TIGA BELAS JIWA

Od slsdlnrfzrh

1.3M 188K 70.8K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... Více

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

4.1 Raga

13K 2.3K 779
Od slsdlnrfzrh

Raga

Tiap kali kebagian jaga malam dan kebetulan lagi gak ada pasien, gue suka duduk sendirian sambil memandangi apapun yang enak dijadikan objek. Biasanya kalau nggak kipas angin yang muter, ya jam analog di atas pintu ruang tindakan. Terus gue suka mikirin hal-hal yang nggak sengaja lewat ke kepala, misalnya soal kenapa gue bisa bertemu dalam kebetulan yang sama bersama dengan Melody.

Gue masih nggak nyangka, gadis kecil yang dulu ngikutin gue dekat intalasi rehabilitasi mental itu justru akan jadi seseorang yang sedang gue perjuangkan. Gue juga gak nyangka, kalau candaan dan kecupan dia yang kekanakan itu justru akan berubah menjadi keseriusan seperti sekarang. Cara dia bertumbuh dewasa dalam beberapa bulan ini terasa begitu drastis, apalagi dalam waktu dekat dirinya akan segera gue peristri.

Pertentangan?

Banyak. Entah dari teman dekat, keluarga, sampai orang yang cuma sekedar kenal. Omongannya pada gak enak, gak jarang juga bikin gue kepikiran buat gak ngelanjutin hal ini karena takut oleh tanggapan mereka. Tapi gue seolah disadarkan, yang tau bahagia buat diri lo ya cuma lo seorang. Dan itu artinya, kalau gue bahagia sama pilihan gue, ngapain harus dengerin kata orang?

Begitu pulang umroh— bonyok ambil paket 10 hari di Mekkah, gue langsung menghubungi mereka untuk membicarakan perihal niat baik gue. Sebenernya anak-anak Manjiw gak ada yang tau kalo diem-diem gue udah lamaran resmi ke rumah Ody. Bukannya nggak menghargai mereka, cuma gue rasa, untuk yang satu ini cukup gue dan keluarga aja yang perlu dilibatkan. Soalnya gue yakin, kalau gue nikah nanti, mereka pasti bakalan jadi orang yang direpotkan karena akan jadi garda paling depan.

"Akad sama resepsinya mau dimana? Harus segera disiapkan kalau mau cepat-cepat." Ibu itu tipe orang yang good planner, harus jelas mau apa supaya yang dia lakukan bisa berjalan lancar.

Gue dan Ody saling pandang, sebetulnya kita berdua nggak punya wedding dream apapun selain pengen segera halal. "Hm, Ody gimana?"

"Nggak usah deh, bu." Bukan cuma gue aja yang kaget, tapi semuanya. "Ody minta acara sederhana di rumah aja, ngundang dua keluarga, sama kerabat deket."

"Tapi kan ... "

"Ya sudah bu, kalau maunya begini kita gak bisa maksa." Mama yang menengahi, meskipun dia juga keliatan sedikit kecewa karena keputusan anaknya.

Lalu semenjak pembicaraan itu, persiapan bertahap dilakukan. Gue yang emang sibuk sama kerjaan menyerahkan semuanya pada Ody, Ibu dan juga Mama. Pokoknya dalam dua minggu ini, gue pengen puas-puasin ketemu sama Manjiw dulu. Kalau ngaca sama Pram dan Mada, waktu mereka untuk kumpul seringkali tersita sehingga gue yakin gue pun kelak akan begitu.

Nggak nyangka ya kalau gue akan sampai pada fase ini.

Fase dimana gue harus melepaskan beberapa hal untuk mendapatkan sesuatu yang besar. Fase dimana gue tiba-tiba merasa gak siap buat kehilangan semua kesendirian. Dan fase dimana ... gue akan tumbuh menjadi manusia berbeda, manusia yang memiliki tanggung jawab lebih terhadap orang yang nantinya akan gue miliki.

"Sedih gak sih, Ga?" Kalo lagi banyak pikiran, temen curhat gue itu pasti Johan atau Joshua. Entah karena seumuran atau gimana, gue ngerasa lebih nyaman aja sama mereka. Khawatirnya kalau gue cerita sama yang muda-muda, mereka malah jadiin itu sebagai beban dan juga ketakukan.

"Sedih gak sih jadi dewasa?" Dia menambahkan. Mungkin bisa dibilang ini double date kali ya. Dari pulang jaga sampai sekarang kita main-main di pusat perbelanjaan sama Dara dan juga Ody. Sekarang dua cewek repot itu lagi masuk ke toko make up, sedangkan gue dan Johan memilih menunggu di luar sambil bersandar pada pagar pembatas lantai.

"Tau gak sih, Han?" Pandangan gue terarah pada pemandangan dibawah sana, "Gue pas ngumpul sama lo semua, kadang suka pengen nangis anjir. Meskipun tetep bisa ketawa dan ketemu, tapi rasanya kayak ... apa ya? Ada yang beda."

"Gue paham, susah sih jelasinnya, tapi pasti perasaan itu bakalan datang." Dibalik gobloknya, dia bisa jadi pendengar dan pemberi solusi yang amat sangat baik. "Serius lo undangan udah pada jadi?" tanyanya.

Gue mengangkat goodie bag yang terisi penuh itu dengan pelan, "Serius lah, lo liat sendiri tadi gua ke tukang undangan."

"Gua pikir lu berhenti di Pagarsih tuh buat bikin buku yasin gitu anjing, taunya ngambil undangan." Mentang-mentang daerah sana pusat percetakan, bisa-bisanya dia seenaknya nuduh gue bikin buku yasin.

"Ntar kalo lu mati, gue bikinin kesana, sejam jadi."

"Hahahanjing." Yang khas dari Johan itu kalo abis ketawa pasti ada -njing di belakangnya. "Tapi gue ikut seneng karena akhirnya lo jadi juga. Pecah telor di kepala tiga, dan gua masih gini-gini aja."

Tatapannya yang semula ceria jadi terlihat murung. Gue tau gimana cerita Johan, tapi gue selalu bersikap seakan gue nggak tau buat ngejaga perasaan laki-laki itu. "Kudu nyusul buru-buru, biar ntar istri kita hamilnya barengan."

"Mau dijodohin sama anak gua, Ga?"

"Ogah ah, punya besan kayak lo jatohnya jadi kutukan. Mau sama anaknya Khrisna aja gue mah, biar makmur idup anak gue." Ini cuma bercandaan ya, soalnya gue sama sekali gak kepikiran buat menseriusi omongan gue barusan.

"Gila lo, gembar-gembor gue miskin semua orang jadi percaya padahal ... "

"Padahal?"

"Emang miskin anjing mau diapain lagi? Hahaha!"

Gue ikut ketawa. Dia mah merendah doang. Aslinya Johan itu orang yang sangat matang dalam melangkah dan mempersiapkan sesuatu. Emang orangnya juga sederhana, nggak banyak gaya, ibarat kata ya senyamannya dan seadanya makanya hidup dia terkesan seenaknya. Padahal semua itu karena dia nggak ada yang ngurusin aja. Gue liat-liat nih ya, sejak deket sama Teteh Kantin, penampilannya jadi lebih rapi karena ada yang nyetrikain dan rapiin semua pakaian dia.

Iya, biasanya dia ke UGD pake kaos kusut yang baru dapet nyabet dari jemuran. Sekarang? Rapi banget dong sampe gue pangling gak bisa bedain dia sama alas setrikaannya.

"Abis dari sini gue nyebar undangan dulu bentar, ke orang tua Manjiw aja sama kerabat di Bandung. Lo kalo mau duluan ya duluan aja." Ucap gue. Bertepatan dengan itu gue melihat Ody keluar dari toko kosmetik bersama dengan Dara. Keduanya nenteng masing-masing satu kantong belanjaan. Ngeri ya kalo cewek udah kalap, gaji sebulan bisa ludes dalam beberapa jam doang.

"Sambil pulang lah gua ikut." katanya.

Sebelum pergi dari sini, kita menyempatkan diri untuk makan dulu. Baru setelahnya kita pulang dengan Johan yang ikut berkeliling sebentar. Kita mampir ke rumah Dino, tapi nggak lama karena kayaknya dia lagi punya tamu. Habis itu Johan pamit duluan, sementara gue dan Ody masih betah kesana kemari padahal hari sudah semakin gelap.

"Dy," Pelukannya di pinggang gue terasa semakin erat, "kita pulang ya?"

"Ini masih ada beberapa lagi." Katanya.

"Besok dokter Raga yang sebarin. Udah malem, kamu juga besok udah mulai ngampus." Gue gak tau sih apakah mahasiswa baru yang punya status 'segera' menikah itu cuma Ody aja atau ada yang lainnya juga.

"Oke deh." Setujunya yang emang udah keliatan lelah, "Tapi bisa mampir jajan dulu gak?" pintanya. Gue rasa dia ini gak pernah ngerasa kenyang; selalu lapar.

"Mau apa?"

"Apa aja yang pertama kelewat." Anaknya gak pernah ribet, meskipun gue cuma nemuin tenda nasi goreng didepan komplek perumahan Dino pun, dia gak keberatan buat makan disana. Kaki lima atau bintang lima gak pernah ada beda, asalkan makanan ya pasti Ody makan.

"Mas mau yang ped—"

"Nggak mas, pedesnya dikit aja." Mata gue langsung menyipit tajam padahal Ody belum menyelesaikan ucapannya. Dia kebanyakan makan pedes hari ini, takutnya besok diare atau apa gitu padahal baru pertama masuk kuliah.

Gue mengajak dia duduk di kursi panjang yang agak goyang. Dibelakang kita ada got yang cukup harum, tapi gue udah biasa soalnya vibes tempatnya nggak jauh sama basecamp Manjiw di RSJ.

"Ody nggak sabar." Matanya berbinar saat melihat kearah gue, "Oh iya, makasih hari ini udah ajakin belanja." padahal gue belanja juga buat seserahan pernikahan nanti.

"Sama-sama, maaf kamu jadi kecapekan." Gue mengusap rambutnya pelan, "Nanti pas pulang langsung cuci muka, cuci kaki, cuci tangan, terus tidur. Gak boleh begadang, gak boleh nonton film dulu. Harus langsung tidur."

"Kalo nggak tidur?"

Tadinya mau jawab 'nanti dokter Raga tidurin' tapi gak enak sama si mas-mas nasi goreng.

"Nggak jadi nikahnya."

"Ih!" Gue selalu suka kalau liat dia ngambek, lucu. "Kebiasaan ngancemnya, nyeremin."

"Melody Pelita."

"Apa?"

"Cuma manggil aja, latihan buat nanti. Saya terima nikah dan kawinnya Melody Pelita bin Titan dengan—"

"Kok bintitan?" Dada gue dipukulnya sampai gue tertawa keras.

"Haha, abis pamali kalo pake nama ayah kamu. Ya udah bintitan aja." Untung disini nggak ada pembeli lain, jadi mereka gak perlu deh tuh ngerasa cringe atau geli liat gue sama Ody.

"Melody," gue kenapa deh gak jelas banget?

"Apaaa?" katanya yang udah mulai kehabisan rasa sabar.

"Makasih ya."

"Buat?"

"Buat semuanya. Makasih udah dateng ke hidup dokter Raga, sampai akhirnya bakalan jadi temen hidup selamanya."

Untung Johan udah pulang, walau dangdut juga masih aman.

"Ody yang makasih." Katanya, "Makasih udah nemenin Ody sampai sekarang, nguatin Ody, dan jadi alasan kenapa Ody harus bangkit. Kalo gak ketemu dokter Raga, Ody nggak tau bakalan hidup kayak apa. Sebenernya, bisa deket sama dokter Raga aja udah Alhamdulillah, nggak sampai kepikiran bakalan dinikahin beneran."

"Makasih ya, karena dokter Raga udah mau nikahin cewek gila penyakitan. Makasih karena dokter Raga nggak denger omongan orang yang banyak gak enaknya soal Ody. Sadar kok Ody gak pantes, tapi Ody juga mau bahagia, sama dokter Raga."

Gue selalu gak suka sama pembicaraan yang menjurus ke arah seperti ini. Gue selalu benci liat Ody yang seakan menyudutkan dirinya sendiri, menganggap bahwa dia gak layak disaat dia sudah lebih dari layak.

"Ody emang belum banyak tau soal apa-apa, tapi Ody punya dokter Raga, yang akan ngajarin semuanya dan Ody percaya."

Tetapi gue selalu suka setiap kali Ody menaruh harap diatas pundak gue. Gue merasa dibutuhkan, gue merasa bahwa kehadiran gue sangat dinantikan. Gue merasa diandalkan, dan gue merasa seperti diberi tanggung jawab yang mana tidak boleh gue kecewakan.

"Perbedaan itu indah, ya?" Herannya, tiap sama lo gue nggak pernah ngerasa beda; selalu aja sama. "Ody harus selalu ingat ini, Ody tuh sehat, cantik, luar biasa, daaan punya hidup yang beruntung."

"Manis deh calon suaminya Ody." Padahal anaknya udah hampir nangis.

"Kamu juga jangan gemes-gemes, dokter suka pengen gigit kalo sama yang lucu tuh."

"Nih, gigit."

Bisa aja mancingnya, untung gue gak suka umpan cacing.

"Pipinya gigit." Suruh dia sambil mencubit pipi gembilnya sendiri.

"Nanti, dua minggu lagi semuanya dokter gigit."

Mukanya langsung pucet, "Dok, ih, creepy."

"Abisnya mancing. Lupa ya punya calon suami om-om?"

Sialan, kenapa gue jadi creepy beneran?

"Om Raga mau dong digodain." Kalo si mas nasi gorengnya gabut, pasti dia denger deh sama semua yang lagi kita obrolkan.

"Diem." Gue menempelkan kening di dahinya, "Kasian si masnya takut jomblo." bisik gue yang diyakini cuma bisa didengar sama Ody.

Perempuan itu ketawa, dan gue cuma bisa ikut tersenyum saat melihatnya. She's looks better and happier, dan gue bangga karena menjadi salah satu alasan dibelakangnya. Gue berjanji, Dy, gue akan selalu memberikan lo kebahagiaan dan keistimewaan agar lo sadar bahwa keberadaan lo sangat berharga. Lo adalah apa yang selama ini selalu gue minta pada Tuhan, meski kata orang kita ini gak tepat, tapi gue merasa bahwa kita sudah sangat genap.

Di dunia ini, banyak sekali kebetulan yang membawa kita pada kedewasaan.

Gue selalu bersyukur terhadap segala yang gue punya. Teman, pekerjaan, orang-orang tersayang, sampai dengan perempuan yang tak pernah gue duga akan menjadi si spesial. Tanpa Rumah Sakit Jiwa, gue tidak akan mungkin bertemu dengan ketigabelas jiwa dan juga Melody Pelita. Keduanya punya peran yang penting dalam hidup gue; sama-sama mengajarkan banyak hal soal arti kehidupan.

Pada Tiga Belas Jiwa, gue menemukan segalanya. Kepedulian, kebersamaan, kekeluargaan, sampai kedewasaan. Hari-hari gue gak pernah dirundung mendung jika bertemu salah satu dari mereka. Dan gue rasa, pertemanan ini bukanlah hubungan yang akan berakhir hanya karena kesibukan saja. Tetapi akan terus ada sampai tawa kita berdua sudah diselingi oleh batuk karena usia.

Dan pada Melody Pelita, gue menemukan isi dunia. Gue mendapatkan apa yang tak pernah gue dapatkan, dan apa yang tak pernah gue bayangkan. Sedikitpun tak pernah terbersit bahwa gue dan dia akan menjadi kita, apalagi bersatu sampai mati setelah kata 'sah' menggema. Terimakasih sudah menjadi bagian dari cerita, menjadi pemanis yang datang dengan begitu mempesona.

Gue jadi berandai-andai dari sekarang soal akan sehangat apa keluarga kecil kita nanti. Gue gak akan bisa bayangin gimana kalo saat wisuda nanti, lo gendong bayi, atau perut lo lagi besar sehingga toga yang lo pakai tampak seperti daster biasa. Gue juga membayangkan, gimana jadinya kalau ketigabelas orang ini sudah memiliki hidupnya masing-masing lalu berkumpul bersama untuk membahas kenangan usang.

Gue menjadi pembuka dalam cerita ini, dan sepertinya gue akan menutupnya lebih dulu karena kisah gue sudah mencapai kata usai. Yang bisa gue jadikan pelajaran disini adalah; semua hal yang terjadi membutuhkan proses dan juga waktu. Nikmati, jalani, kemudian dengarkan diri sendiri untuk memilih mana yang terbaik bagi hidup lo.

✡️✡️✡️

Short letter from : dr. Raga

Hai,

Buat semua orang yang udah ikutin cerita ini dari awal sampai sekarang, makasih banyak ya. Makasih udah sabar ngeliatin kelakuan temen-temen saya yang pada mirip Abu Jahal. Mudah-mudahan, ada yang bisa diambil dari kisah ini terutama dari kisah saya.

Setelah saya pikir-pikir lagi, ternyata hidup itu cuma tentang kesabaran. Jujur, dulu saya udah capek banget sama pertanyaan 'kapan nikah?' yang sekarang udah gak pernah saya dapetin lagi haha. Kalo belum waktunya, mau maksain pun ya gak bisa. Yang berarti kita harus sabar, harus menunggu, dan belajar bersikap bodoamat ketika omongan-omongan dari luar mulai kerasa nggak lagi bersahabat.

Untuk semua teman-teman saya di Manjiw Squad, semoga kalian bahagia selalu ya!

Kisah ini boleh berakhir, tapi nggak dengan kita.

Tiga Belas Jiwa akan selalu ada, akan selalu jadi 'kita'

✡️✡️✡️

Uhuk. Ketemu besok di bagian Johan!

Ohiya ak tidak menerima komplen:)

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

41.6K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
1.6K 242 33
Katanya, cinta itu akan tumbuh sama seperti benih yang dirawat dengan kasih sayang. july 17, 2021
4.9K 1.7K 40
[ kim doyoung ] Yang melepas dan yang dilepas harus ikhlas. Kalau kembali, artinya Tuhan mengimbali. Karena yang ikhlas pasti akan berbalas. Sedangka...
270K 21.2K 100
"Jadi, saya jatuh dan cinta sendirian ya?" Disclaimer! Ini fiksi nggak ada sangkut pautnya di dunia nyata, tolong bijak dalam membaca dan berkomentar...