Odika✓

Oleh piyelur

65.1K 10.4K 1.2K

Jaemin sedang menjalani hidup atau hidup yang menjalankannya? ©piyelur, Agustus 2020. Lebih Banyak

O.0
O.1
O.2
O.3
O.4
O.5
O.6
O.7
O.8
O.9
O.10
O.12
O.13
O.14

O.11

3.5K 633 123
Oleh piyelur



Sorry for typo(s)




Setelah sekian tahun lamanya, Jaemin bermimpi indah. Ada wajah baru di sana, dengan para sahabatnya berkumpul di taman bermain. Sebuah lengan merangkul pada bahu pemuda Na, jemari sosok itu mengusak surai cokelat karamelnya dan memainkan pipinya gemas. Kemudian muncul sang ayah yang menghampiri mereka, mengajak untuk menaiki setiap wahana yang ada.


Bibirnya mengulas senyum lebar ketika perlahan ia membuka mata, Jaemin terbangun sembari meregangkan otot tangan. Tak biasanya bersemangat seperti ini, pemuda Na menurunkan kedua kakinya kemudian berjalan keluar. Dengan perlahan, membuka pintu kamar sang ibu yang bersebelahan dengan ruangannya.



Terlihat tubuh Mark yang masih bergelung di dalam selimut putih tersebut, senyum Jaemin terpatri dengan lebar. Kemarin malam bukan hanya mimpi.



Setelahnya, ia menuruni tangga dan berlari menuju ke dapur. Tangannya terulur mengambil teko listrik kemudian mengisi dengan air guna memanaskannya, manik Jaemin mengedar pada wadah kopi yang kosong. Sembari membawanya keluar, ia berlari menuju rumah Jeno.



"Bibi!" panggilnya pada Nyonya Lee yang sedang menyiram bunga di pekarangannya, "Minta kopi ya?"



Ekspresi terkejut tergambar di wajah wanita tersebut, maniknya mengerjap beberapa kali kemudian menganggukkan kepala, "Iya, masuk saja, Nak," balas beliau sembari tersenyum lega.



Seperti rumah sendiri, Jaemin berjalan menuju ke dapur dan langsung menemukan wadah kecil yang bertuliskan kopi. Secukupnya ia mengisi, pemuda Na mengembalikan pada tempatnya.



Sebelum keluar, Jaemin berjalan menaiki tangga. Kamar pertama dengan pintu terbuka sedikit menampilkan sosok Jeno yang masih tertidur. Bibirnya tersenyum jahil, ia memasuki kamar tersebut dan tanpa aba-aba langsung memencet hidung sang sahabat.



"Kuliah! Kuliah! Kuliah! Jenooo!"


Jaemin memekik sembari berlari keluar kala bantal yang tiba-tiba melayang ke arahnya, ia tertawa menuruni tangga kemudian keluar.



"Terima kasih, Bibi!" teriaknya sembari membalas senyuman beliau di sana.



Dengan senang hati, Jaemin kembali berkutat di dapur dan membuat dua cangkir kopi panas, bibirnya mengerucut karena tak menyediakan apapun di kulkas sebagai teman menyedu.



"Apa yang kau cari?"


Suara tersebut membuat tubuh Jaemin tersentak, ia berbalik dan menemukan Mark dengan surainya yang berantakan serta memakai kacamata sedangkan Leo tenang berada digendongannya. Si sulung Jung berjalan mendekati dan melihat kopi panas di sana membuat ia tersenyum kecil kemudian beralih pada isi kulkas yang kosong.



"Nanti kita belanja, ya?"



Ajakan tersebut membuat hati Jaemin menghangat, ia hanya menganggukkan kepala kemudian memberikan salah satu cangkir kopi tersebut pada Mark. Si kecil Leo segera turun dan kembali ke ruang tamu meninggalkan pasangan kakak adik tersebut.


Keduanya menyedu minuman tersebut secara bersamaan dengan menghadap ke jendela luar. Selama ini, Jaemin tidak pernah duduk di sana dan menikmati bersantai pagi hari dengan sinar matahari yang tembus ke dalam rumah.



"Rumah ini tak pernah kukunjungi, tapi rasanya seperti aku telah pulang."



Mungkin, bagi Mark bangunan ini adalah sebuah rumah yang nyaman. Akan tetapi, ada kalanya Jaemin justru ingin pergi atau menghilangkan kenangan buruk yang sampai membuatnya menutup diri seperti ini.



"Aku pernah bertanya pada Ayah, bagaimana Ibuku?" bibir Mark mengulas senyum kecil sembari menoleh pada sang adik yang sedang menatapnya, "Dia mengatakan, ketika aku melihat Jaemin aku juga akan bisa melihat Ibu dalam dirinya."



Tidak tahu harus memberi jawaban apa, Jaemin hanya memberikan senyuman dan berpaling. Dari tiga tahun, ia hanya mengingat tak lebih dari satu tahun tentang sang ibu. Senyum, cara berbicara dan lebih memilih diam adalah yang diikutinya.



Mereka sama-sama kehilangan waktu berharga bersama kedua orang tua, hanya sebagian memori yang teringat dan selebihnya dihancurkan oleh kenyataan. Namun, hubungan darah akan selalu menang di atas segalanya. Jika sayang dan cinta menjadi satu, kebencian perlahan akan luntur tak membekas.



"GOOD MORNING PADA ORANG TIDAK BERADAB KECUALI NA JAEMIN SAHABATKU!"


Manik Jaemin mengerjap kala mendengar sebuah teriakan yang tak asing, kepala pemuda Na meneleng ketika melihat Donghyuck masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju ke dapur ketika Mark berteriak memberitahu.



Pemuda Suh memasuki ruangan dapur sembari membawa dua ransel besar kemudian dilempar ke lantai dengan bibir mengerucut.



"SADAR DIRI, JUNG MINHYUNG! JAM LIMA PAGI MENGIRIM PESAN PADAKU, MENYURUH PULA MENGEMASI BARANG-BARANG! AKU MENGANTUUUK, HYUNG!"


Kedua mata Mark membola sembari menatap putra satu-satunya dari keluarga Suh tersebut, "Aku hanya mengirim pesan, tidak langsung menyuruhmu untuk mengemasinya, Hyuck."


"YA AKU MASIH MENGANTUK! MANA PAHAM?!"


"Salahku?"



Wajah Jaemin mengernyit sembari memijat pelan pelipisnya, tidak menyangka bahwa sang kakak masih bisa menanggapi Donghyuck dengan tenang. Coba saja kalau ada Renjun, dia tidak berurusan bisa terjadi baku hantam.



Dengan wajah kesal, Donghyuck mengambil cangkir kopi si sulung Jung kemudian diminumnya.


"THATS MINE, YOU LITTLE —



— BERISIK! DI SEOUL, KAU DILARANG MENGGUNAKAN BAHASA ITU! INI DAERAH KEKUASAANKU YA!"




Bola mata Jaemin berotasi, ia kembali menyedu kopi yang mulai dingin itu dan mengabaikan dua orang yang sedang beradu mulut dengan dua bahasa.





***




Kegiatan di cafe juga seperti biasa, senyum serta sapaan ramah Jaemin telah kembali dan bahkan semakin membuat orang-orang menyukainya. Sesekali juga mengobrol dengan pengunjung.



Rasa bosan pada kegiatan pasti selalu ada, tetapi Jaemin mengingat tujuan utamanya. Meskipun sudah jelas seorang Jung Jaehyun adalah ayahnya dan kakaknya yang sudah tinggal bersama. Keadaan keluarga mereka juga belum ada kejelasan selama Cho Yujin masih ada.



Maniknya tak lengah menatap pintu masuk cafe, menunggu sahabat-sahabatnya datang. Jaemin juga tidak sabar untuk pulang dan berbelanja bersama sang kakak.



"Jaeminaaa!"



Atensi pemuda Na teralih ketika mendengar namanya dipanggil, sosok Donghyuck berjalan menghampiri dengan wajah lunglai. Tasnya langsung diletakkan di lantai kemudian duduk pada kursi sembari menghela napas panjang.


Sebelum menghampiri sahabatnya, Jaemin membuatkan minuman terlebih dahulu.


"Renjun dan Jeno, tidak ikut?" tanyanya saat sudah sampai di sana.



Kepala Donghyuck menggeleng, ia mendongak kemudian menyeruput minuman yang dibawakan oleh pemuda Na. Raut wajah lelahnya tadi sedikit berubah lebih segar.


"Ada rapat untuk festival, Renjun dan Jeno kan jadi panitia. Aku hanya pengisi acara, tadi kabur. Malas mendengar ocehan mereka," cerita Donghyuck sembari terkekeh.



"Wah, sudah ada festival? Aku jadi rindu kuliah. Dosen Kim masih galak ya?"



"Kemarin adu mulut denganku, ditebaki soal aritmatika masih salah dia."



Tawa kecil Jaemin keluar dari bibirnya mendengar cerita sang sahabat. Berkat Donghyuck, mereka lebih dikenal oleh kalangan dosen. Apalagi dengan Dosen Kim Doyoung, sering kali mereka mendapat traktiran dari beliau. Itupun harus dipancing dulu oleh pemuda Suh.



Salah satu pilihan harus diputuskan oleh Jaemin dulu. Keduanya memiliki penyesalan masing-masing. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Jika tidak mencoba sesuatu, bukan hidup namanya tanpa pengalaman.



"Ya sudah, bilang saja dengan Mark Hyung. Nanti biar dia yang mengurusnya."



Kening Jaemin berkerut, ia sontak menggelengkan kepala, "Tidak mau," katanya.



Manik Donghyuck berotasi, kembali menyeruput minumannya kemudian berkata, "Mau tidak mau, nanti juga akan dipaksa."



Sorot mata Jaemin berubah nanar, membayangkan bagaimana dirinya masuk ke dalam keluarga Jung. Mereka dikenal oleh banyak orang. Apa bisa mengimbangi mereka? Pasti Ayah akan malu mengetahui kalau ia tidak melanjutkan kuliah.



"Eh, kau masih ingat saat kita jalan-jalan ke Myeongdong?"


Jaemin menganggukkan kepalanya.


"Ingat juga kan saat Mark Hyung membayar belanjaan Renjun dan Jeno, sampai kartunya limit?"



Bibir pemuda Na mengerucut, "Padahal aku sudah menolak untuk tidak dibelikan. Apa aku harus mengembalikan uang Mark Hyung ya, Hyuck?"



Wajah Donghycuk berubah datar, kedua tangannya terlipat di depan dada menatap Jaemin yang duduk di depannya, "Tuhan itu memang adil, diberikan wajah tampan tapi otak setengah," jawabnya asal.



"Ih, Donghyuck!"



"Dengar," pemuda berkulit tan tersebut mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap dengan serius pada sang sahabat, "Kartu yang limit itu milikku. Dia membelikanmu sepatu dengan uang cash, kan? Ya itu uang Mark Hyung sendiri khusus untuk diberikan padamu."



Kebenaran tersebut membuat Jaemin termangu di tempatnya, tak langsung merespon perkataan Donghyuck.



"Kalian memang belum saling mengenal masing-masing, tapi aku yakin Paman Jeff di sana akan bangga melihat putra sulungnya berusaha mengembalikan senyuman adiknya yang telah lama hilang," kedua bahu Donghyuck terangkat di sana masih melanjutkan, "Kau memang tersenyum, kau memang tertawa, tapi kau melakukannya untuk menenangkan orang lain. Jangan, Jaemin. Hentikan semua itu, kau hanya menyiksa diri sendiri. Ya, memang ada yang bilang bahwa melihat orang lain bahagia, kita juga bahagia," tangannya melambai sembari berdecih, "Aku sebagai manusia memiliki pendapat, kan? Kalau kataku, bahagia itu dari diri sendiri dulu, asaaaal — dengan nada dipanjangkan — tidak merugikan atau menyakiti orang lain. Sudah."




Dari diri sendiri.



Jaemin mencatatnya di dalam otak.



Ya, dia selalu melihat orang lain dulu. Sulit, tetapi kalau tidak dicoba? Lagi-lagi penyesalan akan selalu menguasai kehidupannya.






***



Senyum pemuda Na mengembang kala melihat mobil sedan hitam berhenti di depannya, ia masuk dan disambut sapaan hangat oleh sang kakak.



"Bagaimana pekerjaan hari ini? Si pelayan ramah Na Jaemin," godanya sembari terkekeh.



Namun, tanpa Mark sadari pertanyaan tersebut membuat sang adik hampir menangis lagi. Meskipun Jeno adalah orang yang selalu menemaninya selama ini, tetapi ia tak pernah menjadi tempat keluh kesah Jaemin. Bayangan bahwa Jeno mungkin saja juga lelah dengan kegiatan kampusnya, sehingga ia hanya menjadi pendengar juga bagi sang sahabat.



"Lelah, ya? Oke sebelum belanja, kita makan dulu?"


Manik Jaemin mengerjap, sadar akan pertanyaan sang kakak bertambah lagi.


"Tidak usah, Hyung. Kita masak di rumah saja, bagaimana?"



Bibir si sulung mengembang, tentu saja ia tahu keahlian sang adik. Meskipun setiap memasak, selalu ada yang menemaninya dulu. Kali ini, Mark mendapatkan kesempatan tersebut.



Mobil mereka melaju dengan kecepatan normal, kemudian berhenti di sebuah supermarket 24 jam.



Yang diambil sejenis makanan ringan seperti jjajangmyeon instan, rabboki instan (perpaduan ramyeon dan tteokbokki), atau jjampong instan. Aneka snack dan minuman untuk mengisi kulkas di rumah. Tak lupa juga kopi dan teh serta minuman kaleng.



"Buah juga, boleh Hyung?" tanyanya.


Pertanyaan tersebut membuat Mark menghela napas panjang, "Ini untuk kita, oke? Jika kau mau, ambil saja. Dilengkapi sekalian buah-buahnya. Tapi yang wajib, tolong semangkanya dua," pintanya lembut.



Jaemin terkekeh, ia mengambil tiga buah semangka pada akhirnya.



"Sudah saja, Hyung. Nanti terlalu malam."


"Oke, kita ke kasir."



Keduanya mendorong trolley belanja menuju ke tempat pembayaran, beruntung tidak ada antrian sehingga mereka lebih cepat untuk segera pulang. Jaemin menunggu di belakang sang kakak sembari melihat televisi yang ada.



Ada saluran berita yang sedang tayang secara live di depan sebuah rumah, kening Jaemin mengerut. Tidak pernah ia melihat acara seperti ini.


"Sungguh mengejutkan, lama tidak terlihat malam ini CEO dari Perusahaan Little Angels Fashion Jung Jaehyun ditangkap oleh polisi karena melakukan penganiayaan terhadap istrinya Cho Yujin —



Kalimat selanjutnya tak terdengar oleh Jaemin ketika nama sang Ayah disebutkan di sana. Tubuh pemuda Na bergetar sembari menolehkan kepalanya pada sang kakak yang juga tengah mendengarkan berita tersebut.



Dari samping bisa terlihat bahwa rahang Mark mengeras di sana seakan menahan amarah. Bibirnya terus merapalkan kata, "Tidak mungkin. Tidak mungkin."



Namun, sebelum Jaemin bersuara, tubuhnya sudah ditarik paksa oleh sang kakak untuk keluar dan tidak mendengarkan berita tersebut.











Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

29.1K 3.9K 17
Injun itu sangat menyebalkan. Tapi belum ada apa-apanya dengan kedua adik kembar jelmaan setan yaitu Nono dan Nana. Tapi disini juga dijelaskan jika...
Plethora Oleh ra

Fiksi Penggemar

3.9K 498 21
Bercerita tentang seorang remaja yang ribuan kali disakiti, dikecewakan, diabaikan, dan dilupakan oleh dunia. Parasnya yang meneduhkan, tak pula mene...
103K 8.4K 41
Cerita ini menceritakan usaha NCT Dream selama menjalankan idol, apa yang mereka rasakan dan apa yang mereka alami. Semua tidak semenyenangkan sepert...
11.5K 1.1K 10
"A... Sakit..." Haikal akhirnya merintih, mengadu kepada sang Aa atas rasa sakit yang tak mampu lagi ia tahan. Hanya kisah pendek tentang rangkaian K...