ke sebuah bangku taman yang terletak di ujung. Agak jauh dari keramaian dan sedikit terlindung.

"Memangnya aku anak TK dibawa ke sini," rutuk Nadine saat melewati sekumpulan ibu-ibu yang membawa anaknya bermain.

Di taman ini memang disediakan berbagai jenis permainan anak. Jika malam tiba, para penjual jajanan akan semakin ramai, karena pengunjung dari semua kalangan usia mulai berdatangan.

"Udah gede, sih. Tapi kelakuan kayak anak-anak. Ngambeknya lama, bikin pusing," jawab Janu santai, yang dibalas gadis itu dengan pelototan mata.

Nadine mencebik. Namun, senyumnya melengkung tak lama setelah itu. Dia mengambil sebuah garpu plastik dan mencicipi Takoyaki yang masih panas mengebul. Rasanya enak dan pedas. Membuat bibirnya mendesis.

Melihat itu Janu menjadi gemas. Jarinya menyentuh bibir Nadine dan mengusap bekas saus yang menempel di sudutnya.

Nadine tertunduk malu. Dengan cepat Janu meletakkan kue di pinggir kursi dan menyentuh kekasihnya.

"Kangen," bisiknya mesra.

Nadine tersentak, lalu menepuk pipi Janu dengan lembut. "Ini tempat umum, Pak Dokter."

Mata cantik Nadine menelusuri wajah Janu dengan perlahan. Tangannya mengusap rahang kokoh lelaki itu, lalu menyentuh hidung mancungnya.

Sepertinya karena kesibukan, Janu lupa bercukur sehingga cambangnya mulai tumbuh tak beraturan. Walaupun begitu, Nadine tetap senang melihatnya. Kadang, jika kita sudah terlanjur mencintai seseorang, apa pun rupa fisiknya, dia selalu tampak indah di pandang mata.

"Kalau begitu apa perlu cari tempat yang lebih privasi?" bisik Janu lagi, saat melihat sang kekasih terlihat semakin menggemaskan.

"Apaan coba?"

Nadine menggeser duduknya agak menjauh. Sekalipun Janu bersikap sopan, dia tetaplah lelaki normal. Mereka memang berpacaran, tetapi dia harus tetap menjaga diri.

"Kita baru satu kali ci--"

Ucapan Janu terhenti saat jemari halus Nadine menyentuh bibirnya. Dokter ganteng itu terdiam. Sepertinya dia harus segera menghalalkan hubungan mereka.

Semoga papanya bisa ditaklukkan dengan segera. Nadine gadis yang baik. Keluarganya juga. Semua itu hanya salah paham yang tak perlu diperpanjang.

Orang tua memang kadang susah diberi pengertian. Papanya pasti menyimpan rasa malu bertahun-tahun karena kasus itu. Semoga mereka diberikan jalan terbaik. Menikah itu ibadah dan pasti akan dipermudah jalannya oleh Tuhan. Entah bagaimana caranya.

"Udah sore. Ayok, pulang," ajak Nadine.

"Kamu gak kangen apa sama aku?" tanya lelaki itu dengan wajah memelas.

Janu berharap bahwa Nadine bisa sedikit lebih romantis mengingat hubungan mereka sudah sampai pada tahap ini.

"Kangen. Tapi pak dokter harus bersabar," jawabnya bijak.

Nadine cukup mengerti kebutuhan seorang lelaki dewasa. Namun, Janu harus menahan diri. Dia bukan perempuan gampangan. Harga dirinya hanya bisa didapatkan dengan mahar.

"Soal Papa--" Lagi-lagi kata Janu menggantung, saat Nadine menggeleng.

"Jangan bicara itu dulu. Kamu fokus kerja aja. Aku juga."

Mendengar itu Janu merasa tidak enak hati. Dia pasti telah banyak mengecewakan Nadine. Namun, jawaban gadis itu malah membuatnya merasa semakin bersalah.

"Aku gak mau kita pisah karena ini, Ndin. Aku beneran sayang sama kamu," ucap Janu tulus.

Janu pernah gagal menjalin suatu hubungan. Untuk itulah kali ini dia lebih serius. Apalagi mamanya sudah memberikan lampu hijau.

Janu tak bisa berpacaran layaknya orang biasa. Dia bisa saja sesekali berkencan. Namun jika itu menjadi sebuah keharusan dalam hubungan, tentu saja akan sulit mencari waktu.

Tanggung jawab terhadap pekerjaan membuat Janu cukup sibuk. Apalagi dokter senior yang ada di rumah sakit akan segera pensiun. Tentu saja dia yang akan menggantikan sebagai dokter utama.

"Kita tetap sama-sama, Sayang. Cuma perlu sabar sampai restu itu datang. Aku gak mau kita nikah diam-diam, sementara papa kamu belum setuju," jawab Nadine.

Perbincangannya dengan Niken beberapa hari lalu membuat hati Nadine sedikit terbuka. Apalagi papanya mengatakan tak ingin memperpanjang perselisihan. Perlahan, gadis itu mulai bisa menerima keadaan.

"Tapi kamu jangan ngambek lama-lama. Kamu kan tau kalau aku ngurusin pasien dulu. Gak bisa selalu ada buat kamu," jelas Janu.

Nadine mengangguk. Mereka bercerita banyak hal sembari menghabiskan Takoyaki yang tadi sempat dingin. Ada banyak orang yang berlalu lalang hari ini sehingga dia berusaha menjaga sikap.

Akhirnya setelah cukup lama berada di taman itu, mereka berjalan keluar. Nadine tidak mau diajak makan malam. Gadis itu mengerti jika Janu pasti kelelahan. Mungkin nanti mereka bisa menjadwalkan sebuah kencan yang manis di akhir pekan.

Mobil melaju membelah jajanan ibu kota. Janu memutar lagu favoritnya. Sepanjang perjalanan mereka saling bercengkerama sembari bernyanyi riang. Lalu, satu jam kemudian berhenti di depan rumah Nadine.

"Sampai ketemu besok," pamitnya.

"Ndin." Janu menahan lengan Nadine sebelum sebelum gadis itu membuka pintu mobil.

Nadine menoleh dan menatap Janu dengan tatapan bingung. Pikirnya, mungkin sang kekasih ingin mengutarakan sesuatu sebelum mereka berpisah.

Melihat Nadine menatapnya sayu, Janu dengan cepat menarik tubuh gadis itu ke dalam pelukan dan menyentuh bibirnya dengan lembut. Laki-laki itu melakukan apa yang sejak tadi berkelebat di benaknya.

Nadine tak kuasa menolak karena rengkuhan itu begitu kuat. Akhirnya dia menyerah.

***
Aku udah up ini. Ada yang nungguin, gak?

Continue lendo

Você também vai gostar

130K 12.4K 42
Tidak pernah terpikir sebelumnya oleh Gema, dia mencintai Dokter yang merawat ayahnya sendiri, memacarinya sampai mengikat janji. Namun, apa jadinya...
4K 468 36
[Complete ✔] ❝ Gue kira buat asuhan keperawatan itu paling ribet, ternyata buat perjalanan penyakit lebih ribet. Sama ribetnya kayak perjalanan cinta...
107K 2.4K 33
Bagaimana perasaanmu jika disaat kamu sedang melupakan seseorang masa lalu mu, lalu datang seseorang sebagai penyemangat dan penutup kesedihanmu. Na...
145K 16.8K 34
Spinoff Mayang Senja. Satria Rangga Prawira, pemuda bersifat dingin dan datar, tapi ganteng. Dia menjabat sebagai Ketua BEM di kampusnya. Diidolakan...