TIGA BELAS JIWA

By slsdlnrfzrh

1.3M 188K 71K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... More

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

3.13 Dino

11.2K 2.2K 1.2K
By slsdlnrfzrh

Dino

Kalau lagi kumpul lengkap seperti ini, gue selalu ngerasa bahwa gue lengkap juga. Meskipun seharian ini capek karena praktek dan masak di RSJ, gue seakan bisa melupakan semuanya begitu saja apalagi ketika udah dibuat ketawa. Pikiran gue agak berat sih, tepatnya saat bang Vernon membahas perihal Sofia kepada gue lagi.

Gue sendiri bingung harus menjelaskannya berapa kali kepada perempuan berdarah Amerika itu. Peduli yang gue berikan kepadanya disalah artikan, dan gue mulai merasa tidak nyaman karena perempuan itu adalah adik dari temen gue juga. Dulu sempet ada rasa tertarik, tapi ya cuma sekedar tertarik aja. Dan sekarang? Jangankan mikirin perasaan, gue kayaknya lebih bingung karena takut nggak kebagian gala launching game Desperados 3.

Udah beberapa hari ini, Bang Khrisna selalu ngundang kita semua buat datang ke rumahnya. Kita-kita sih jelas kesenengan, soalnya selalu dikasih banyak makanan gratis dan bebas beli apa aja buat nyemil di rumahnya. Bang Johan malah lebih parah, sampe tau kode akses dan password M-banking punyanya Bang Khrisna sehingga dia seenaknya top-up ini itu buat beli makanan.

Kalau nggak salah, resign-nya Bang Khrisna akan dapat acc dalam tiga minggu lagi. Katanya sebelum sibuk di rumah sakit yang akan dia pimpin, dia mau puas-puasin bebasin diri sama Manjiw Squad dulu. Agak gak ikhlas sih sebenernya, tapi kan hak kita cuma mendukung, bukan melarang, apalagi ini sudah jadi pilihan dia.

Karena pulang setengah sebelas dari rumah bang Khrisna, keesokan harinya gue lesu banget akibat kurang tidur. Sering banget nahan nguap depan pasien, jadi gak enak karena keliatan nggak bersemangat. Mana hari ini yang terapi banyak anak-anak, tapi seceria apapun gue hari itu, wajah lelah tetap nggak bisa gue sembunyikan dengan rapat.

Bukannya segera pulang ketika jam kerja berakhir, gue malah menenggelamkan wajah diatas meja untuk menutup mata. Percuma sebenernya, gue nggak bisa tidur juga dan malah tambah sakit kepala. Akhirnya dengan wajah yang keliatan makin kusut, gue memilih bergegas pergi supaya bisa segera berisitirahat.

"Lemes amat lo." Bang Joshua kayaknya baru pulang juga, dia langsung merangkul pundak gue dan berjalan bersama keluar dari sana. "Kenapa? Banyak kerjaan?"

"Nggak juga bang, belakangan lagi kurang tidur nih." Jawab gue jujur, "Lo langsung balik?"

"Kayaknya nemuin dulu Alexa, udah janji dari kemarin mau dinner bareng."

Dinner katanya, apalah gue yang malah winner winner chicken dinner.

"Kapan dong diresmiin?" Canda gue.

"Soon, masih suka gini aja." Katanya. Gue ikut seneng deh liat bang Joshua, dia jadi keliatan makin sehat dan happy setelah jadian sama dokter pribadinya. Dia juga jarang banget kedengeran lagi low condition, emang obat paling mujarab itu cuma hati ya; perasaan dan kebahagiaan.

"Duluan, hati-hati bawa motornya jangan ngantuk!" Pesannya ketika kita sudah sampai di parkiran. Gue tos dulu sama dia, lalu lanjut jalan karena parkiran motor dan mobil itu beda. Sambil jalan, gue iseng buka hape buat cek beberapa pesan yang masuk. Terus ada nama Therena di pop up pemberitahuan. Itu loh, teteh dokter kecantikan yang waktu itu gue kenalin.

'Dino udah pulang?'

Langkah gue terhenti, lalu jari gue bergerak cepat untuk membalas pesannya itu.

'Otw teh, kenapa emangnya?'

'Teteh di rumah Dino, tadi diajak ibu.'

Disitu gue kayak ... DEG!

Entah alasannya apa, tapi tiba-tiba aja muka gue panas sendiri saat membacanya. Gue hanya mengirimkan sebuah stiker kepadanya, lalu menyimpan ponsel kedalam saku jaket dan bergegas pergi dari sana. Bisa dibilang gue nggak begitu dekat sama dia, cuma karena pertemuan pertama yang nyimpan banyak kesan, gue jadi punya perasaan aneh tersendiri yang berhasil bikin jantung gue deg-degan.

Nggak, gue bukan orang yang mudah buat suka. Malah bisa dibilang, gue termasuk kedalam jajaran orang yang harus tahu dulu segalanya baru memikirkan perasaan. Ribet pokoknya, makanya dari dulu sampai sekarang, nggak ada satu pun cewek yang berhasil jadi pacar gue.

Blok rumah gue itu paling sepi karena letaknya di belakang perumahan banget. Makanya ketika ada kendaraan yang parkir di depan pagar, dengan mudah orang-orang bisa tahu bahwa didalam rumah itu sedang ada keramaian. Garasi rumah sempit, cuma masuk satu mobil dan dua motor aja makanya kalau ada tamu, mereka harus parkir di halaman depan atau jalanan.

Dari luar gue mencium wangi masakan yang cukup harum. Ketika masuk, gue langsung disambut oleh bapak yang tengah sibuk dengan hobi barunya; bikin kerupuk. Bapak emang agak unik orangnya, senang bereksperimen dan di percobaan kesekian dalam pergabutannya, dia berhasil menciptakan kerupuk kentang warna-warni yang dibentuk seperti bunga kenikir.

"Basah keneh, euy." Dia ngomong sendiri, atau mungkin pada kerupuk mentahan setengah jadi yang belum kering walau udah dijemur dibawah sinar matahari.

"Mau bisnis emang pak?" Tanya gue yang sedang melepas sepatu.

"Iya, bikin brand kerupuk sendiri."

"Namanya?"

"Kerufuck."

Kalau lo nebak dia nyebut kerufak atau kerufuk, maka lo salah karena bokap gue menyebutnya sebagai kerupucek.

Gue mendengus, biarin aja bapak gue berimajinasi sendiri dengan hobi barunya itu. Setelah mengucap salam, gue masuk ke dalam. Ruang tamu rumah yang nggak terlalu besar ini langsung menghadap pada dapur karena desainnya yang minimalis sehingga sontak pandangan dua perempuan di dalam sana teralih seluruhnya.

"Pulang juga, udah ditungguin dari tadi." Ibu yang bilang. Tangannya pakai sarung tangan plastik, terus ditengadahkan seperti dokter bedah yang mau masuk kamar operasi.

"Ibu sama bapak mau ke gudang distributor buat ambil jatah, kamu makan ya, sama Therena." Katanya. Emang setiap dua minggu sekali, dia selalu dateng ke gudang distributor yang masok barang-barang buat dia jual gitu. Bahasa kerennya dia udah jadi member, dan ada jatah yang harus diambil buat bakal jualannya di grosir-grosir nanti.

"Dino berdua sama Teh Rena?"

Sebenernya dokter Therena ini biasa dipanggil There, tapi lidah gue gak enak aja gitu pas nyebutnya, kayak ada yang ganjel makanya inisiatif sendiri buat nyebut dia 'Rena'.

"Iya, gak apa-apa atuh kan nggak lama ini."

"Teteh nggak gigit kok, Din." Akhirnya perempuan berhijab itu bersuara.

"Iya sih, teh. Tapi ... " Kedua orang itu ikut diam, seperti menunggu kelanjutan dari perkataan gue. " Ya udah, pergi aja. Dino bersih-bersih dulu." Ucap gue dan naik ke lantai dua.

Kalau harus dijelaskan, lantai bawah itu terdiri dari ruang tamu, dapur, kamar ibu sama bapak, kamar kosong, dan tempat penyimpanan barang. Sementara lantai dua ... isinya kamar gue dan satu ruangan yang sengaja gue akuisisi. Didalamnya ada banyak buku, koleksi video game, dan barang-barang kesukaan gue yang seolah ditata dalam satu galeri pribadi.

Belum apa-apa gue udah canggung duluan. Bahkan di kamar sempet bingung harus pakai baju apa. Soalnya kalo santai, gue pasti pakai celana pendek sama kaos doang. Tapi jangan samakan dengan kolor punyanya Bang Johan yang bunga-bunga warna biru dongker. Gue masih elitan dikit, paling banter bahan parasut yang udah agak koyak gitu.

"Teteh nggak pinter masak sih, Din. Tapi lumayan lah, bisa dikit-dikit." Baru turun gue disambut oleh sapaannya yang terdengar ramah. Rumah udah sepi, langit luar juga keliatan gelap. Gue gak tau Teh Rena udah magriban atau belum, mau nanya gue gak enak tapi kayaknya di kamar tamu ada mukena kalo misal dia mau sembahyang.

"Ini semua teteh yang masak?"

"Dibantuin ibu." Katanya. Masakannya menurut gue lumayan pada repot. Semur daging, telor balado, perkedel, lalapan, sambel, dan ikan goreng pakai bumbu halus gitu. "Lebih pinter kamu pasti." katanya, menyendok nasi kedalam piring yang ternyata dia berikan kepada gue.

"Saya masaknya sayur bening doang kalo di RS, hahaha." Kata orang ketawa gue nular, gak heran kalo Teh Rena sampai ikut ketawa juga. "Ini yang begini nih kebanyakan minyak, kolesterol, pasien sakit mana boleh makan beginian."

"Bukan mitos dong kalo masakan rumah sakit itu gak enak?"

"Ya mungkin fakta juga teh?" Emang kalo makan yang enek-enek gini enaknya sama teh tawar hangat, "Tiap pasien itu kebutuhan gizi dan makanannya beda-beda. Ada yang gak boleh pake garem, ada yang harus dikit aja, atau ada juga yang normal. Kalo dikasihnya yang sederhana dan gak enak semua, sebenernya itu normal, karena memang disesuaikan."

Kok gue jadi ceramah gini? Dia juga dokter anjir, Din, pasti lebih paham juga sama yang beginian.

"Teteh makan juga kan?"

"Iya, makan."

Gimana ya jelasinnya? Vibesnya tuh kayak ... dia kakak gue. Gue pikir suasananya akan aneh dan kikuk gitu, tapi ternyata sejauh ini ngalir dan nyaman-nyaman aja.

Selama beberapa saat, yang terdengar cuma suara dari sendok yang beradu dengan piring. Gue benar-benar fokus pada makanan, tak sekali pun mencuri pandang pada perempuan yang duduk tepat dihadapan gue. Dalam sepuluh menit, gue dan Teh Rena sudah menghabiskan nasi dan lauk yang ada diatas piring masing-masing. Mungkin karena kebiasaan kali ya, sehabis makan gue langsung mencuci piring bekas dan menyimpannya di tempat biasa.

"Teh maaf ya kalo ibu suka ngajak-ngajak, takutnya malah sibuk jadi saya yang gak enak." Basa-basi aja sih niatnya mah, biar ada topik pembahasan gitu kan.

"Enggak kok, kebetulan cuma praktek sampai jam satu tadi tuh. Ngobrol sama ibu juga asik, makanya saya ikut, bikin betah." Kalau diliat-liat, Teh Rena ini pembawaannya nggak jauh dari dokter Ainun gitu. Bedanya muka dokter Ainun galak banget auranya kalau dia keibuan, lembut, idaman lah pokoknya.

"Waktu kapan ya, ada yang ke klinik nanyain kamu."

Hah? Siapa?

"Mirip orang luar gitu, siapa ya namanya? Sophie?"

Sophie apaan? Sophie Martin? Brand tas emak gue dong kalo Sophie Martin.

"Sofia bukan teh?"

Dia terlihat antusias, "Nah, iya, Sofia."

Beneran nekat dong dia.

"Nggak macem-macem kan sama teteh?" Pikiran gue udah negatif aja nih.

"Nggak, cuma nanya-nanya aja. Tukeran nomor hape juga, katanya sih temen kamu. Emang iya?"

Gue mengangguk pelan, "Iya, yang temen sayanya sih kakak dia, teh. Dokter di RSJ, spesialis kejiwaan geriatri."

"Suka sama kamu kayaknya." Sekarang posisi kita ada di beranda depan. Mirip ruang tamu, tapi tanpa sofa melainkan hanya kursi kayu ala-ala kafe gitu. "Soalnya pertanyaannya aneh, masa dia nanya teteh suka kamu atau enggak?"

Gue masih berusaha santai sambil membuka tutup toples berisi keripik pedas, "Terus teteh jawab apa?"

"Ya jawab enggak lah, Din, gimana sih kamu?" Pergerakan tangan gue terhenti, "Terus kayak kesenengan gitu, gemes liatnya."

"Emang teteh nggak suka sama Dino?" Tolong ya, gue cuma memperpanjang topik obrolan aja. Bercanda, nggak dalam konteks serius ataupun ada niatan buat gombalin dia. "Kan dijodoh-jodohin sama Ibu, siapa tau kan?"

Tawanya terdengar santai, "Udah nggak ada waktu ngerasain yang begituan. Bukannya beku hati, cuma nggak tau sih, seperti nggak ada gairah mengurusi persoalan kayak gitu."

Kok prinsipnya kayak gue ya?

"Teteh tuh udah nggak lagi di usia yang bisa bebas main-main. Capek ah ngurusinnya, suka atau enggak udah gak jadi alasan, kalo udah ada yang mau serius mending langsung jalan aja."

Kalau yang ini, kayaknya kita nggak satu prinsip.

"Tapi teh, kalo mau jalan itu kan harus tau dulu semuanya. Nggak bisa asal sama-sama mau terus maju, harus ada yang dikenali, yang dipahami, gitu gitu lah pokoknya."

Soalnya kalo asal ada, nyabet cewek pinggir jalan terus besoknya dinikahin juga bisa, banyak tuh yang dijamin mau. Tapi kan hubungan itu ada buat dipelajari, dikenali, sebelum dicap mantap sama hati.

"Ada benernya juga sih, Din." Gue pikir dia akan memperdebatkan argumen gue, "Cuma buat saat ini sebenernya teteh lagi cari yang bisa menjamin dalam waktu dekat."

"Maksudnya?"

"Teteh udah pengen nikah."

Teh, jangan senyum. Dibilang gue lemah sama lesung pipi lo yang manis itu.

"Teteh lagi sering main ke pesantren teteh dulu di Bogor." Denger dia bercerita itu bikin nyaman, suaranya mirip penyiar yang enak banget saat didengar. "Lagi minta dicarikan orang buat ta'aruf sama guru disana. Sadar usia udah nggak muda, bungsu juga, udah saatnya lepas jadi beban orang tua."

Padahal dia nggak jadi beban buat siapa-siapa, hidup aja mandiri gini. Tapi pemikiran perempuan dewasa itu beda. Mungkin bukan soal materi, tapi soal hati, soal kekhawatiran orang tuanya terhadap dia yang selalu hidup sendiri.

"Udah ada?"

"Belum. Belum ada yang sreg ke tetehnya."

Ini yang bener. Nyari jodoh jangan pake tinder, tapi ke pesantren buat cari teman ta'arufan. Apaan lo, Din, gak guna banget mainan tinder. Ujungnya diajak mabok kan, sampe tepar dua malem.

"Semoga segera dapet, teh." Gue cuma bisa nyemangatin aja. Rada kecewa sih karena ternyata dia lagi mau ta'arufan, soalnya gue gak munafik kalau gue lumayan tertarik sama Teh Rena. Tertarik loh ya, sekedar baru penasaran dan pengen tau aja.

"Amiin, Dino juga, kapan dong? Mau maen ke pesantren teteh juga gak?" Tawarnya.

"Nanti aja teh, belom kepikiran, haha." Dari tadi gue ketawa mulu ya, "Teteh aja yang duluan, biar nanti Dino sekeluarga dateng ke acara hajatan."

"Doakan semoga cepet ada jodohnya." Beda kalo ngobrol sama orang yang sejalur tuh, bahas apapun pasti nyambung dan menyenangkan. Gara-gara ngomongin pesantren, gue dan Teh Rena jadi nostalgia masa-masa jadi santri dulu yang penuh sama cerita lucu.

"Pas SMA kan saya sekolahnya di kampung bapak tuh, pesantren juga, tapi nggak mondok. Nah, kalo pulang saya sama temen-temen pasti suka nungguin mobil bak lewat. Nebeng."

Dia ketawa, "Bawa kambing atau domba gak mobilnya?"

"Kadang, seringnya bawa rumput buat pakan ternak. Terus saya naik diatas karung rumput, berasa jadi koboi pokoknya mah."

"Hahaha, kalo teteh dulu suka disuruh ternak. Orang lain ngurus anak kambing, anak sapi, ikan mas, lele, dan lain-lain di peternakan, teteh gak pernah mau tuh soalnya panas. Nanti kulitnya rusak." Gak heran kalo sekarang jadi dokter kecantikan, anaknya udah cantik dari dulu ternyata. "Terus suka kasih alasan ada deadline hafalan. Tiga tahun gitu mulu, tapi nggak ada satu pun yang curiga."

Ketawa gue belom abis, tapi waktu itu keburu ada dua buah motor yang berhenti dibelakang mobil Teh Rena. Ibu sama bapak tadi perasaan berangkat pake motor gue deh, nggak mungkin juga jadi dua apalagi perawakan yang bawanya pada tinggi-tinggi gitu.

"Tamu, Din?"

Gue mengedikkan bahu tanda tidak tahu. Yang satu motornya Vespa matic, satu lagi sejenis moge 250cc. Karena gelap, gue gak bisa liat siapa mereka sebelum akhirnya lampu dua kendaraan itu dimatikan dan gue mengenali plat nomor keduanya.

"Temen saya kayaknya, teh." Ucap gue.

"Ya udah teteh pulang ya, takutnya ganggu."

Untung aja gue gak megang tangannya, cuma megang kain lengan bajunya doang. "Eit, disini aja. Kata Ibu kan gak boleh pulang dulu." padahal mah kapan coba ibu bilang gitu?

"Assalamualaikum, Dedek Dino!" Suara Johanjing sih ini, yakin. "Ahlan wa sahlan, ya Akhi wa Ukhti." Apaan coba dateng-dateng malah cosplay jadi Abu Nawas?

"Nawaitu saumagodhin?"

Gue bengong, Teh Rena bengong, Teh Dara bengong, Bang Raga bengong, Ody bengong, sampe langit aja bengong. Maksudnya apaan anjir nada tanya pake niat mau puasa?

"Jawab dong, gua nanya." katanya.

"Lu nanya apaan? Niat puasa apaan malem-malem?" Tanya gue emosi.

"Lah, gua nanya apa kabar sama lo."

Sumpah, gue kalo jadi Teh Dara pasti udah kabur. Salutnya, perempuan yang kerja di hotel bintang lima sebagai juru masak itu cuma megangin keningnya sendiri terus nendang kaki cowoknya itu.

"Bang, lo kalo gak tau apa-apa jangan ngomong deh biar gak keliatan tolol." Gila sih, respect banget sama mulut Teh Dara.

"Ya terus kalo nanya kabar dalam bahasa arab itu apa?"

Bang Raga keliatan emosi banget, tapi Ody keburu ngusap punggungnya sambil bisikin kata sabar berkali-kali sama dia. "Lo diem atau pulang-pulang ditanya Man Robbuka sama Munkar Nakir."

Ancamannya nyeremin juga, bisa dipake nih.

"Sorry nih, ada apaan gak biasanya ke rumah gue?" Alih-alih mempersilahkan mereka masuk, gue malah ngobrol di teras depan doang.

"Iseng lewat abis double date, sekalian nih ngasihin undangan buat ibu bapak lo." Karena datangnya dari tangan Bang Johan, gue pikir yang ngundang juga dia.

"Gue sama Ody ya, bukan Johan. Ada namanya." Kata bang Raga, mentang-mentang undangannya bagus dan mewah jadi nggak cocok sama bang Johan.

"Ih, Kak Dino, itu siapa kok gak dikenalin?" Kalo denger suara Ody gue suka keingetan sama sepupu gue yang rumahnya di blok sebelah.

"Oh iya, saya Therena." Teh Rena memperkenalkan diri lebih dulu sembari menempelkan kedua tangannya depan dada secara sopan.

"Mbaknya nggak gabung grup Sabilulungan Squad ya?" Tanya Teh Dara.

Teh Rena kebingungan, lalu gue menengahi pembicaraan. "Teh, temen Dino ini mah, kenalannya ibu."

"Kirain pacar lo, Din. Baru aja mau protes kebagusan, hahahaha!" Pengen komplen sama bang Raga kenapa manusia sejenis bang Johan harus dibawa kesini juga.

"Teh Dara kuat-kuat ya." Dengan wajah yang dibuat sedih gue berpesan sama ceweknya bang Johan.

"Udah baja banget saya tuh." Jawabnya sambil menepuk dada dan menggigit bibirnya sendiri.

"Kebetulan ada Mbak Therena, sekalian aja ya saya undang di nikahan saya buat jadi partner Dino. Harus datang, undangan kalo nggak dihadiri itu dosa." Ini bapak-bapak satu pinter banget ngomongnya, heran.

"Wah, selamat kalian." Kata Teh Rena, "Kapan nikahannya?"

"Masih dua minggu lagi, teh. Doain lancar ya." Ody yang menjawab. Keduanya keliatan seneng banget, perasaan baru kemaren semua orang kaget sama kabar pernikahan couple fenomenal itu. Eh besoknya main nyebar undangan aja. Gercep.

"Bang Johan kapan? Ya kapan-kapan, belum ada modal. Ih kasian ya? Heeh, miskin anaknya."

Miris sama bang Johan, makin tua otaknya makin ciut. Dia yang nanya, dia juga yang jawab. Gue kalo jadi Teh Dara kayaknya udah dari tadi cekokin bang Johan obat bius supaya mau diem.

"Bang sumpah gue malu." Akhirnya teh Dara bersuara.

"Aduh khawatir makin jadi ni orang, gue duluan ya, Din, Ther, sorry nih ganggu quality time-nya." Kata bang Raga sambil memakai helm-nya lagi, "Ody pamit dulu." suruhnya. Gemes gue, kayak lagi nyuruh anak kecil sun tangan sama om dan tantenya.

"Pamit ya Kak Dino, Mbak There. Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

"Hev Fan ya kalian, filing gud lakasut gud naigh!"

"Baaangg!" Teh Dara nyeret kerah bang Johan, sontak membuat gue dan Teh Rena tertawa ngakak. "Pamit ya semua, maafin manusia setengah dada ayam ini. Mariiii!"

Tawa gue masih belum reda sampai mereka berempat pergi. Hiburan banget rasanya, nggak nyangka bakalan kedatengan tamu yang ngasih undangan gini. Kayaknya tubuh gue menagih jatah istirahatnya yang tadi deh soalnya sekarang gue mulai nguap-nguap lagi.

"Kamu tidur gih, teteh pulang."

"Jangan teh." Lucunya gue malah pegangin lengan baju dia lagi. "Nggak ngantuk kok, nanti aja pulangnya pas ibu pulang." Rengek gue.

"Tapi kamu capek banget loh itu, harus tidur."

"Temenin."

"Astagfirullah."

Omongan gue salah ya?

"Maksudnya ... iya, saya tidur. Tapi teteh jangan kemana-mana, gitu loh, disini aja, biar gak iklan. Hehe." Gue kalo nge-jokes garing ah, gak bisa sesukses Manjiw yang lain.

Teh Rena menatap gue sebentar, lalu dia mendengus pelan dan berjalan lebih dulu masuk ke dalam rumah. "Gih, sana, di sofa tiduran." suruhnya.

"Teteh kemana?"

"Di sofa juga, sambil baca Qur'an."

Serius, dada gue langsung anget banget saat mendengarnya. Gue pikir dia bercanda, namun ketika gue merebahkan badan diatas sofa panjang dan dia di sofa kecil, perempuan itu benar-benar melaksanakan niatan yang tadi dia katakan.

Romantis sih, adem juga, tapi bisa gak teh jangan baca surat Yasin? Gue berasa jadi mayat soalnya.

"Teh," dia berhenti sebentar, "Teteh harus dapet jodoh yang baik ya, yang sholeh, jangan kayak abang-abang tadi."

Dia ketawa, "Kenapa?"

"Teteh sholeha banget soalnya, harus dapet yang sholeh juga."

"Iya, semoga, ya." katanya lalu melanjutkan kegiatannya.

Gue memejamkan mata perlahan, pantes gak ya gue dapet cewek kayak Teh Rena ini?

Kok ... gue ngerasa bahwa gue sudah sangat jauh mengenal dia padahal baru beberapa minggu aja?

Dino, lo nggak apa-apa kan?

Iya, lo harus baik-baik aja. Sekarang lo baru kagum— mungkin setingkat lebih tinggi dari sekedar tertarik aja. Lagian, ini bukan saat yang tepat untuk lo memikirkan hal beginian. Tapi kalo emang udah kepikiran, mending lo cepat-cepat. Takutnya dia keburu ta'arufan.

Iya kan?

✡️✡️✡️

Heeh iya hayu gas masuk bab terakhir hayu

Fyi, di bab 4 ini mungkin per orang akan dapat 2000-2500 kata aja🙈🙈 dadah manteman

Continue Reading

You'll Also Like

oh, haris By .

Fanfiction

442K 91.7K 29
Tentang bagaimana aku mencintai seorang Haris Januar.
73K 2K 100
The song lyrics of One Direction for Directioners
851K 41.2K 40
Alzan Anendra. Pemuda SMA imut nan nakal yang harus menikah dengan seorang CEO karena paksaan orang tuanya. Alzan kira yang akan menikah adalah kakek...
142K 25.1K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...