Kasih vote buat Caaay dong...
Nanti kalo kalian baca sambil kasih komen yaa biar Caay jadi tambah semangat nulisnya.
Happy reading !!!
_______________________
______
——––
"ORANG GILA! ORANG GILA!"
"Orang gila... Cakrawala gilaaa!"
"Orang gila... Orang gila...! Sakit mental!"
Cakrawala hanya diam dan menunduk ketika semua murid menyorakinya sambil bertepuk tangan. Cakrawala benar-benar diperlakukan dengan buruk, lebih buruk daripada yang ia dapat sebelum-sebelumnya.
"Orang gilaaa....!" Sentak murid tersebut tepat di telinga Cakrawala.
Cakrawala menutup rapat-rapat telinganya dengan kedua telapak tangan. Suasana di sekelilingnya sangat berisik.
Sekarang kemana-mana Cakrawala melangkah, murid yang berpapasan dengannya selalu berteriak dan menertawainya. Beberapa kali juga bertepuk tangan dengan heboh. Cakrawala Agnibrata diperlakukan seperti topeng monyet.
"Orang sakit jiwa kayak lo itu harusnya bukan di sekolah, tapi di rumah sakit jiwa!"
"Hahaha...."
"Cakrawala.... Orang gila.... Hahahaha."
Moa datang dari belakang Cakrawala dan langsung menyumpal aerphone ke telinga Cakrawala. Ia memang tidak bisa membungkam mulut semua murid, tapi setidaknya dengan memutarkan lagu di telinga Cakrawala, cowok itu akan lebih baik. Meskipun Moa juga tidak yakin akan hal itu.
Cakrawala menoleh. Moa tersenyum, ia menggandeng tangan Cakrawala, mengajaknya masuk ke dalam kelas.
"Heh jangan deket-deket sama orang gila, nanti lo ketularan gila," ujar salah seorang siswa pada Moa.
Moa menggeram kesal. "Tutup mulut lo ya!"
Melihat ekspresi Moa menjadi marah, Cakrawala menggenggam tangan gadis itu dengan sangat erat. Moa menoleh pada Cakrawala, cowok itu tersenyum. Kalau sudah melihat senyuman Cakrawala begini, mana bisa Moa marah.
Diam-diam Moa menahan tangis, bagaimana bisa ada seseorang seperti Cakrawala, seseorang yang masih bisa tersenyum dalam situasi seperti ini. Meskipun Moa tahu, senyuman Cakrawala, semuanya adalah palsu.
Saat tiba di kelas, tempat duduk Cakrawala sudah dipenuhi oleh sampah. Meja Cakrawala juga penuh dengan coretan tangan-tangan jahanam yang mengata-ngatainya secara tidak manusiawi.
'Cabut lo dari sini!'
'Orang sakit jiwa nggak seharusnya sekolah di sini!'
'Orang gila!'
'Cakrawala gila'
'Cacat mental!'
'Menjijikan! Sampah!'
Cakrawala diam. Ia tidak buta, ia masih bisa membaca semua tulisan-tulisan tersebut. Bahkan meja Moa yang berada di samping meja milik Cakrawala juga turut di hujani sampah.
Melihat sampah-sampah tersebut di atas mejanya, Cakrawala yang semula hanya berdiri diam, tiba-tiba tubuhnya gemetar dan muncul keringat dingin. Dada Cakrawala naik-turun. Ia juga menggigit bibir bagian bawahnya kuat-kuat.
Moa yang menyadari gelagat panik Cakrawala, memegang kedua tangan Cakrawala.
"Cakra... Hai, Cakra..." panggil Moa.
Cowok itu tidak menyahut. Pandangan cowok itu terlihat kosong dan ketakutan. Melihat Cakrawala seperti ini, rasanya Moa ingin menangis.
"Jangan diliatin sampahnya, udah jangan..." Suara Moa terdengar parau.
Moa menyuruh Cakrawala duduk di bangku samping.
"Heh! Ngapain duduk di sini! Pindah sono lo!"
Bruk!
Si pemilik tempat duduk itu, mendorong Cakrawala hingga jatuh.
"Jangan dorong-dorong dong!" Sentak Moa.
Moa menahan amarahnya lantaran menyadari tubuh Cakrawala semakin gemetar.
"Ayok, bangun..." Moa membantu Cakrawala berdiri.
"Udah, udah... nggak papa, nggak papa... Ada aku di sini. Cakra.... Nggak papa-nggak papa." Moa menepuk-nepuk pundak Cakrawala, mencoba menenangkan.
Sejak kapan Moa menjadi lebih lembut begini? Aku-kamu? Sepertinya memang benar, ia sudah mulai menaruh hati untuk Cakrawala. Perasaannya tumbuh disaat semuanya sudah terlambat.
Persetan dengan semua itu, yang Moa pedulikan saat ini. Ia akan selalu berada di samping Cakrawala, menemani cowok itu sampai sembuh. Meskipun ia tidak yakin, apakah mental Cakrawala masih bisa kembali pulih.
"Dalam berbagai kasus, penderita obsessive compulsive disorder, biasanya juga menderita gangguan mental lain."
Moa masih mengingat betul kalimat tersebut. Semalaman suntuk ia tidak tidur dan terus membaca artikel mengenai penyakit mental yang Cakrawala derita.
Moa segera mengambil kresek lalu memindahkan satu persatu sampah di atas mejanya dan meja milik Cakrawala. Ia mencoba untuk tersenyum, namun tidak berhasil, air matanya justru terjun bebas.
"Kenapa susah sekali untuk tersenyum... Hiks!"
Cakrawala menghampiri Moa, ia lantas merebut kresek di tangan gadis itu. Memasukan sampah-sampah itu ke dalam kresek dengan sangat cepat.
Ia kemudian menaruh kresek tersebut di luar kelas. Cakrawala kembali masuk untuk membersihkan mejanya.
Cakrawala berkali-kali mengusap-usap meja itu dengan tisu supaya tulisan-tulisan tersebut hilang. Meskipun tulisan itu sudah hilang. Cakrawala tetap mengusap-usap meja tersebut. Berkali-kali, hingga tanpa sadar membuat tangannya sendiri merah dan mengeluarkan darah.
"Cakrawala udah... Berhenti... Mejanya sudah bersih...."
"Belum. Ini belum bersih. Masih kotor, masih ada kuman. Nanti kamu sakit." Cakrawala terus mengusap-usap meja tersebut.
Bola mata Moa berkaca-kaca. Demi tuhan, meja itu sudah bersih.
Moa meraih telapak tangan kanan Cakrawala. "Hentikan Cakra... Tangan kamu luka."
"Hih kayak orang autis!" seloroh Nadin ketika melihat gelagat Cakrawala.
———
Septian bersama beberapa guru yang menangani tentang olimpiade matematika sedang berkumpul di satu meja panjang.
"Keluarkan saja dia dan gantikan dengan peserta lain." Putus Septian. "Kompetisi ini tidak diperuntukkan bagi siswa sakit mental."
"Tunggu, tapi ini tidak adil," ucap Pak Haecan. "Seleksi sudah dilaksanakan dan Cakrawala juga sudah terpilih. Dia punya kemampuan. He's genius."
Septian mencondongkan tubuhnya, mendekat pada Pak Haecan yang duduk di samping kanannya.
"Dia sakit mental," ucap Septian penuh penekanan. "You know? Anak itu, dia nggak waras."
"Tapi dia punya kemampuan, Pak. Pagi-siang-malam, anak itu sudah belajar matematika. Disaat murid-murid lain pulang, Cakrawala masih duduk di ruang bimbingan. Belajar mati-matian. Dan sekarang, ketika kompetisi kurang sebulan lagi, bagaimana bisa tiba-tiba dia digantikan?" Ujar Pak Haecan panjang lebar.
Untuk yang pertama kalinya, Pak Haecan yang biasanya diam, kini mempertanyakan keputusan Septian.
"Iya, Pak." Bu Ambar memberi suara. "Peluang kemenangan Cakrawala dalam kompetisi ini juga besar, Pak."
"Justru itu, masalahnya!" Sentak Septian.
"Ini kompetisi besar. Jika dia sampai menang dan ada media yang tahu kalau anak itu sakit mental, nama baik SMA Elang bisa hancur!"
"SMA Elang, sekolah elite yang kecolongan menerima murid sakit mental. Apa kalian mau ada hideline di media seperti itu? Saya tidak akan menerima skandal apapun tentang SMA Elang."
"Dan kita semua juga tidak ada yang bisa menjamin anak itu akan tetap bersikap seperti orang normal. Pak Haecan, Bu Ambar, dia sakit mental, bukan sakit pilek. Susah disembuhkan."
"Dalam kebanyakan kasus, orang-orang yang sakit mental bukannya cepat sembuh, tapi justru semakin parah."
"SMA Elang juga tidak bisa mentolelir segala bentuk kekalahan. Jadi, segera gantikan Cakrawala dengan peserta lain." Putus Septian, final.
———
Terima kasih sudah mampir baca